Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12.
"Mau kemana lagi kamu?" Tanya Febri pada Baby yang sedang bersiap untuk keluar. Padahal hari masih pagi dan Beni belum seleaai sarapan.
"Aku ada janji sama temen pagi ini, Mas." Baby duduk di dan mengambil sarapannya sendiri tanpa melihat suami dan anaknya.
"Apa teman-temanmu lebih penting dari anakmu sendiri?" Baby menatap Beni yang sedang sarapan dengan belepotan, khas anak kecil.
"Mereka itu teman-teman arisan aku, Mas. Kami sudah janjian akan pergi ke Bandung pagi ini, supaya nanti siang gak ketinggalan acara."
"Kalau begitu aku juga akan membuat janji dengan pengadilan."
Kedua mata Baby menatap heran pada Febri, namun hatinya sudah berdebar.
"Untuk apa buat janji sama pengadilan, Mas? Apa ada sesuatu yang buat kamu gak senang?" Tanya Baby hati-hati.
"Ya, sangat gak menyenangkan sampai aku ingin mengusirnya saat ini juga."
"Siapa yang sudah buat kamu gak senang, Mas? Berani sekali dia melakukan itu padamu. Aku akan mengusirnya untukmu, siapapun dia." Semangat Baby.
"Kalau begitu kamu harus mengusir dirimu sendiri."
Baby tersedak makanan yang baru di kunyahnya mendengar ucapan Febri. Pengasuh Beni langsung menyodorkan air pada Baby.
"Maksud kamu apa, Mas?"
"Aku gak butuh istri yang gak bisa di atur. Sudah cukup 4 tahun aku diam dengan semua sikapmu yang selalu sesuka hati. Mulai hari ini, kalau kamu melangkah keluar dari rumah tanpa ijin dan sepengetahuanku lagi. Jangan harap pintu akan terbuka untukmu."
"Mas! Itu sama saja kamu mengusirku." Pekik Baby marah.
"Aku gak perduli apa namanya itu. Yang aku tahu istriku harus menurut padaku, menghargaiku sebagai suami dan mengurus anak dengan baik. Boleh kamu keluar untuk jalan-jalan dan belanja, tapi ingat dengan anakmu yang menunggu di rumah."
Baby mengepalkan kedua tangannya erat, tak terima dengan ucapan suaminya.
"Kamu jangan lupa dengan kebaikan papa ya, Mas? Kalau bukan karena papa, kamu bakalan jadi gelandangan di jalan sana." Baby menggebrak meja dengan keras.
Beni yang tadinya diam kini jadi menangis karena terkejut dengan suara keras yang di buat oleh Baby.
Febri langsung berdiri dan mengambil alih Beni dari pengasuh yang mencoba menenangkan anak itu.
"Bahkan kehadiran putramu gak berarti bagimu, lalu bagaimana denganku? Apa bagimu kami hanya figura saja? Jangan lupa juga, kalau bukan karena aku. Anak kamu ini bakalan terlantar, dan reputasi keluargamu akan tercoreng selamanya. Belum lagi perusahaan yang terancam bangkrut."
"Apa kamu yakin bisa menstabilkan keadaan perusahaan saat papa sakit? Apa kamu bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk membantu papa waktu itu? Jangan lupa lagi, kalau sekarang perusahaan itu milikku. Kalau itu yang kamu banggakan dengan kebaikan papa, sekarang aku sanggup membayar berapapun pada papa untuk membelinya."
"Jadi ingat baik-baik, Baby. Jangan pernah lagi coba-coba menguji kesabaranku. Kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku sebelumnya bersama ibu, kali ini aku gak akan biarkan kehidupanku hancur lagi karena ulahmu dan ibu juga."
Febri menatap tajam pada Baby sembari tangannya mengelus kepala Beni yang masih menangis.
"Jangan munafik, Mas. Kalau kamu menikmati ulah kami sebelumnya, jangan hanya bisanya menyalahkan aku dan ibu saja. Salahkan juga dirimu yang terlalu mudah di kendalikan," ucap baby.
Febri merasa tertampar dengan apa yang Baby ucapkan. Memang dulu Febri sangat menikmati ulah ibunya dan malah menodai kepercayaan Fadila.
"Karena itulah aku gak mau mengulangi kesalahan yang sama, Baby. Aku ingin rumah tangga kita berjalan dengan baik, dan kamu harus mengurus Beni sebaik mungkin. Karena mulai hari ini aku akan mengatur kamu dan ibu. Siapa yang tidak bisa mengikuti peraturanku, silahkan tinggalkan rumah ini dan kehidupan kalian bukan tanggung jawabku." Febri berucap tegas pada Baby.
Sikap keras kepala Baby sangat sulit untuk di kendalikan. Jadi Febri hanya bisa mengancam dengan apa yang selama ini selalu di nikmati oleh wanita itu. Yaitu kemewahan dan uang yang banyak.
Setelah mengatakan semua yang ingin di ungkapkannya. Febri pergi dari ruang makan untuk menenangkan Beni. Untung saja ini akhir pekan, jadi Febri bisa menemani Beni seharian di rumah.
------
Amerika waktu setempat ....
"Mami ... Mau daddy ..." Anan merengek pada Fadila yang mulai pusing dengan keinginan anaknya.
Kemana dia harus mencari daddy kalau anaknya tak memiliki daddy. Ah, ada daddy nya tapi sangat jauh dan tidak tahu keberadaan Anan.
Bahkan jika bertemupun kemungkinan Febri tak akan mengenali anaknya sendiri. Sebab gen Fadila lebih kuat di diri Anan, hingga anak kecil itu wajahnya mirip Fadila.
"Daddy ... Mami. Daddy ..."
"Hah ... Daddy masih kerja sayang, nantinya kalau daddy sudah pulang kerja," bujuk Fadila.
Sudah sejak bangun tadi Anan terus saja mencari dimana daddy nya. Meski sudah di bujuk dengan segala macam cara, anak kecil itu tidak juga berhenti menanyakan daddy nya.
"Hey, Boy! Mau ikut Mama jalan-jalan gak?" Dwi yang di panggil mama oleh Anan mencoba membujuk.
"Jalan-jalan mana, Ma?" Pandangan Anan beralih ke Dwi meski tubuhnya masih menempel bagai anak koala di tubuh Fadila.
"Anan, maunya kemana?" Tanya Sinta pula.
"Mau cali daddy, Buna." Sinta meringis mendengarnya, belum lagi tatapan tajam dari Fadila dan Dwi membuatnya merasa bersalah.
"Daddy belum selesai kerjanya, sayang. Kita jalan-jalan ke mall saja gimana? Nanti kita main bola-bola di sana." Fadila membujuk anaknya.
"Mau main capit-capit, Mam." Fadila mengangguk sembari tersenyum manis pada anaknya.
"Baiklah, jagoan. Sekarang mandi sama Buna, nanti kita pergi." Sinta mengambil Anan dari dekapan Fadila dan membawa anak itu ke kamar Fadila untuk mandi.
Anan tertawa karena Sinta terus saja mengajaknya bercanda.
"Kamu dengarkan, Fa? Anan, semakin besar akan semakin mengerti segalanya. Kamu harus memikirkan perasaannya yang ingin seorang daddy. Tapi juga pikirkan perasaanmu saat akan menerima seseorang sebagai daddy barunya, Anan. Kalau memang kamu gak merasa cocok, jangan di paksa."
Fadila mengangguk sembari tersenyum mendengar ucapan Dwi.
Setelah selesai bersiap, kini keempat orang itu sedang menuju sebuah mall besar untuk bermain.
Anan duduk manis di pangkuan Fadila sembari memakan fotongan buah yang selalu di siapkan oleh Fadila.
Sampai di mall, mereka baik ke lantai 2 di mana area bermain anak berada.
"Dwi!"
Pandangan mereka mengarah pada beberapa pria yang sedang berdiri.
"Mas Devan." Dwi segera mendekati calon suaminya bersama yang lain.
"Loh? Kalian kok bisa ada di sini?" heran Fadila kala mendapati Devan dan Robert ada di mall juga.
"Ya bisalah, Fa. Namanya juga ini tempat umum," ucap Robert.
"Iya, sih." Fadila mengangguk.
"Anan, anak Papa yang tampan. Sini, Nak!" Devan mengambil Anan dari gendongan Fadila.
"Papa, cemalam ada daddy. Tapi cekalang daddy sudah pelgi lagi." Anan mengadu pada Devan dan Robert.
Yang membuat kedua pria dewasa itu saling pandang.
"Daddy siapa, Nak?" tanya Robert.
"Daddy, aku yang tingginya cegini." Anan mengangkat satu tangannya hingga melebihi kepala Devan.
"Wah ... Tinggi banget, ya?" Devan tersenyum pada Anan.
Dwi dan Sinta memberi kode pada pasangan mereka agar tak lagi membahas masalah daddy pada Anan. Untung saja kedua pria itu paham dan segera mengalihkan topik.
"Anan, mau main apa?" tanya Devan.
"Capit-capit." Anan memperagakan dengan kedua tangannya.
"Ok." Baru saja Devan akan membawa pergi Anan ke tempat permainan yang di inginkan anak itu.
Anan sudah berseru heboh, yang membuat Fadila menepuk keningnya.
"Daddy ... Daddy."
"Daddy? Daddy siapa?" Tanya Devan dan Robert heran.