Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 : Teman lama dan teman baru
Ara baru saja ingin memanggil nama orang itu sebelum Alan.
“Mas Mahesa?” tanpa disangka malah Alan duluan yang mengenali orang itu. Mereka berdua salam panco sambil tepuk-tepuk bahu.
“Alan, udah besar kamu. Azka, kamu dari dulu nggak berubah. Stay cool.”
Berikutnya Azka menyalami Mahesa dengan akrab.
“Ini istri kamu kan? Sorry aku lupa nama kamu.”
“Tari.”
“Ah ya, itu nama kamu. Dan ini…”
“Calon istri aku, Mas.” Alan mengenalkan Dista.
“Dista.”
“Datang ya pas nikahan aku besok, tiga bulan lagi.” Alan menambahkan.
“Waaaah! Selamat ya my Brooo! Keren! Gua suka gaya lo. Sat set. Das des. Nyampe pelaminan. Itu baru cowok gentleman.”
Alan tertawa sambil mempersilahkan Mahesa duduk. Mahesa mengambil kursi di sebelah Saka. Dia baru sadar ada orang yang tidak dikenalnya.
“Heh! Lupa sama aku?” Ara memasang muka galak sambil bersedekap.
“Oh iya lupa, Nyonya rumah malah belum aku sapa. Hai, cantik. Lama nggak ketemu, gimana kabar kamu? Kok bisa ya kebetulan ketemu di sini. Ada acara apa nih?”
Mahesa menyalami tangan Ara erat dan lama. Menunggu jawaban.
“Ketemu temen, sekalian makan-makan sama dedek-dedek kelaparan nih. Oh, ya, kenalin, ini…”
Belum selesai Ara bicara, Mahesa sudah beralih menatap Saka. Pandangan matanya jelas mengintimidasi. Mahesa mengulurkan tangannyanya kepada Saka.
“Mahesa. Teman masa kecilnya Ara.”
Saka membalas jabat tangan itu dengan kikuk.
“Saka. Teman barunya Ara.”
Seketika atmosfer di sekitar mereka berubah panas dingin. Mendadak ada aura permusuhan yang menguar.
Dista : “Model kayak anak band. Kemeja flanel kotak-kotak, dalaman kaos hitam, topi dibalik, celana jeans robek lutut, gelang tali tiga lapis, jam tangan sporty, sneaker high cut. Fix. Dia setipe sama Mbak Ara.”
Tari : “Nah ini baru pribadi yang gamblang, nggak suka basa-basi, berani. Ala bad boy, tapi sepertinya penyayang. Pokoknya kalau macem-macem sama Mbak Ara, tetep tak pithing gulune!”
Alan : “Waduh, kok malah ada orang lama muncul lagi nih? Kalau aku sih suka sama Mas Mahesa, dulu dia mau-maunya nganter aku futsal demi mencuri perhatian Mbak Ara. Tapi nggak tahu ya sekarang dia gimana. Apa masih suka kayak dulu? Mbak Ara-nya sih nggak peka. Dasar!”
Azka : “Kapan pulangnya nih? Malah nambah satu orang lagi. Ngantuk aku.”
Ara : “Makan aja! Trus pulang!”
Rupanya telepati di antara kakak adik itu masih saja terus berlangsung.
“Kamu pulang ke rumah Tante Nia, Hes?” Ara tidak bisa menahan rasa penasarannya.
“Yap. Kemarin. Dan akan beberapa bulan ke depan.”
“Sama band kamu?”
“Yap. Ada jadwal manggung di beberapa tempat. Tapi bukan itu aja sih tujuan utamaku balik ke kota ini.”
“Ada kerjaan lain kah?”
“Yap. Sorry kalau aku ganggu pertemuan kamu sama temen baru kamu ini, tapi aku mau nanya kamu, kapan kamu ada waktu di rumah? Pengen ketemu Tante Sarah dan Om Agung juga. Lama nggak ketemu. Dan...nasi gorengnya Mbok Siran. Sumpah, nggak ada nasi goreng seenak itu di mana-mana. Kalau beliau pensiun, kasih tau aku, aku bukain warung nasi goreng. Hehe…”
“Aku nggak akan bilang Mbok Siran, takut beliau pensiun dini gara-gara rayuan mautmu. Papa...Sabtu dan Minggu libur. Mama seperti biasa, jago kandang.”
“Oke, besok aku ke rumah kamu. Nggak keberatan, kan?”
Ara melirik ke Saka yang membuang muka ke lain arah.
“Nggak kok. Dateng aja.”
“Sip!”
Mahesa menepuk tangannya lalu menyomot dimsum di piring Ara.
“Hey, itu punyaku! Pesen sendiri sana!”
“Nggak perlu. Aku udah mau cabut. Tadi aku udah makan bareng anak-anak di sini. Mereka udah nungguin di mobil. Thanks ya. See ya!”
Mahesa mengucek rambut Ara sebelum pergi.
“Stop it. I’m not a kid anymore.” Ara merapikan poninya.
“Haha! Pergi dulu, my Bro!”
Kembali lagi Mahesa jabat tangan sama adik-adik Ara. Mahesa masih sempat-sempatnya memberi sebatang lolipop kepada Syila. Ara tersenyum tipis melihat tingkah Mahesa.
“Uhm…Ara…aku harus pamit.”
“Oh!” Ara hampir lupa ada sosok lain yang harusnya jadi fokusnya kali ini. “Kok buru-buru?”
“Iya nih, tadi karyawanku ngasih kabar, ada yang harus aku selesaikan di sana.”
“Ooh…baiklah kalau begitu. Maaf ya kalau tadi…”
“Nggak apa-apa, nggak masalah kok. Nanti kita ngobrol lagi di WA.”
Saka berpamitan pada adik-adik Ara. Karena merasa bersalah sudah bikin nggak nyaman, Ara mengantar Saka keluar dari restoran.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
Saka merasa kaget dipanggil Mas oleh Ara. Ada rasa adem yang mengalir ke dalam dadanya.
“Iya, kamu juga nanti pulangnya hati-hati.”
“Makasih.”
Saka masuk ke mobil diiringi lambaian tangan Ara. Ara kembali masuk ke restoran bersama adik-adiknya. Dia makan dimsum tanpa banyak kata. Entah kenapa bertemu dua orang itu membuat dirinya lelah. Lelah di hati.
Di satu sisi dia harus membuka lagi memori masa lalunya bersama Mahesa, di satu sisi dia harus mempersiapkan diri untuk membuka diri kepada Saka.
“Wah, susah nih. Ada dua kandidat. Kira-kira Mama suka yang mana ya?” Alan berceloteh sambil menyendok kuah seblak.
“Apanya yang dua orang?”
“Lah, kamu nggak nyadar Mas Mahesa tadi gimana? Dia juga belum nikah sampai sekarang, masih nungguin kamu kali’, Mbak. Kalian nih para orang tua bener-bener, ya... CLBK. Cinta lama belum kapok.”
“Mana ada cinta aku sama Mahesa.”
“Kamu nggak peka sih, Mbak. Aku aja paham.”
“Hilih, kamu disogok es teh aja langsung paham.”
“Hehe…”
“Jadi gimana menurut kalian?”
“Yang mana?”
“Mas Saka lah, Masa’ Mahesa. Mahesa kan kalian udah kenal dari kecil.”
“Ya jalani aja dulu dua-duanya. Sementara sih nggak buruk.”
“Pokoknya sebelum dia bilang mau serius, jangan gampang kasih hati, Mbak.” Dista menambahkan.
“Lah, kamu kok malah ngajarin Mbak Ara buat jual mahal sih, Say.” Alan merasa tidak terima dengan usul Dista.
“Eh, jadi perempuan itu harus punya pertahanan. Jangan asal kasih. Bahaya itu.”
“Hoo…jadi selama ini kamu gitu juga ya sama aku?”
“Ya dong. Jadi perempuan itu harus eksklusif.”
Ara nyengir. Dia paham kalau Dista berpendapat begitu karena lingkup kerjanya yang berada di lingkungan beauty and fashion.
“Iya tuh, Mbak Ara perlu dipermak jadi perempuan! Jangan keseringan pakai celana jeans sama sweater mulu. Gimana ada yang mau kalau para laki-laki itu salah mengira kamu itu cowok. Wakakakak! Aduh!”
Tangan Alan ditusuk garpu sama Ara.
Sementara kakak adik itu ribut, Mahesa dan Saka bergelut dengan pikiran masing-masing. Saka bingung kenapa dia merasa kehadiran Mahesa cukup mengganggu. Dia merasa tidak seharusnya cemburu pada orang yang baru saja ditemuinya. Jika bukan cemburu, lalu apa namanya? Apakah ini kompetisi?
Mahesa merasa kangen berat sama Ara, dan menganggap kehadiran Saka adalah ancaman baru. Selama ini Mahesa merasa tenang karena Ara anteng saja, tidak pernah terlihat memiliki gandengan baru sejak tragedi itu.
Mahesa merasa inilah saatnya untuk dia mengambil hati Ara lagi. Dia tidak ingin menyerahkan Ara kepada orang lain lagi. Dia tidak ingin Ara sakit hati lagi. Dia ingin melindungi Ara dalam naungannya.