Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi
Di sebuah pagi yang cerah, matahari bersinar dengan ceria. Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang. Dengan semangat yang menggebu-gebu, aku, Megha Anantasya, bersiap-siap di depan cermin. Oke, Megha, hari ini harus jadi hari yang luar biasa. Aku sudah mempersiapkan outfit terbaikku, rok pendek denim yang dipadukan dengan kaus putih oversized dan sneakers kece. Rambutku yang panjang dibiarkan terurai, dan sedikit cat eye di mata membuatku merasa lebih percaya diri.
“Megha, jangan telat ya!” suara mamaku dari dapur menyadarkanku dari lamunan. Dengan semangat, aku melangkah keluar rumah, menenteng tas ransel yang berisi buku-buku pelajaran dan alat tulis. Meskipun sekolah itu bisa dibilang membosankan, ada satu alasan yang membuatku bersemangat untuk pergi ke sana: Bima Dirgantara.
Bima, cowok dengan aura misterius yang bikin semua cewek di sekolah bergetar. Tinggi, dengan rambut hitam yang selalu tertata rapi, dan matanya yang tajam bikin semua orang merasa tersihir. Kami satu kelas di SMA, dan meskipun Bima lebih memilih untuk menyendiri, entah kenapa aku merasa tertarik untuk mengenalnya lebih dekat.
Saat aku tiba di sekolah, suasana ramai sudah terasa. Suara tawa teman-teman dan teriakan junior memenuhi udara. Aku menyusuri lorong menuju kelas sambil mencari-cari sosok Bima di antara kerumunan. Pasti dia sudah ada di kelas, seperti biasa, duduk di pojok dengan buku di tangan.
“Megha! Udah lama nggak ketemu!” suara Rina, sahabatku, mengagetkanku.
“Hai, Rin! Iya nih, seneng banget bisa ketemu lagi,” jawabku sambil tersenyum lebar. Kami berdua melanjutkan obrolan seputar liburan, tapi pikiranku terus melayang ke Bima. Rasa penasaran ini benar-benar bikin aku nggak fokus.
Setelah bel berbunyi, kami semua berlarian menuju kelas. Dengan sedikit penuh semangat, aku masuk ke dalam ruangan dan, ya, benar saja, Bima sudah ada di sana, dengan posisi favoritnya: duduk sendirian di pojok, memegang buku dan headset di telinga. Dengan perasaan berdebar, aku berjalan mendekatinya.
“Eh, Bima! Apa kabar?” aku mencoba menyapa meskipun suaraku terdengar sedikit bergetar.
Dia mengangkat kepalanya, memandangku dengan tatapan datar. “Baik,” jawabnya singkat, lalu kembali menunduk ke buku yang dibacanya. Oke, ini bukan respon yang aku harapkan. Namun, semangatku tidak padam. Di dalam hatiku, aku berpikir, mungkin butuh waktu untuk membuka hatinya.
Selama pelajaran berlangsung, aku curi-curi pandang ke arah Bima. Dia terlihat serius banget dengan pelajarannya, tapi setiap kali aku mencoba memperhatikannya, dia selalu menghindar. Rasanya campur aduk, antara penasaran dan frustasi. Kenapa dia harus sesulit ini?
Setelah beberapa jam, akhirnya istirahat tiba. Suara lonceng berbunyi dan semua orang berhamburan keluar kelas. Aku melangkah ke kantin dengan harapan bisa mengobrol lebih banyak dengan Bima. Dengan keberanian, aku berusaha untuk mendekatinya.
“Bima, mau makan bareng?” tanyaku, berusaha untuk terdengar santai.
Dia menatapku sebentar, lalu berkata, “Nggak, gue mau sendiri.” Ugh, sakit banget sih, tapi aku berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi kecewa.
Aku mencari tempat duduk di sebelah Rina dan teman-teman lainnya. Mereka bisa melihat ekspresi wajahku yang cemberut. “Gimana, Meg? Kenapa nggak sama Bima?” tanya Rina.
“Aduh, dia tuh kayak batu. Keras banget!” jawabku sambil menggelengkan kepala. “Tapi, entah kenapa, aku pengen deket sama dia. Ada sesuatu yang bikin aku tertarik.”
Rina hanya mengangkat alisnya. “Kayak cewek di drama-drama gitu ya? Berjuang untuk dapet perhatian cowok dingin?”
“Iya, gitu deh,” jawabku sambil tersenyum kecut.
Setelah istirahat selesai, pelajaran dilanjutkan. Kali ini, pelajaran seni. Aku duduk di sebelah Rina, dan setelah beberapa menit, guru seni meminta semua orang untuk menggambar sesuatu yang membuat mereka bahagia. Tanpa berpikir panjang, aku menggambar senyumanku yang ceria, dengan latar belakang matahari terbenam.
Tapi saat melihat Bima, aku langsung terinspirasi. Aku memutuskan untuk menggambar dia, dengan harapan bisa menyampaikan perasaanku lewat seni. Semangatku mulai menyala lagi.
Setelah beberapa menit, aku mengangkat gambarku dan membandingkannya dengan yang lain. Rina melirik gambarku dan tertawa. “Wow, kreatif banget! Bima pasti bakal suka, deh!”
“Harapan, Rin. Harapan,” jawabku sambil menghela napas.
Ketika pelajaran selesai, aku memberanikan diri untuk mendekati Bima lagi. “Eh, Bima, liat gambarku!” Aku menunjukkan gambarku padanya dengan penuh harap.
Bima menatap gambarku, dan untuk sesaat, ada cahaya di matanya. “Lumayan,” katanya singkat, lalu tersenyum tipis. Itu adalah senyuman pertamanya untukku. Detak jantungku berdebar kencang, dan aku merasa seolah dunia berhenti sejenak.
“Eh, makasih, Bima. Itu… berarti banyak,” balasku, berusaha untuk tidak terkesan terlalu senang.
Kembali ke tempat dudukku, hatiku berdebar-debar. Apa ini pertanda? Apa mungkin dia mulai membuka hati? Tentu saja, harapanku membara. Satu senyuman dari Bima adalah segalanya. Aku tidak bisa menahan diri untuk terus berimajinasi tentang bagaimana jika, suatu saat, dia benar-benar menyadari keberadaanku.
Hari itu berakhir dengan berbagai perasaan campur aduk. Satu senyuman dari Bima sudah cukup untuk mengubah segalanya. Aku tahu, meskipun jalanku untuk mendapatkan hatinya nggak mudah, aku akan terus berusaha. Dengan tekad dan harapan yang membara, aku bersiap-siap untuk menghadapi tantangan-tantangan selanjutnya.
“Gengam tangan ku, jangan pergi,” gumamku pada diri sendiri, berharap bahwa suatu saat Bima akan mengerti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments