Dina, seorang janda muda, mencoba bangkit setelah kehilangan suaminya. Pertemuan tak terduga dengan Arga, pria yang juga menyimpan luka masa lalu, perlahan membuka hatinya yang tertutup. Lewat momen-momen manis dan ujian kepercayaan, keduanya menemukan keberanian untuk mencintai lagi. "Janda Muda Memikat Hatiku" adalah kisah tentang cinta kedua yang hadir di saat tak terduga, membuktikan bahwa hati yang terluka pun bisa kembali bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Bayang-Bayang Masa Lalu
Hari itu terasa begitu tenang di awal, tetapi Dina tahu, ketenangan ini hanya seperti permukaan air yang menutupi sesuatu yang lebih dalam. Pagi yang cerah setelah malam penuh kebahagiaan bersama Arga kini digantikan dengan kabut tipis keraguan. Entah mengapa, Dina merasa seperti ada sesuatu yang mendekat, sesuatu yang tak ia duga.
Setelah pulang dari bukit bersama Arga, Dina kembali tenggelam dalam rutinitasnya. Namun, pikiran tentang pria itu tak pernah lepas dari benaknya. Setiap kenangan bersamanya terukir jelas, dari senyumnya yang hangat hingga janji yang ia bisikkan di bawah bintang-bintang malam itu. Tapi kebahagiaan itu tidak datang tanpa bayang-bayang.
Siang itu, Dina sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi besar di tempat kerjanya. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Dina ragu sejenak sebelum menjawab.
“Halo?” sapanya lembut.
“Dina,” suara di ujung telepon itu terdengar dingin. “Kita perlu bicara.”
Dina terdiam, mengenali suara itu. Itu suara dari masa lalu yang berusaha ia lupakan—Reza, mantan kekasihnya yang telah membuatnya mengalami luka mendalam.
“Ada apa, Reza?” Dina menjawab dengan nada tegas, mencoba menutupi perasaannya yang mulai bergejolak.
“Aku ingin bertemu,” katanya, tanpa basa-basi. “Aku butuh penjelasan darimu. Kita tidak bisa terus seperti ini.”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” jawab Dina cepat. “Kita sudah selesai sejak lama, Reza.”
“Tapi kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” desak Reza. “Aku tidak bisa terus hidup dengan bayanganmu, Dina. Aku butuh penutupan.”
Dina menarik napas dalam, mencoba mengendalikan dirinya. “Aku tidak tahu apakah itu ide yang baik, Reza. Kita sudah berada di jalan masing-masing. Aku tidak ingin kembali ke masa lalu.”
“Aku hanya butuh waktu lima menit,” pinta Reza, suaranya berubah menjadi lebih lembut. “Tolong, Dina. Ini penting.”
Dina ragu sejenak, lalu mengangguk meski ia tahu bahwa ini mungkin keputusan yang akan ia sesali. “Baiklah. Besok siang di kafe dekat kantor.”
---
Keesokan harinya, Dina merasa sedikit gelisah saat berjalan menuju kafe yang ia janjikan dengan Reza. Suasana di sana ramai, tapi ia dengan mudah menemukan pria itu duduk di sudut ruangan. Reza masih tampak seperti yang ia ingat—wajahnya bersih, rapi, dengan mata tajam yang pernah membuat Dina jatuh cinta. Tapi ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat Dina merasa asing.
“Dina,” sapanya saat Dina duduk di hadapannya.
“Langsung saja ke intinya, Reza,” kata Dina tegas. Ia tidak ingin pertemuan ini berlarut-larut.
Reza tersenyum tipis, seolah menyadari ketegangan Dina. “Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Aku tidak akan menyangkal itu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.”
Dina menghela napas, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba muncul. “Reza, aku sudah memaafkanmu. Tapi itu tidak berarti aku ingin membuka kembali luka lama.”
Reza menatapnya, matanya penuh dengan penyesalan. “Aku tidak meminta kita untuk kembali bersama. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berubah. Aku bukan pria yang sama seperti dulu. Dan aku ingin kau bahagia, Dina. Apakah kau bahagia sekarang?”
Pertanyaan itu membuat Dina terdiam. Ia memikirkan Arga, tentang bagaimana pria itu membuatnya merasa dicintai dan dihargai. Tapi ia juga merasa bahwa kebahagiaannya dengan Arga masih rapuh, seperti kaca tipis yang bisa retak kapan saja.
“Aku bahagia, Reza,” jawabnya akhirnya, meski suaranya terdengar sedikit goyah.
“Bagus,” kata Reza sambil tersenyum tipis. “Aku senang mendengarnya.”
Mereka berbicara sebentar lagi, dan Dina merasa bahwa pertemuan ini memang diperlukan untuk benar-benar menutup babak dalam hidupnya. Ketika mereka akhirnya berpisah, Dina merasa lebih ringan, seolah-olah beban yang selama ini ia pikul perlahan menghilang.
---
Namun, saat malam tiba, Dina tidak bisa berhenti memikirkan percakapannya dengan Reza. Ia ingin menceritakan semuanya pada Arga, tetapi ia juga takut bahwa Arga akan salah paham. Apalagi, hubungan mereka masih baru dan belum sepenuhnya stabil.
Ponselnya berbunyi, dan kali ini itu adalah Arga yang menelepon.
“Halo, Arga,” sapanya lembut.
“Dina, aku rindu padamu,” kata Arga, suaranya terdengar hangat. “Bagaimana harimu?”
Dina ingin jujur, tapi sesuatu menahannya. “Hari ini cukup sibuk, tapi semuanya baik-baik saja,” jawabnya singkat.
“Baguslah,” kata Arga. “Aku ingin mengajakmu makan malam besok. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
“Apa itu?” tanya Dina penasaran.
“Besok saja,” jawab Arga misterius. “Aku ingin membuatnya spesial.”
---
Malam itu, Dina tidak bisa tidur nyenyak. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang bisa merusak kebahagiaan yang baru saja ia temukan bersama Arga. Ketika pagi tiba, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Saat malam tiba, Arga menjemputnya dengan setelan rapi dan senyum yang menenangkan. Mereka pergi ke restoran mewah di pusat kota, tempat yang membuat Dina merasa istimewa.
Namun, sepanjang makan malam, Dina merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Arga. Pria itu tampak lebih serius dari biasanya, dan ada kerutan kecil di dahinya yang tidak bisa Dina abaikan.
“Arga, ada apa?” tanya Dina akhirnya. “Kau tampak... gelisah.”
Arga terdiam sejenak, lalu menatap Dina dengan mata yang penuh emosi. “Dina, aku mencintaimu. Aku yakin akan itu. Tapi aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku.”
Dina terkejut, tidak menyangka bahwa Arga bisa merasakan keraguannya. “Arga, aku...”
“Aku tahu ini mungkin tidak adil,” kata Arga cepat. “Tapi aku hanya ingin kau jujur padaku. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, aku ingin tahu. Aku ingin kita menghadapi segalanya bersama.”
Dina merasa matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk jujur, meskipun itu berarti mempertaruhkan segalanya.
“Ada sesuatu yang terjadi kemarin,” katanya akhirnya. “Reza, mantan kekasihku, menghubungiku. Dia ingin bertemu untuk membahas masa lalu kami. Dan aku setuju.”
Wajah Arga berubah, meski ia mencoba menyembunyikan emosinya. “Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
“Aku takut,” jawab Dina jujur. “Aku tidak ingin kau salah paham atau merasa terancam. Tapi aku sadar bahwa aku salah. Aku seharusnya jujur sejak awal.”
Arga terdiam, menatap Dina dengan mata yang penuh pertimbangan. Lalu, ia menghela napas panjang dan menggenggam tangan Dina.
“Dina, aku tidak akan membohongi dirimu. Aku merasa terluka mendengar ini. Tapi aku juga tahu bahwa masa lalu adalah bagian dari siapa kita. Yang penting bagiku adalah masa depan kita.”
“Arga, aku tidak ingin kehilanganmu,” kata Dina dengan suara gemetar.
“Kau tidak akan kehilangan aku,” kata Arga tegas. “Tapi aku butuh kau untuk percaya padaku, seperti aku percaya padamu.”
Dina mengangguk, merasa bahwa kejujurannya telah menyelamatkan hubungan mereka. Mereka berbicara panjang lebar malam itu, mencoba menyelesaikan setiap keraguan dan ketakutan yang ada.
---
Ketika malam semakin larut, Dina menyadari bahwa hubungan mereka telah melalui ujian pertama. Dan meskipun itu tidak mudah, mereka berhasil melaluinya bersama.
Saat Arga mengantarnya pulang, ia berkata, “Dina, aku mencintaimu. Dan aku tidak akan pernah menyerah pada kita.”
Dina tersenyum, merasakan keyakinan yang tumbuh di hatinya. “Aku juga mencintaimu, Arga. Kita akan menghadapi segalanya bersama.”
Malam itu, di bawah cahaya bulan yang redup, mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak sempurna. Tapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang datang.