Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Langit di atas kota berubah menjadi kelam. Asap tebal mengepul dari berbagai penjuru, sementara suara sirene dan tembakan sesekali terdengar di kejauhan. Kota yang biasanya hidup kini berubah menjadi medan pertempuran tak terduga, dan di tengah kekacauan ini, para remaja harus berusaha bertahan.
Aisyah, dengan rambutnya yang terurai lepas, berdiri di jendela rumahnya, matanya memindai jalanan yang tak lagi dikenalnya. "Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin semua ini terjadi begitu cepat?" pikirnya, jantungnya berdebar kencang. Ponsel di tangannyabergetar, pesan dari Delisha masuk: ["Kau aman, Syah? Ini benar-benar gila!"]
Aisyah menarik napas dalam, jari-jarinya gemetar saat membalas. ["Aku nggak tahu harus bagaimana. Jalanan penuh... mereka ada di mana-mana."] Tatapannya menelusuri mobil-mobil terbengkalai yang berjejer di sepanjang jalan, sebagian sudah terbalik dan terbakar. "Ini nyata," gumamnya pelan. Tidak ada lagi keraguan. Mereka tidak bisa menghadapi ini sendirian.
Di tempat lain, Gathan duduk di tangga rumahnya, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya mencengkeram ponsel erat-erat. Jasmine mengirim pesan: ["Kita nggak bisa terus di sini. Kita harus ketemu di tempat aman!"]
Gathan mengetik dengan cepat, jarinya bergerak panik di layar. ["Gimana kita bisa keluar? Jalanan udah dipenuhi mereka. Tentara pun gak bisa ngendaliin semua ini!"]
Pesan itu terputus-putus, jaringan telekomunikasi mulai lumpuh. Dalam hati, ia merasakan ketakutan merayapi pikirannya. "Apa kita benar-benar bisa selamat?" pikirnya dengan napas memburu.
Delisha, yang tengah bersembunyi di bawah meja dapurnya, mencoba menenangkan dirinya. Suara langkah-langkah kaki berat terdengar dari luar, mungkin zombie, atau mungkin seseorang yang berusaha melarikan diri. Ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Azzam masuk: ["Tempat aman udah kita tentuin, tapi nggak ada yang tahu gimana caranya sampai ke sana tanpa ketangkep."]
Di dalam ruangan yang sempit, Aisyah akhirnya berbicara dalam suara yang hampir putus asa, "Kita harus keluar dari sini. Kita nggak bisa terjebak di sini selamanya." Tapi di dalam hatinya, ada konflik. Bagaimana kalau dia tidak berhasil? Bagaimana kalau dia tidak pernah melihat teman-temannya lagi?
Ponselnya kembali bergetar. ["Ayo kita bertemu di taman tua di dekat SMA. Dari sana, kita bisa cari jalur keluar,"] tulis Nizam.
Aisyah memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong. "Taman tua?" pikirnya. "Jaraknya jauh, apalagi dengan situasi seperti ini. Gimana kalau kita ketemu zombie di jalan?" Namun, tak ada pilihan lain. Mereka harus berusaha.
Sementara itu, Azzam melihat jalanan dari jendela rumahnya yang retak. Suara ledakan terdengar di kejauhan, diikuti oleh teriakan panik. la mengerutkan kening, rasa takut menggenggam kuat di perutnya. "Bagaimana bisa segalanya berubah secepat ini?" pikirnya, dengan rahang yang mengeras. Dia tahu bahwa untuk bertahan, mereka harus bergerak cepat dan tak kenal takut-meskipun rasa takut itu menghantui setiap langkah mereka.
Kota itu kini benar-benar kacau. Jalanan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas manusia kini dipenuhi kepanikan. Orang-orang berlarian ke segala arah, teriakan putus asa terdengar di udara, melayang bersama suara erangan para zombie yang menyerbu kota. Helikopter-helikopter berputar di atas kepala, tapi bahkan itu tidak cukup untuk menghentikan kerusuhan yang sedang terjadi. Polisi dan tentara berusaha menahan gerombolan zombie, tapi mereka kalah jumlah. Suasana berubah menjadi medan perang antara hidup dan mati. Di salah satu sudut kota, Jasmine mendengar teriakan keras dari arah gang. Dia melongokkan kepalanya, dan yang dia lihat membuatnya mundur dengan cepat, kakinya tersandung. "Oh Tuhan, mereka benar-benar menyerang orang-orang," pikirnya, terperangkap antara ketakutan dan dorongan untuk bertindak. Namun tubuhnya beku, tidak bisa bergerak. "Aku nggak bisa tinggal di sini... aku harus lari! Tapi ke mana?"
Aisyah, yang sedang mempersiapkan dirinya untuk keluar dari rumah, juga mendengar suara ledakan dan teriakan. Seketika, napasnya tercekat. Kakinya lemas, seolah-olah kekuatan untuk bergerak menghilang begitu saja. "Ini gila... ini nggak nyata," pikirnya dalam hati, matanya terpaku pada pintu yang belum dia berani buka.
Saat Aisyah akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu dan melangkah keluar, udara di luar terasa lebih tegang dari yang dia bayangkan. Angin kering menerpa wajahnya, membawa bau asap dan darah. "Aku harus cepat-cepat," pikirnya, merasakan setiap detik sangat berharga. Namun, tepat ketika dia melangkah ke trotoar, sebuah suara aneh terdengar dari sudut jalan.
Pelan tapi pasti, sesosok tubuh bergerak lambat ke arahnya. Mata Aisyah membesar, tubuhnya membeku di tempat. Di depannya,makhluk itu terseret-seret dengan langkah yang tertatih, wajahnya hancur, darah menetes dari mulutnya yang terbuka lebar. Zombie pertama yang dilihatnya dari dekat.
"Astaga..." gumamnya, bibirnya bergetar. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Dalam kepanikan, pikirannya berteriak, "Apa aku bisa kabur? Apa aku bisa selamat dari ini?"
Sementara itu, dari jauh, Delisha yang juga berada di luar, menatap horor yang sama. "Ini nggak mungkin..." pikirnya. "Kenapa sekarang? Kenapa kita?"
*****
Kegelapan merayap di sekitar mereka, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu jalan yang berkedip-kedip di luar jendela. Aisyah berdiri kaku, matanya terpaku pada sosok mengerikan yang semakin mendekat. Zombie itu, dengan wajah hancur dan tubuh yang terseret, bergerak perlahan namun pasti. Bau busuk memenuhi udara, membuat Aisyah hampir tercekik. "Ini... ini nyata," pikirnya, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan.
"S-Syah... ayo cepat!" suara Delisha terdengar serak di sampingnya. Delisha menggenggam tangan Aisyah erat-erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Tanpa menunggu jawaban, Delisha menariknya dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Del, aku nggak bisa... Aku..." Suara Aisyah terhenti, tubuhnya gemetar hebat, tetapi Delisha tidak memberi kesempatan untuk menolak. Dengan cepat, Delisha menyeret Aisyah menuju tangga.
Kaki mereka menghantam anak tangga dengan cepat, langkahnya tergesa-gesa, namun suara menyeret dari zombie di belakang mereka membuat setiap langkah terasa semakin mencekam. Aisyah melirik ke belakang sejenak dan melihat sosok itu semakin dekat, geramannya menghantui di udara, seperti kematian yang tak terbendung.
Ketika mereka tiba di lantai atas, Aisyah hampir terjatuh karena kakinya yang gemetar. Napasnya tersengal, peluh mengalir di wajahnya. Delisha segera menutup pintu kamar dengan keras dan menguncinya. "Del... kita aman?" Aisyah berkata, suaranya nyaris tak terdengar, masih tercekik ketakutan.
"Untuk saat ini, mungkin," Delisha menjawab pendek, matanya menatap tajam ke pintu. Namun detik berikutnya, suara mengerikan terdengar dari bawah—pintu depan didobrak dengan keras. Zombie-zombie itu telah berhasil masuk. Rumah Delisha, yang tadinya terasa aman, kini berubah menjadi jebakan mematikan.
Geraman rendah memenuhi ruangan, membuat tubuh Aisyah kaku. "Mereka... sudah masuk," bisik Aisyah, air mata mulai menggenang di matanya. Ia merasakan tubuhnya bergetar hebat, seolah-olah takut akan menelannya hidup-hidup.
“Tenang, Syah,” Delisha berbisik cepat, meskipun dia sendiri bisa merasakan detak jantungnya yang kacau. Pikirannya berpacu, mencoba mencari cara keluar. “Kita nggak bisa tinggal di sini, kalau mereka naik... habis kita.”
Mereka mendengar langkah berat mulai mendekati tangga, mengoyak sunyi dengan ketukan keras yang menghantui. Setiap langkah seperti dentang kematian, membawa zombie lebih dekat dengan mereka. Aisyah meremas tangannya, menggigit bibirnya untuk menahan isak.
"Del... aku nggak mau mati..." gumam Aisyah, matanya menatap Delisha dengan tatapan putus asa. Rasa takut yang dingin dan tajam menghantui pikirannya. "Apa ini akhirnya? Bagaimana kalau mereka tidak pernah keluar dari sini?"
“Jangan ngomong kayak gitu,” Delisha menjawab, meskipun suaranya sedikit bergetar. Dia menelan ludah dan mencoba mengendalikan rasa takutnya. "Kita bisa keluar dari sini, pasti bisa." Namun dalam hatinya, dia juga tahu, mereka kehabisan waktu.
Suara berat langkah kaki semakin mendekat. Mereka kini bisa mendengar suara seretan zombie yang menaiki tangga. Aisyah menahan napas, tubuhnya kaku di tempat. Delisha mengepalkan tangannya, berkeringat dingin. Pikiran mereka dipenuhi skenario terburuk. "Apa yang harus kita lakukan?" pikir Delisha, rasa cemas membanjiri kepalanya. Mata Aisyah yang berkaca-kaca menatap pintu, seolah berharap sesuatu bisa menghentikan kematian yang mendekat itu.
"Del... kita harus kabur," Aisyah berbisik, suara ketakutannya terdengar seperti jeritan di dalam kepalanya. Namun, langkah zombie semakin mendekat, seolah menertawakan harapan mereka. Geraman keras terdengar di luar pintu, diikuti oleh suara keras menghantam pintu.
Keduanya terdiam. Mereka hanya bisa mendengar detak jantung masing-masing yang kencang, seiring dengan suara pintu yang mulai retak.
Dalam kegelapan yang mencekam, Aisyah mencoba menarik napas panjang. “Ini mungkin yang terakhir... apakah aku siap?” pikirnya. Sementara di sisi lain, Delisha menahan napas, matanya tak lepas dari gagang pintu yang mulai bergetar. "Kita tidak boleh kalah sekarang."
Dan kemudian... BRAK! Pintu bergetar hebat, retakan mulai terlihat. Suara langkah itu semakin dekat, semakin keras, memecah keheningan malam yang penuh teror. Mereka berdua terdiam, menunggu takdir yang sebentar lagi akan menghampiri—tak ada tempat untuk bersembunyi lagi.