Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Awal Menuju Bahagia
Celia duduk di depan laptopnya, menatap layar kosong yang hanya diisi oleh kursor yang berkedip. Ia sedang memikirkan apa yang Lily katakan. Menjadi mentor atau membuat konten? Keduanya terdengar menarik, tapi juga mengintimidasi.
Elvan mengetuk pintu kamarnya pelan sebelum masuk. “Lagi mikirin apa?” tanya Elvan sambil membawa semangkuk kecil yang berisi camilan.
Celia tersenyum tipis. “Lagi bingung. Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Elvan duduk di tepi tempat tidur Celia, menyodorkan mangkuk camilan. “Mulai dari sesuatu yang kamu suka aja. Apa hal yang paling menarik saat kamu jadi model?”
Celia merenung sejenak. “Aku suka momen-momen di balik layar. Ngobrol sama tim, kasih semangat ke model lain. Rasanya seperti aku bisa menjadi bagian dari mereka."
Elvan mengangguk. “Nah, kenapa nggak kamu mulai dari situ? Bikin sesuatu yang bisa membangun komunitas, mungkin. Atau ceritakan pengalamanmu, supaya orang-orang tahu kalau dunia model nggak melulu soal glamor.”
Celia menatap Elvan, “Kamu benar. Tapi aku nggak tahu gimana caranya.”
Elvan tersenyum, matanya memancarkan keyakinan. “Kamu punya Lily dan aku. Kita bantuin kamu. Kita mulai aja dulu.”
Hari berikutnya, Celia, Elvan, dan Lily duduk di ruang tamu, merencanakan langkah awal. Lily sudah membawa daftar ide, sementara Elvan menawarkan bantuan teknis untuk merekam dan mengedit video. Celia merasa gugup, tapi juga antusias.
“Aku pikir kita bisa mulai dari video pendek. Kamu bisa cerita tentang pengalamanmu di industri ini, hal-hal yang orang nggak tahu,” usul Lily.
“Setuju. Kalau kamu butuh latar, kita bisa pakai pantai atau tempat-tempat yang dekat sini. Bikin kontennya terasa santai tapi autentik," tambah Elvan.
Celia akhirnya mengangguk. “Oke, kita coba. Tapi kalian harus janji kalau ini gagal, kalian jangan bilang aku payah.”
Lily tertawa. “Nggak mungkin. Tapi kalau pun gagal, ya kita coba lagi.”
Satu minggu kemudian, Celia merilis video pertamanya. Dengan latar pantai yang tenang, ia berbicara jujur tentang perjuangan menjadi model, tekanan yang ia hadapi, dan bagaimana ia mencoba menemukan dirinya kembali. Video itu mendapat sambutan hangat dari pengikutnya, bahkan menarik perhatian beberapa model pemula yang meminta nasihat.
Di balik layar, Celia merasa beban di pundaknya mulai berkurang. Ia masih belum tahu apakah ia akan kembali ke dunia model sepenuhnya atau tidak, tapi setidaknya sekarang ia merasa memiliki kendali atas hidupnya.
Elvan dan Lily berdiri di sampingnya, memberi selamat atas keberhasilannya. “Lihat, kamu bisa,” ucap Elvan dengan bangga.
Celia tersenyum lebar. “Mungkin aku memang bisa. Dan aku nggak akan sampai di sini tanpa kalian.”
Hari-hari berikutnya, Celia mulai menerima banyak pesan dari pengikutnya. Sebagian besar adalah ucapan terima kasih atas keberaniannya berbagi cerita, sementara yang lain meminta tips atau bimbingan. Celia merasa terkejut sekaligus terharu melihat betapa banyak orang yang bisa terhubung dengan kisahnya.
Di sisi lain, Lily dan Elvan semakin sibuk membantu Celia mengelola respons yang masuk. Lily mulai mengatur jadwal konten, sementara Elvan mengambil alih tugas teknis seperti pengeditan video dan pengelolaan media sosial. Mereka bertiga membentuk tim kecil yang solid.
Namun, satu pesan khusus menarik perhatian Celia. Pesan itu datang dari seorang model pemula bernama Anya.
“Hi Kak Celia, aku baru aja nonton video Kakak dan aku sangat terinspirasi. Aku lagi ada di titik di mana aku merasa kehilangan semangat buat ngejar mimpi jadi model. Banyak tekanan dari keluarga dan lingkungan. Aku nggak tahu harus gimana. Kakak punya saran?”
Celia membaca pesan itu berkali-kali. Ia merasa tersentuh karena pertanyaan Anya mengingatkannya pada perasaan yang sama saat ia mempertimbangkan untuk berhenti. Setelah berpikir cukup lama, Celia memutuskan untuk membalas.
“Halo, Anya. Terima kasih sudah berbagi cerita. Aku tahu rasanya berada di titik itu, tapi aku percaya kalau kamu fokus pada apa yang membuat kamu bahagia, kamu akan menemukan jalan. Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, aku selalu ada untuk mendengarkan.”
Setelah mengirim pesan itu, Celia merasa lega. Ia sadar, membantu orang lain melalui pengalamannya sendiri adalah salah satu hal yang benar-benar membuatnya merasa berarti.
Sore itu, Tristan menghubungi Celia untuk bertemu. Meski sedikit ragu, Celia setuju. Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe kecil dekat pantai.
Saat Celia tiba, Tristan sudah menunggunya. Ia duduk dengan punggung tegak, tatapannya tajam seperti biasa.
Tristan dan Celia duduk di meja yang menghadap ke arah laut. Ombak bergulung perlahan, menciptakan suara yang menenangkan, tapi suasana di antara mereka tetap tegang.
Tristan memulai percakapan dengan nada datar, “Aku dengar kamu mulai bikin konten sendiri.”
Celia mengangguk sambil memutar cangkir kopi di tangannya. “Iya. Rasanya lebih menyenangkan dari apa yang aku lakukan sebelumnya. Aku nggak lagi merasa seperti boneka yang harus selalu sempurna.”
Tristan menghela napas panjang. “Aku nggak pernah menganggap kamu seperti itu, Celia. Kalau aku terlihat menekanmu, itu cuma karena aku ingin kamu mencapai potensi penuhmu.”
“Potensi yang kamu lihat, Tristan, bukan yang aku rasakan,” balas Celia dengan lembut, tapi tegas. “Selama ini aku hidup di bawah ekspektasi orang lain. Kamu, agensi, bahkan publik. Aku nggak bilang itu salah, tapi aku nggak bisa terus-terusan seperti itu. Aku butuh ruang untuk jadi diri sendiri.”
Tristan terdiam, lalu menatap Celia dalam-dalam. “Apa kamu yakin kamu nggak akan menyesal? Kamu sudah mencapai banyak hal di dunia ini, Celia. Kamu bisa jadi lebih besar kalau kamu terus maju.”
Celia menatap Tristan balik, “Mungkin aku akan menyesal, tapi aku juga akan menyesal kalau terus bertahan tanpa tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Aku nggak menutup pintu untuk kembali, tapi sekarang aku ingin mencoba jalanku sendiri.”
Tristan akhirnya mengangguk pelan. “Kalau itu keputusanmu, aku terima. Tapi aku tetap akan ada di sini kalau kamu berubah pikiran.”
Celia mengangguk.
Saat Celia kembali ke rumah, ia menemukan Lily dan Elvan sedang sibuk di ruang tamu. Lily duduk di lantai dengan laptop terbuka di depannya, sementara Elvan berdiri di belakangnya, menunjuk sesuatu di layar.
“Apa yang kalian kerjakan?” tanya Celia sambil melepaskan sepatunya.
Lily menoleh dan tersenyum lebar. “Kami punya ide baru buat proyek kamu. Elvan bilang kita bisa bikin mini workshop untuk model pemula.”
“Workshop?” Celia mengerutkan dahinya.
“Ya,” jawab Elvan, mengambil alih penjelasan. “Bukan cuma kamu berbagi pengalaman lewat video, tapi kamu juga bisa membantu model pemula secara langsung. Workshop ini bisa jadi ruang buat mereka belajar dan berkembang. Dan kamu bisa melakukannya di sini, di Bali. Santai, tapi tetap produktif.”
Celia terdiam, mencerna ide itu. Di satu sisi, gagasan itu menarik. Tapi di sisi lain, ia merasa ragu. “Aku belum pernah mengajar. Aku nggak tahu apakah aku bisa.”
“Elvan benar,” sela Lily. “Kamu nggak perlu jadi sempurna. Kamu cuma perlu berbagi apa yang kamu tahu. Bukannya itu alasan kenapa kita memulai proyek ini?”
Celia mengangguk pelan. “Oke. Kita coba.”
Selama beberapa minggu berikutnya, Celia, Elvan, dan Lily bekerja keras mempersiapkan workshop pertama mereka. Mereka memilih lokasi di sebuah vila kecil dekat pantai, dengan suasana yang santai dan intim. Lily mengurus promosi, sementara Elvan membantu dengan logistik. Celia, di sisi lain, mempersiapkan materi yang akan ia ajarkan.
Hari pertama workshop tiba lebih cepat dari yang Celia bayangkan. Ia berdiri di depan sekelompok kecil peserta, lima model pemula yang datang dari berbagai daerah. Beberapa dari mereka tampak gugup, sementara yang lain terlihat antusias.
“Selamat datang,” Celia membuka sesi dengan senyuman manisnya “Aku tahu dunia ini bisa terasa menakutkan. Tapi aku ingin kalian tahu, kalian nggak sendirian. Apa pun yang kalian rasakan, aku pernah ada di posisi itu. Jadi, mari kita belajar bersama.”
Sesi berjalan lancar. Celia berbicara tentang pengalamannya, memberikan tips tentang pose, ekspresi, dan cara menghadapi tekanan di industri. Ia juga mendorong para peserta untuk berbagi cerita mereka. Saat mendengarkan mereka, Celia merasa semakin terhubung dengan dirinya sendiri dan apa yang benar-benar ia inginkan.
Di akhir acara, salah satu peserta, Anya, mendekati Celia. “Kak Celia, terima kasih banyak. Aku nggak pernah merasa selega ini sebelumnya. Aku merasa lebih percaya diri untuk mengejar mimpiku.”
Celia tersenyum, “Aku juga belajar banyak dari kalian. Terima kasih sudah datang.”
Setelah acara selesai, Celia dan Elvan duduk di tepi pantai. Elvan menatap Celia dengan senyum kecil di wajahnya.
“Kamu tahu? Aku nggak pernah meragukan kamu. Aku tahu kamu bisa,” ucap Elvan.
Celia menatapnya balik. “Terima kasih. Ini semua berkat bantuanmu, dan karena kamu selalu ada untukku.”
“Aku nggak cuma ada untukmu,” balas Elvan dengan nada serius. “Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Aku ingin ada di setiap langkahmu, apa pun yang kamu pilih.”
Celia terdiam, menatap lekat wajah Elvan. “Kamu sudah jadi bagian dari hidupku. Dan aku... Aku nggak mau kehilangan itu.”
Elvan tersenyum, menggenggam tangan Celia. Elvan menatap Celia dengan lembut, matanya seolah mencari jawaban dalam sorot mata Celia yang berkilau di bawah sinar bulan. Suara ombak yang bergulung pelan menciptakan melodi alami, mengisi kesunyian di antara mereka. Angin pantai yang sejuk berembus, menyibakkan beberapa helai rambut Celia.
“Celia,” Elvan berbisik, suaranya serak, nyaris tak terdengar di antara gemuruh ombak.
Perlahan, Elvan mendekat, menghapus jarak di antara mereka. Tangannya yang hangat menyentuh pipi Celia dengan lembut, seolah memastikan bahwa ia nyata. Celia menutup matanya, membiarkan Elvan melakukan apa yang ia inginkan.
Dan akhirnya, bibir mereka bertemu. Lembut, tapi kemudian ciuman itu menjadi lebih dalam, keduanya saling melumat dan mengecap.
Ombak menghantam karang, angin pantai semakin kencang, tapi dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ketika mereka akhirnya melepaskan diri, Celia membuka matanya perlahan. Ia menatap wajah pria tampan didepannya.
“I love you,” ucap Celia dengan suara bergetar, mencoba menutupi senyum di bibirnya.
"I love you too," jawab Elvan sambil mengecup puncak kepala Celia.
"Kenapa tidak bilang dari dulu?" tanya Celia sambil tersenyum.
Elvan terkekeh pelan, dan menggenggam tangan Celia. “Aku cuma nunggu waktu yang tepat. Dan aku rasa, sekarang waktunya.”
“Jadi, apa langkah kita berikutnya?” Celia bertanya, kali ini dengan nada bercanda.
Elvan menyentuh ujung hidung Celia dengan jarinya, membuatnya tertawa kecil. “Langkah berikutnya? Kita jalan bareng. Kencan, atau apalah. Apapun yang kamu pilih, aku bakal terus di sampingmu."