Judul: Takdir di Ujung Cinta
Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.
Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kekesalan Laras
Saat Soraya hendak menyebrang tiba-tiba sebuah mobil meleset di depannya, hampir saja Soraya tertabrak. Beruntung Ray berada di sana. Ray segera menarik Soraya dan menariknya ke pinggir.
"Soraya!!! " teriak Ray.
Sementara Arman langsung berlari setelah melihat Ray menyelamatkan Soraya.
"Kau tidak apa-apa"ucap Arman cemas.
Ray menatap Arman lalu melihat mobil yang melaju kencang yang hampir menabrak Soraya.
Soraya masih terkejut, napasnya tersengal-sengal. Ia memegang erat lengan Ray yang masih menggenggam tangannya. Ray menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
“Aku... aku tidak apa-apa,” jawab Soraya akhirnya dengan suara gemetar.
“Terima kasih, Ray.”
Ray mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada Soraya seolah memastikan dia benar-benar aman.
Arman yang baru tiba di dekat mereka segera memegang bahu Soraya.
“Kau yakin tidak terluka?” tanyanya cemas, pandangannya bolak-balik antara Soraya dan jalanan yang baru saja dilalui mobil.
Soraya mengangguk pelan. “Aku hanya kaget.”
Namun,Arman tampaknya tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
“Apa kau tidak melihat sebelum menyebrang, Soraya? Itu terlalu berbahaya!” katanya dengan nada yang lebih tajam dari biasanya.
Soraya terdiam, merasa bersalah. Arman segera menengahi.
“Sudahlah, Arman. Yang penting dia selamat. Kita tidak perlu memperdebatkan ini sekarang.”
Arman menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
“Maaf, aku hanya khawatir. Kalau aku tidak ada di sini, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.”
Soraya menggigit bibirnya, merasa hatinya sedikit teriris mendengar nada khawatir Arman yang bercampur kesal. Ia tahu Arman hanya peduli, tapi tetap saja ucapannya terasa menyakitkan.
“Aku tidak sengaja, Arman,” gumam Soraya pelan, nyaris tak terdengar.
Ray, yang masih berdiri di sampingnya, menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan. Ia menepuk punggung Soraya dengan lembut, lalu berkata,
“Yang penting sekarang Soraya selamat. Kita harus bersyukur tidak terjadi apa-apa.”
Arman mengangguk pelan, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran yang dalam. Dia merapikan rambut Soraya yang sedikit berantakan karena angin dan berkata lebih lembut,
“Lain kali hati-hati, ya. Aku nggak mau sesuatu terjadi padamu.”
Soraya hanya menjawab dengan anggukan kecil. Namun, tatapannya kemudian beralih ke Ray, yang selama ini lebih banyak diam. Entah kenapa, genggaman Ray yang sebelumnya begitu kokoh membuatnya merasa aman. Soraya menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdetak cepat.
“Ray... tadi itu, terima kasih banyak,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tulus.
Ray tersenyum samar.
“Kamu nggak perlu terima kasih. Aku cuma melakukan apa yang seharusnya.”
Namun, ada sesuatu di cara Ray menatapnya yang membuat Soraya merasa bahwa ucapan itu lebih dari sekadar kerendahan hati. Ada perhatian mendalam di matanya, sesuatu yang sulit dijelaskan.
Arman memperhatikan interaksi itu dari sudut matanya. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, ada rasa tidak nyaman yang mulai merayap di hatinya.Ya! Arman takut jika Ray menyimpan perasaan terhadap Soraya, istrinya. Sebab hubungan mereka memang tidak baik-baik saja.
"Aku akan mengantarkan mu " ucap Arman.
Soraya hanya mengangguk. Namun kekesalan dari raut wajah Laras dan Nadia terpancar jelas. Mereka yang sejak tak memperhatikan Soraya dan Arman menjadi kesal melihat Soraya masih dalam kondisi sehat bugar.
"Kau ceroboh sekali, Nad! Kau yakin pria yang kau sewa untuk mencelakai Soraya itu berkompeten? Kau lihat sekarang, Soraya baik-baik saja".
Kesal Laras. Ya! Mobil yang hampir saja menabrak Soraya adalah orang yang di sewa Nadia untuk mencelakai Soraya. Laras tak ingin Arman kembali bersama Soraya. Kedatangan saat ini semua adalah palsu. Laras hanya ingin memanfaatkan dan memanipulasi Arman dengan kebohongan yang mereka ciptakan.
"Kau lihat bukan, Arman sudah percaya pada ku. Dan sebentar lagi arman pasti akan menyerahkan semua kekayaan pada anakku ".
Jelas Laras. Namun Nadia kesal melihat kakaknya. Ia bahkan tak tahu jika Laras masih serakah seperti dulu.
" Kak, aku kira kau benar-benar tulus pada Arman. Dan semua kebohongan yang kau ciptakan hanya untuk membuatnya kembali padamu! "ucap Nadia.
Laras tersenyum miring.
" Kau tahu kenapa aku melakukan ini? Aku hanya ingin membalas kan denganku pada Faisal , ayah mertuaku. Dia sudah banyak ikut campur dalam urusan rumah tangga ku! "
Laras mencoba memprovokasi adiknya agar tetap memihak kepadanya. Nadia sebenarnya sangat baik pada keluarga Arman. terbukti saat Nadia datang di acara pertunangan dan pernikahan Aan dan Soraya.
Namun setelah Laras kembali, Nadia terpengaruh kebohongan yang diciptakan Laras.
"Soraya tak bersalah. Tak seharusnya kau mencelakai nya! " pikir Nadia.
"Kau tidak tahu, Nad. Selama Soraya masih hidup. Arman tidak akan benar-benar kembali padaku. Aku hanya menginginkan dirinya.".
Nadia terhenyak. " Kau pikir dengan begitu Arman bisa kembali pada mu? Bagaimana jika Arman mengetahui hal ini? Apakah Arman masih akan percaya pada mu? ".
Laras terdiam. Namun Laras hanya percaya pada keyakinannya. Melihat sekarang Arman sudah menjauh dari keluarganya. Laras berpikir jika Arman masih mencintainya.
Sementara Arman berpikir keras, ia melihat hal yang ganjil saat peristiwa tadi. Dimana tiba-tiba sebuah mobil entah dari mana melaju kencang dan hampir saja menabrak Soraya.
Arman mengambil ponselnya dan menghubungi Ray, sahabatnya yang tiba-tiba ada di sana.
"Aku ingin bicara" ucap Arman.
___
Kini Arman dan Ray sudah duduk bersama disebut kafe langganan mereka.
"Ada apa, Man? sudah malam begini kau memanggilku? " ucap Ray.
Arman mengutarakan semua kejanggalan yang terjadi siang tadi. Seperti halnya Arman, Ray juga memikirkan hal yang sama. Ketika Arman memutuskan untuk menemui Soraya. Ray sengaja mengikutinya. Ray hanya ingin melihat sahabatnya baik-baik saja. Karena sebelumnya Faisal, ayah Arman memintanya untuk membuntuti nya.
"Jadi maksudmu kau diperintah ayahku untuk membuntuti ku? " ucap Arman tak percaya.
Ray hanya mengangguk. Ray juga menjelaskan sejak Arman memutuskan keluar dari perusahaan itu Faisal tak pernah melaporkan kepada dewan direksi. Faisal yakin jika suatu hari nanti Arman akan kembali.
"Apa kau tahu sesuatu, Ray? " tanya Arman.
Ray menundukkan kepala, menyesap kopinya sebelum mengangkat pandangannya kepada Arman. Matanya terlihat serius, penuh pertimbangan.
"Aku tidak tahu banyak, Man. Tapi ada sesuatu yang mencurigakan. Faisal—ayahmu—sepertinya tidak suka dengan keputusanmu untuk keluar dari perusahaan. Dan aku rasa dia tahu sesuatu dari masa lalu dan mungkin ada rahasia dibalik kembali nya Laras."
Arman mematung, mencerna kata-kata Ray.
"Jadi, itukah sebabnya ia pernah mengatakan aku tidak akan begini jika aku tahu yang sebenarnya. Tapi kenapa ayahku sampai menyuruhmu untuk mengikuti ku?" Suara Arman terdengar semakin keras, menandakan kekesalan yang mulai memuncak.
"Aku tidak tahu, Arman. Hanya kau yang bisa menjawabnya." sahut Ray.