Zanaya sangat tergila-gila pada Revan sejak dari mereka duduk di bangku sekolah, bahkan dia menyuruh orang tuanya menjodohkan keduanya, siapa sangka itu menjadi petaka untuk dirinya sendiri.
Dengan kedua bola matanya sendiri, dia melihat sang suami menodongkan pistol ke arahnya yang dalam keadaan hamil besar, disampingnya seorang gadis bergelayut manja tersenyum menyeringai ke arahnya.
"Ada pesan terakhir zanaya?" Tanyanya dingin.
Zanaya mendongak menatap suaminya dengan penuh dendam dan benci.
"Jika ada kehidupan kedua, aku tak akan mencintai bajingan sepertimu. Dendamku ini yang akan bertindak!" Ucapan zanaya penuh penekanan.
Dor! Dor! Dor!
Tiga tembakan melesat ke arah wanita cantik itu tepat di kepalanya, membuatnya terjatuh ke dasar Danau.
Saat membuka mata, dirinya kembali ke masa lalu, masa dimana dia begitu bodoh karena tergila-gila pada Revan
Tapi setelah mengalami reinkarnasinya, ada takdir lain yang akan menantinya. Apakah itu, silahkan baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malu Tak Berujung
"Jeng Yuniar, ayo tunjukkan! Jeng Yuniar pasti punya fotonya, kan? Bukankah kalian dekat layaknya ibu dan anak?" sahut Nita penasaran.
"I-tu itu ... Hmm ... Aku tidak punya foto bersama, sebab foto itu berada ponsel lama aku," jawab Yuniar berkilah.
"Heh! Anda hanya mengada-ada Nyonya! Bahkan foto keluarga kita bersama saja, anda tidak punya. Sedangkan aku punya foto keluarga besar aku, tapi Nyonya tidak ada disana," ujar Zanaya, membuat para pengunjung yakin jika gadis cantik itu yang benar.
Yuniar kini, berkeringat dingin. Bingung ingin menjawab apa.Teman-temannya pun ikut gelisah. Sebab mereka pasti akan ditahan, jika tidak membayar makanan yang sudah berada di dalam perut masing-masing.
Wanita yang berbaju hitam maju, baru kali ini dia angkat suara, "Setidaknya jika kalian bukan keluarga, kamu harusnya bersimpati kepada Jeng Yuniar dengan membayar makanan itu," ujarnya menggertak gadis cantik didepannya.
"Betul, kamu harus nya merasa kasihan," sahut yang lain. Ucapan teman sosialitanya, sedikit membuat Yuniar lega, sebab mereka masih membelanya pikirnya.
Gadis cantik itu mendengus dingin "Nyonya-Nyonya sekalian ini sungguh lucu! Kalian yang pesan makanan itu dengan harga sampai puluhan juta. Tapi kalian membebankan pada orang yang tidak kalian kenal. Terlebih saya hanya seorang gadis remaja yang masih berstatus sekolah. Bahkan uang saku pun masih di tanggung orang tuaku, tapi kalian dengan tega, mencoba menggertak dan menipu saya," sarkas nya, membuat wanita sosialita itu terdiam.
"Jika disini ada yang harusnya bersimpati, bukankah itu kalian. Kalian itu berteman bukan? Seharusnya kalian berenam ikut membantu membayarnya," sambung Zanaya semakin membuat mereka terdiam.
Para pengunjung, mulai mencibir mereka bertujuh bahkan ada yang terang-terangan menghina mereka.
"Mereka betul-betul ingin menipu gadis remaja"
"Kalau tak punya, uang tidak usah sok-sokan mau makan disini"
"Benar, mana bicaranya sangat sombong lagi"
"*Y*a, suaranya bahkan sangat menganggu pengunjung lain".
"Kakak sekalian kalau ingin menagih. Tagih pada mereka, saya benar-benar tidak mengenal mereka," kata Zanaya pada para pekerja resto itu, membuat mereka mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi yah kak!" ucap Zanaya, yang langsung di bukakan jalan menuju pintu.
"Terimakasih sudah berkunjung! Hati-hati dijalan. Maaf atas ketidak nyamanan ini," kata pelayan itu, penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa kak."
"Zanaya, jangan pergi kamu!" teriak Yuniar panik. Tapi tidak dipedulikan oleh Zanaya, gadis cantik itu terus melangkah keluar dari pintu restoran.
"Zanaya!" Yuniar hendak mengejar Zanaya, tapi di halangi oleh para pekerja disana.
"Nyonya, anda jangan coba-coba untuk kabur. Jika tidak! Kami akan melaporkan anda ke polisi!" ancam Manager restoran itu, setelah mendengar suara keributan yang berada di lantai bawah.
"Saya tidak ingin kabur, saya hanya ingin mengejar keponakan saya," kilah Yuniar, mencari alasan.
"Anda ini masih bebal yah. Bukankah nona itu sudah mengatakan, jika dia tidak mengenal anda nyonya," ujar manager itu, dia merasa kesal dengan wanita didepannya ini.
Setelah Zanaya pergi, dengan memakai motor sportnya. Sedangkan Zanders sudah menunggu, sedikit jauh dari restoran tersebut agar tak dilihat Yuniar.
Untungnya Zanaya mengirim pesan, agar sang kakak lewat pada pintu belakang restoran setelah urusannya toilet. Tanpa bertanya dulu, Zanders langsung mengiyakan.
Kini Yuniar kelimpungan mencari uang, untuk membayar makanan itu. Sebab uang yang dia bawa, sangat jauh dari kata cukup.
"Aduh, bagaimana ini?" Yuniar mencoba menelfon Fani dan suaminya. Tapi keduanya kompak tidak mengangkat telfonnya.
"Sialan! Kemana mereka berdua?" gerutu Yuniar, menatap nanar ponselnya.
Yuniar kemudian menatap ke-enam teman sosialitanya, "Jeng, bagaimana kalau kita patungan bayarnya?" ujar Yuniar, kali ini dia melupakan kesombongannya.
Kini wajah teman-temannya berubah keruh, "Loh, kenapa kita yang harus bayar? Bukannya jeng Yuniar sendiri, yang mengajak kita kesini," sahut wanita yang berbaju maroon menolak dengan wajah kesalnya.
"Benar, jeng Yuniar yang bilang sendiri, kalau akan mentraktir kita semua," tambah wanita yang berbaju hijau army.
"Jadi, jeng Yuniar sendiri yang harus membayarnya! Kenapa malah dibebankan pada kami?" kata yang lain, mengangguk.
"Tapi kalian yang pesan paling banyak. Bahkan yang harganya paling mahal, kalian juga memesan untuk di bawah pulang," ketus Yuniar, yang tidak dapat membendung kekesalannya.
"Kenapa kita yang disalahkan? Bukannya jeng sendiri, dengan sombongnya mengatakan kita bebas memilih makanan apapun bahkan yang paling mahal," sinis wanita yang berbaju hitam.
"Bahkan beberapa menit yang lalu, jeng mengatakan kita boleh memesan untuk membawa pulang," sambung yang lain, membuat Yuniar diam tak berkutik untuk kedua kalinya.
Akhirnya mereka berdebat, di hadapan para pengunjung membuat orang-orang sedikit terhibur.
"Berhenti!" tegur sang Manager, suara tegas lelaki berumur 30 tahun, membuat mereka yang berdebat akhirnya diam.
"Sekarang bayar, atau kami akan melaporkan kalian pada pihak berwajib!" ancamnya tidak main-main.
Wanita yang berbaju hitam maju, "Tuan, jika ingin menagih, maka tagih lah pada orang ini!" Tunjuknya pada Yuniar, membuat empunya melotot tidak percaya.
"Benar, awalnya kami akan pulang saat dari mall didepan sana. Tapi orang ini yang mengajak kami, dan berkata akan mentraktir, kita semua. Jadi tagih pada orang ini!" sambung yang lain, membuat Yuniar semakin gelisah. Dimana dia mendapatkan uang sebanyak itu.
"Baiklah! Kalian boleh pergi!" usir Manager karena dia sudah muak melihat wanita glamor yang katanya kaya ini.
"Kalau begitu kami permisi! Bye jeng Yuniar," Mereka pergi begitu saja, tanpa menghiraukan pekikan Yuniar, sungguh mereka tidak ingin terlibat.
"Sekarang ayo bayar, totalnya 65 juta 3 ratus ribu nyonya," ujar Manager itu, membuat Yuniar meneguk ludahnya kasar.
Di sisi lain, kini Zanaya bersama sang kakak telah sampai di salah satu perusahaan sang papa, yang bergerak di bidang otomotif. Perusahaan keluarga Dixon bergerak di semua bidang, salah satunya tempat yang di datangi kedua bersaudara itu.
Dan langsung disambut ramah oleh resepsionis yang sudah mengenal Zanders. Sedangkan Zanaya belum di kenal sama sekali oleh semua karyawan sang papa.
"Selamat datang tuan muda!" ucap ramah resepsionis itu, Zanders hanya mengangguk dan langsung menuju lantai teratas.
***
Malam harinya, kedua kakak beradik itu sedang berbincang seru. Bahkan Zanders tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak, karena merasa puas.
"Kamu benar-benar hebat, bisa ngerjain Tante Yuniar," puji Zanders, alih-alih marah. Dia merasa adiknya benar-benar cerdas.
"Siapa suruh cari perkara sama Zay? Padahal Zay tidak mengusiknya. Eh dianya yang berani cari masalah, kan senjata makan tuan. Dia pikir Zay akan membayar semua makanan mereka? Enak saja," gerutu gadis cantik itu.
"Ya, sudah. Kamu tidur! Kakak ingin ke kamar, mau istirahat," ujar Zanders mengacak rambut sang adik, kemudian berlalu keluar dari kamar sang adik.
Setelah sang kakak pergi, wajah yang polos tadi berubah dingin. Kemudian gadis cantik itu menyeringai, "Permadi, giliran kalian."