NovelToon NovelToon
Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Qatar love
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: siscaatann

Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TAKDIR MEMPERTEMUKAN KEMBALI

Beberapa bulan berlalu, dan hidupku kayak roller coaster yang nggak ada habisnya. Setiap harinya aku berusaha buat move on dari Bima. Rina terus mendukungku dengan ngajakin ke berbagai acara, kegiatan, dan bahkan kelas yang bikin kita lebih kenal diri sendiri. Tapi di balik semua itu, rasa sakit di hati ini masih ada.

Sekarang, aku udah mulai masuk ke semester baru di kampus, dan yang bikin aku kaget adalah… aku satu jurusan sama Bima, di teknik sipil! Gila, deh. Rasanya kayak takdir lagi bercanda sama hidupku. Dalam hati, aku mikir, “Kenapa sih harus ketemu lagi?” Tapi ya, mau nggak mau, aku harus siap.

Hari pertama kuliah, suasana kampus kayaknya masih sama. Orang-orang ramai, suara tawa dan obrolan di mana-mana. Rina yang udah lebih dulu datang, nyambut aku dengan semangat. “Meg! Lu udah siap belum? Kita bakal jadi tim di kelas ini, dan kita harus tampil kece!” Dia pun nyengir lebar.

“Gue sih udah siap. Tapi… Bima, Rin…” Ucapanku terhenti, dan Rina langsung paham. “Tenang aja! Lu harus fokus ke diri lu sendiri. Jangan biarkan dia bikin lu mundur!” Aku mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Di kelas, aku duduk di barisan tengah. Beberapa menit kemudian, Bima masuk ke ruang kelas. Dia terlihat lebih dewasa, dengan rambut yang lebih rapi dan gaya berpakaian yang makin keren. Hati ini berdebar, dan rasanya kayak ada beban yang berat di dadaku.

“Meg, fokus! Lu harus tahan!” bisikku dalam hati. Bima duduk di sebelah temannya, dan aku mencoba untuk tidak melihatnya. Namun, rasa penasaran bikin aku mencuri pandang. Senyumnya masih bikin aku lemas, tapi kali ini aku berusaha untuk tetap tenang.

Pelajaran berjalan dengan lancar, meskipun aku merasa agak canggung setiap kali Bima mengeluarkan suara. Rasanya, semua ingatan yang ingin aku lupakan kembali hadir. Tapi, aku bertekad untuk tetap fokus dan enggak terjebak dalam perasaan lama.

Setelah kelas, Rina nyamperin aku. “Meg, lu oke? Tadi gue lihat lu kayak rada tegang.” Dia ngelihatku dengan tatapan prihatin. “Gue baik-baik aja, Rin. Cuma… masih ngerasa aneh aja bisa satu kelas sama dia.” Rina mengangguk. “Sama. Tapi, kita harus bisa buktikan bahwa kita lebih dari sekadar masa lalu, ya!”

Hari-hari berikutnya di kampus, aku berusaha untuk tetap normal. Rina dan aku mulai beradaptasi dengan materi kuliah yang baru, dan kami jadi makin dekat dengan teman-teman baru. Namun, Bima masih menjadi perhatian di sudut hati ini. Rasanya susah banget buat baper, tapi aku tahu ini semua harus bisa aku lewati.

Suatu hari, saat kami lagi grup belajar di perpustakaan, aku merasakan kehadiran Bima. “Aduh, kenapa sih? Nggak bisa istirahat, ya?” batinku. Ternyata, Bima juga ada di perpustakaan, duduk di meja sebelah bersama temannya. Aku berusaha fokus, tapi mata ini nggak bisa berpaling.

“Meg, jangan lihat! Lu harus fokus sama tugas ini!” Rina menasihatiku sambil nuduh-nuduh meja. Dia jelas-jelas ngebaca ekspresi wajahku. “Iya, iya. Tapi susah, Rin!” ucapku kesal. Rina pun hanya bisa menggelengkan kepala.

Ketika kami lagi asyik ngerjain tugas, Bima tiba-tiba berdiri dan menghampiri kami. “Eh, hai! Kalian lagi ngerjain tugas ya?” Dia menyapa kami dengan ramah. Suaranya masih sama, bikin hati ini bergetar.

“Eh, hai Bima! Iya, kita lagi ngerjain tugas desain. Lu juga?” jawab Rina dengan santai. Aku hanya bisa tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terlihat panik. “Iya, aku lagi nyusun proposal juga. Kalau butuh bantuan, kabarin ya!” Bima berkata sambil tersenyum. Setelah itu, dia kembali ke meja, dan aku merasakan detak jantungku yang makin cepat.

“Gila, Meg! Lu lihat itu? Dia masih baik dan ramah! Coba deh, jangan terlalu baper,” Rina menggoda. “Gue tahu, Rin. Tapi susah banget, deh!”

Malam itu, ketika pulang, aku merasa bingung. “Apakah aku masih bisa mencintai Bima? Atau semua ini hanya nostalgia?” tanyaku dalam hati. Rasanya kayak ada pertarungan antara perasaan lama dan keinginan untuk move on.

Selama beberapa minggu ke depan, aku berusaha untuk fokus pada kuliah dan kegiatan lain. Aku mulai ikut organisasi di kampus, dan bertemu dengan banyak orang baru. Rina juga terus mendukungku, dan kami makin sering hangout bareng teman-teman baru. Namun, setiap kali aku melihat Bima, ada rasa yang sulit untuk aku ungkapkan.

Suatu malam, Rina ngajak aku ke acara kampus. “Meg, kita harus pergi! Ini kesempatan kita untuk bersenang-senang dan melupakan semua beban!” Dia bersemangat banget. “Oke, Rin. Kita pergi! Tapi kalau ada Bima, gue mundur!” kataku sambil melambai-lambaikan tangan.

Saat kami tiba di acara, suasananya rame dan seru. Musik berdentum, dan semua orang pada berjoget. Rina langsung menarikku ke tengah kerumunan. “Ayo, Meg! Kita harus menari!” Aku ikut saja, meskipun jantung ini berdegup kencang.

Di tengah keramaian, aku nggak sadar kalau Bima juga ada di sana. Rasanya kayak dunia ini berputar. Ketika aku berbalik, mataku bertemu dengan mata Bima. “Aduh, kenapa sih? Ini pertemuan yang aneh,” batinku. Dia tersenyum, dan aku merasa jantung ini hampir copot.

Rina yang melihat interaksi itu, langsung nuduh aku. “Eh, Meg! Lu lihat! Bima lagi liatin lu!” Dia ketawa ngakak, dan aku cuma bisa cengeng. “Ya udah, jangan baper!” aku mencoba untuk tetap cool.

Malam itu, meskipun ada Bima, aku berusaha untuk menikmati acara. Aku berdansa, tertawa, dan bergaul sama teman-teman baru. Rasanya, sedikit demi sedikit, aku mulai bisa bernafas lagi.

Setelah acara selesai, Rina dan aku duduk di luar, menikmati udara malam. “Meg, seru banget, kan? Lu berhasil mengalihkan perhatian dari Bima!” Rina berkata sambil mengaduk es krimnya. “Iya, Rin. Mungkin aku bisa lebih fokus ke diri sendiri dan ke kegiatan yang bikin aku senang.”

Hari-hari berlalu, dan hubungan dengan Bima menjadi semakin aneh. Kami sering berpapasan di kampus, tetapi aku berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh. Meskipun rasa itu masih ada, aku mencoba untuk bersikap biasa.

Suatu sore, saat aku dan Rina lagi nunggu di halte, Bima tiba-tiba datang. “Eh, hai! Kalian nunggu angkot ya?” dia menyapa kami. Hati ini berdebar lagi. “Iya, nih. Mau ke mana, Bim?” Rina bertanya dengan santai.

“Gue mau ke kafe. Ada acara kumpul bareng teman-teman,” jawab Bima. Dia terlihat rileks dan percaya diri. “Oh, seru! Semoga menyenangkan ya!” Rina menjawab. Aku hanya bisa tersenyum dan berharap perasaanku nggak muncul lagi.

Saat angkot datang, kami bertiga berpisah. Bima melambaikan tangan dan pergi. Rina langsung menoleh ke arahku. “Meg, lu harus bisa menghadapi perasaan ini! Jangan lari dari kenyataan!” Dia menatapku dengan serius. “Gue tahu, Rin. Tapi ini semua lebih rumit dari yang lu pikirkan.”

Setelah kejadian itu, aku mulai merenung. Apakah aku masih mencintai Bima? Atau apakah semua ini hanya perasaan yang enggan pergi? Aku merasa bingung, tapi satu hal yang pasti: aku harus berani menghadapi perasaanku. Takdir sepertinya memang mempertemukan kita kembali, dan mungkin ini adalah kesempatan untuk menyelesaikan semuanya.

Suatu malam, aku dan Rina memutuskan untuk pergi ke kafe tempat Bima biasa hangout. “Meg, ini momen penting! Kita harus bicarakan ini!” Rina bilang dengan semangat. Aku hanya bisa mengangguk, meskipun jantung ini berdebar kencang.

Setelah sampai di kafe, aku melihat Bima di sudut. Dia lagi ngobrol sama teman-temannya. “Oke, ini saatnya,” bisikku dalam hati. Rina

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!