seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
titik balik
Malam itu, kota terlihat berbeda. Lampu-lampu jalanan menyinari trotoar dengan cahaya kuning kemerahan yang memantul pada aspal basah, menciptakan bayangan panjang yang aneh. Liana berjalan dengan langkah cepat, diselimuti kabut tipis yang menambah kesan misterius pada malam yang penuh ketegangan ini.
Di dalam dirinya, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Keberanian bercampur ketakutan, kegelisahan yang tak bisa dibuang begitu saja. Misinya malam ini berbeda dari yang sebelumnya. Ini bukan hanya tentang infiltrasi atau mencari informasi—ini adalah langkah pertama menuju pengungkapan rahasia terbesar Darius.
Dia mendekati gudang penyimpanan senjata yang sudah dipetakan. Seperti yang dikatakan Victor, tempat ini tampaknya sepi, tetapi dia tahu tak ada yang namanya ‘sepi’ dalam dunia ini. Di tempat seperti ini, setiap sudut bisa menjadi ancaman, setiap bayangan bisa jadi musuh yang mengintai.
Liana menarik napas dalam-dalam dan meraih peluru pistol yang tersemat di pinggangnya. Meskipun sudah dipersiapkan untuk hal-hal terburuk, perasaan cemas tak bisa ia hindari. Tangan kanannya sedikit gemetar saat ia menyentuh gagang pintu besi gudang itu. Suasana sunyi dan terkesan sepi membuatnya merinding. Seperti ada sesuatu yang mengintai di dalam sana.
Dengan sekali dorongan, pintu gudang terbuka. Aroma logam dan bau lama menyambut hidungnya. Liana berjalan masuk, berusaha secepat mungkin menyusuri lorong sempit yang dipenuhi tumpukan barang-barang tak terpakai.
Langkah-langkahnya tenang, namun waspada. Di depan, ia melihat sebuah ruang besar yang terpisah oleh tirai hitam. Di balik tirai itu, dia bisa merasakan kehadiran orang-orang—para pengikut Darius. Mereka pasti sedang membicarakan sesuatu yang penting.
Liana menyelinap, menyamarkan dirinya di balik bayang-bayang, menunggu saat yang tepat. Suara tawa dan percakapan terdengar samar dari balik tirai, cukup untuk membuatnya semakin berhati-hati. Dia tahu, satu langkah ceroboh saja bisa berakhir fatal.
“Tunggu sebentar,” kata Liana pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang berdegup kencang.
Dia menunggu beberapa saat, mengamati setiap gerakan, mendengarkan percakapan yang terus berlanjut. Dari suara yang ia tangkap, sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu yang besar—dan berbahaya. Misi Liana semakin jelas: dia harus menemukan titik lemah mereka sebelum Darius melancarkan serangan.
Tiba-tiba, seseorang melintas di depannya, hampir membuatnya tersentak. Liana menarik diri ke samping, menahan napas dan menempelkan tubuhnya pada dinding gudang yang dingin. Pria itu berjalan melewatinya tanpa curiga, dan Liana memanfaatkan kesempatan itu untuk maju lebih dekat.
Saat ia mendekati tirai hitam, ia bisa melihat siluet beberapa orang duduk di meja besar, membahas sesuatu dengan serius. Suara Darius yang familiar terdengar dari sana. Liana menggigit bibir bawahnya, memastikan bahwa ia tidak salah langkah.
Ia mengambil napas panjang, menenangkan dirinya. Inilah saat yang dia tunggu. Sekarang atau tidak sama sekali.
Dengan hati-hati, Liana menarik tirai itu sedikit, cukup untuk melihat lebih jelas apa yang sedang terjadi. Beberapa orang duduk mengelilingi meja besar, dan di tengah-tengah mereka duduk Darius—sosok yang selama ini ia cari-cari. Tentu saja, dia tidak mengira akan langsung menemui Darius malam ini.
Liana memusatkan perhatian pada percakapan mereka. Dia harus memastikan apa yang mereka rencanakan, dan apakah itu benar-benar ancaman yang harus dihentikan.
“Begitu kita dapat kontrol penuh atas pasokan senjata itu, kita akan menyerang,” suara Darius terdengar rendah, tegas, dan penuh perhitungan. "Kita tidak bisa lagi menunggu. Segala sesuatu harus bergerak sekarang."
Liana menahan napas. Serangan. Itu yang dia takutkan. Darius tidak hanya akan merusak satu bagian dari kota, tetapi dia berencana melancarkan kekacauan besar. Jika ini berhasil, tidak hanya Rafael yang terancam—seluruh kekuatan mereka akan runtuh.
Liana memutuskan untuk bergerak cepat. Tanpa berpikir panjang, ia meraih ponselnya yang tersembunyi di balik jaket kulitnya. Dengan hati-hati, dia mengirimkan pesan kepada Rafael: "Mereka sedang mempersiapkan serangan besar. Darius ada di sini."
Pesan terkirim, dan Liana merasa sedikit lega. Itu adalah langkah pertama. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah keluar hidup-hidup dan mengumpulkan informasi lebih banyak. Tapi, sepertinya, malam ini tidak semudah itu.
Ketika Liana berbalik, langkahnya terhenti. Darius sudah berdiri, matanya langsung tertuju padanya. Liana tahu dia sudah tertangkap.
“Kamu sudah cukup lama mengintip, gadis,” suara Darius yang rendah dan menggema membuat jantungnya berpacu kencang. “Aku tidak suka ada orang yang mengganggu urusanku. Apa yang kamu cari di sini?”
Liana berusaha tetap tenang, meskipun seluruh tubuhnya merasa kaku. “Aku hanya ingin tahu tentangmu,” jawabnya dengan percaya diri, meskipun dalam hati, dia tahu dirinya tengah terpojok.
Darius tertawa pelan, lalu mengangkat alisnya. “Kamu memang berani. Tapi keberanianmu tidak akan membantu. Tidak ada yang bisa keluar dari sini hidup-hidup setelah mengkhianati kami.”
Liana menelan ludah, mencoba berpikir cepat. Ini adalah titik balik yang ia takutkan. Tapi tak ada waktu untuk mundur. Sekarang atau tidak sama sekali.Liana menatap Darius dengan tatapan tajam, berusaha menutupi kegelisahan yang mulai merayapi dirinya. Setiap detik terasa semakin berat, namun dia tahu, jika ia menunjukkan ketakutan sedikit saja, Darius akan semakin mempermainkannya.
“Apa kamu pikir aku takut pada ancaman kosong?” jawab Liana, berusaha menegaskan suaranya. “Aku hanya melakukan apa yang aku rasa benar. Dan jika itu membuatmu marah, ya sudah, itu urusanmu.”
Darius tersenyum sinis, tetapi di balik senyum itu, Liana bisa melihat ada sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan. Dia melangkah mendekat, tatapan matanya semakin tajam seolah ingin menembus setiap lapisan pertahanan yang dimiliki Liana.
“Tidak ada yang benar-benar bisa ‘benar’ di dunia ini,” kata Darius pelan. “Semua orang punya harga. Dan kamu... kamu belum tahu harga dirimu.”
Liana merasa seluruh tubuhnya kaku. Kata-kata itu mengintimidasi, tetapi ia tidak bisa menunjukkan kelemahan. Dia mengangkat kepala, berusaha menunjukkan bahwa dia bukanlah wanita yang mudah dibungkam.
Tiba-tiba, pintu gudang terbuka dengan keras. Salah satu anak buah Darius masuk, tampak terengah-engah. “Tuan Darius, ada sesuatu yang salah. Ada orang yang menyerang markas kita. Mereka datang dari luar kota.”
Darius seketika berbalik, wajahnya berubah serius. “Laporan yang terlambat,” katanya dingin. “Siapa yang berani menyerang kita?”
Liana melihat peluang itu. Sementara Darius fokus pada laporan yang datang, pikirannya mulai bekerja. Inilah saat yang tepat untuk keluar. Namun, dia juga tahu, jika dia bergerak sekarang, Darius bisa saja menahannya. Keputusan cepat harus diambil.
Dengan gerakan cepat, Liana berlari menuju pintu belakang gudang, berusaha memanfaatkan kekacauan yang terjadi. Pintu itu sedikit terbuka, dan dengan secepat kilat, Liana melesat keluar ke dalam kegelapan malam.
Namun, secepatnya, langkah kakinya terdengar di belakangnya—Darius tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.