Kimberly atau dipanggil Lily usia 21 tahun gadis tangguh yang memiliki bela diri tingkat tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata. Mempunyai Alter Ego bernama Emily, orang yang dingin, terkejam tanpa ampun terhadap musuhnya, tidak mempunyai hati. Emily akan muncul apabila Lily dalam keadaan sangat bahaya. Namun konyolnya, Lily mati karena bola susu yang tersangkut di tenggorokannya ketika sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat reality show Korea favorit nya.
Lily terbangun di tubuh Kimberly Queeni Carta, pewaris tunggal keluarga Carta, konglomerat no 02 di Negara nya. Mempunyai tunangan bernama Max yang tidak menyukainya dan terang-terangan menjalani hubungan dengan Lolita.
Kimberly sekarang bukanlah Kim si gadis lemah dan penakut seperti dulu. Kimberly menjadi sosok yang menakutkan dan membalikkan penghinaan.
Kimberly bertemu dengan Davian Isandor Dhars, tunangan masa kecilnya yang dingin dan diam-diam selalu melindunginya.
Akankah Lily akan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Damainya Mansion Carta
Lily memutar setir mobil sportnya dengan santai, memasuki gerbang besar yang otomatis terbuka. Mansion keluarga Carta berdiri megah di hadapannya, dengan taman luas yang tertata rapi dan air mancur megah di tengahnya. Rumah itu tampak seperti istana kecil dengan pilar-pilar besar dan dinding berhiaskan ukiran artistik.
Seorang pelayan segera menghampiri mobilnya begitu Lily memarkirkan kendaraan di depan pintu masuk utama.
“Selamat datang, Nona Lily,” ucap pelayan itu sambil membungkukkan badan.
“Terima kasih, Pak Joko,” balas Lily sambil menyerahkan kunci mobil. “Parkirkan mobilnya, ya.”
Dengan langkah santai, Lily menaiki tangga marmer menuju pintu masuk. Begitu ia masuk, udara sejuk dari pendingin ruangan dan aroma bunga segar menyambutnya. Beberapa maid langsung membungkuk memberi salam.
“Selamat sore, Nona Lily,” ucap mereka serempak.
Lily mengangguk kecil. “Sore. Apa Papa dan Mama sudah pulang?” tanyanya.
“Mereka belum tiba, Nona. Tapi mereka diperkirakan sampai dalam setengah jam lagi,” jawab salah satu maid.
“Baiklah. Kalau begitu, aku ke kamar dulu,” kata Lily sambil berjalan menuju tangga utama.
Begitu pintu kamar Lily terbuka, kemewahan langsung terpancar. Kamar itu lebih besar dari apartemen kelas atas. Dinding berwarna krem dengan aksen emas, tempat tidur ukuran king dengan kanopi berlapis kain sutra, dan lampu gantung kristal yang menggantung megah di langit-langit. Sebuah jendela besar menghadap ke taman belakang, dihiasi tirai tebal berwarna gading.
Di satu sudut kamar, terdapat sofa panjang dengan meja kaca yang dihiasi bunga mawar putih. Di sisi lain, lemari besar dengan pintu kaca menampilkan koleksi pakaian dan aksesoris mahal milik Lily.
Seorang maid masuk sambil membawa nampan berisi minuman dingin dan beberapa potong camilan.
“Minuman sore Anda, Nona,” katanya sambil meletakkan nampan di meja.
“Terima kasih, Mira,” ucap Lily sambil duduk di sofa. Ia mengambil segelas jus jeruk dari nampan dan meneguknya perlahan.
Mira, salah satu maid yang paling dekat dengan Lily, berdiri dengan sopan di samping sofa. “Apa ada yang perlu saya siapkan untuk Anda, Nona?”
Lily menggeleng. “Tidak untuk sekarang. Kalau Papa dan Mama pulang, beri tahu aku.”
Mira mengangguk dan meninggalkan kamar setelah membungkukkan badan.
Lily menghela napas, mencoba menikmati suasana damai di kamarnya. Setelah hari yang cukup melelahkan di sekolah, kamar ini adalah tempat di mana ia bisa benar-benar bersantai.
Ketika jam menunjukkan pukul tujuh malam, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar Lily. Mira mengetuk pintu dengan lembut.
“Nona Lily, Tuan dan Nyonya sudah tiba. Mereka menunggu di ruang makan.”
Lily tersenyum kecil. “Baik. Aku akan segera turun.”
Ia berdiri, merapikan rambutnya sebentar, lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.
Ruang makan keluarga Carta tak kalah megah dari bagian rumah lainnya. Meja makan panjang dengan taplak berwarna emas berdiri di tengah, dikelilingi oleh kursi-kursi berlapis kain mewah. Di atas meja, lilin-lilin tinggi menyala, memberikan suasana hangat dan elegan.
Papa dan Mama Lily sudah duduk di ujung meja, menunggunya. Papa Lily, seorang pria paruh baya dengan aura tegas, tersenyum melihat putrinya masuk. Sedangkan Mama Lily, dengan wajah lembut dan anggun, melambaikan tangan memanggilnya.
“Nah, ini dia putri Papa dan Mama!” ucap Papa Lily dengan nada ceria.
Lily berjalan mendekat dan mencium pipi kedua orang tuanya sebelum duduk. “Maaf membuat kalian menunggu,” katanya sambil tersenyum.
“Tidak masalah, sayang. Bagaimana hari pertama sekolahmu?” tanya Mamanya sambil menuangkan air ke gelas Lily.
“Itu cerita panjang, Ma. Tapi secara keseluruhan, cukup menarik,” jawab Lily sambil terkekeh.
Pelayan mulai membawa hidangan ke meja, mulai dari sup jamur truffle, steak salmon, hingga salad segar. Suasana di meja makan penuh canda tawa saat keluarga ini mulai berbicara tentang banyak hal.
“Papa dengar tadi kau naik mobil sport ke sekolah? Apa kau sudah bisa mengemudikannya dengan baik?” tanya Papanya dengan nada bercanda.
“Papa meragukan kemampuan anaknya sendiri?” balas Lily sambil pura-pura tersinggung.
Mereka tertawa bersama. Obrolan ringan seperti ini adalah rutinitas yang selalu mereka lakukan setiap malam. Meski sibuk, kedua orang tua Lily selalu memastikan mereka pulang tepat waktu agar bisa makan malam bersama putri semata wayang mereka.
Setelah makan malam, Lily berjalan-jalan sebentar di taman belakang mansion. Taman itu diterangi lampu-lampu kecil yang memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang menenangkan. Angin malam yang sejuk membuat Lily merasa rileks.
Ia duduk di salah satu bangku taman, memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit. Pikirannya melayang ke kejadian di sekolah tadi, lalu ke insiden dengan para preman.
“Emily benar-benar ikut ke sini,” gumamnya pelan. Ia merasa aneh tidak bisa berbicara dengan alter egonya itu di saat damai seperti ini.
Namun, Lily tidak ingin terlalu memikirkannya. “Yang penting, aku bisa melindungi diriku sendiri,” katanya pada dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat menikmati ketenangan, Lily memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Di dalam, suasana sudah dibuat nyaman oleh para maid. Lampu-lampu redup, seprai sudah dirapikan, dan segelas susu hangat diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur.
Lily mengambil segelas susu itu, meneguknya perlahan sambil berbaring di tempat tidur. Ia memandangi langit-langit kamar, membiarkan pikirannya melayang sebelum akhirnya tenggelam dalam tidur.
Setelah meneguk susu hangat, Lily meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Ia mengetik cepat dan menelepon seseorang. Tidak butuh waktu lama, panggilan tersambung.
“Hey, Dave,” ucap Lily dengan suara lembut.
“Hm. Kau menelepon malam-malam begini? Biasanya kau sudah sibuk tidur, Nona sibuk,” jawab Davian dengan nada datar, tapi terselip kehangatan.
Lily tertawa kecil. “Hanya ingin cerita soal sekolah hari ini. Kau pasti sudah tahu, kan? Aku tahu kau melihatku tadi di kantin,” balasnya dengan nada menggoda.
Di ujung telepon, Davian terdiam sesaat. “Jadi kau sadar?”
“Tentu saja. Kau pikir aku tidak tahu tatapan ‘kulkas dua pintu’ yang tiba-tiba melunak itu?” goda Lily sambil tertawa kecil.
Davian mendesah, tetapi terdengar senang. “Jadi, bagaimana sekolahmu hari ini?”
Lily mulai bercerita tentang bagaimana ia mendekati teman-teman sekelasnya, reaksi mereka, dan bagaimana ia mulai merasa diterima. Davian mendengarkan dengan sabar, sesekali menyisipkan komentar.
“Baiklah, Nona Lily, kau terdengar menikmati peranmu,” ujarnya akhirnya.
“Yah, terima kasih karena selalu ada untukku,” jawab Lily dengan tulus.
Davian tersenyum tipis di seberang telepon. “Aku selalu di sini, Lily. Selamat malam.”
“Selamat malam, Dave,” ucap Lily sebelum menutup telepon. Hatinya terasa hangat sebelum akhirnya ia memejamkan mata.
Di sudut lain mansion, Papa dan Mama Lily juga sudah beristirahat. Mereka merasa lega melihat putri mereka kembali ke rumah dengan senyuman. Meskipun mereka tidak tahu apa yang sedang dihadapi Lily, mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Malam itu, mansion besar keluarga Carta dipenuhi keheningan yang damai. Di kamar Lily, sebuah bayangan samar terlihat di cermin besar di sudut ruangan.
“Aku di sini,” suara Emily terdengar sangat pelan, nyaris seperti bisikan.
Namun, Lily tidak mendengarnya. Ia sudah tertidur lelap, mempersiapkan dirinya untuk hari-hari penuh tantangan yang akan datang.
mantap grazy y
lanjut lagi Thor...