"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembicaraan 2 sohib
Ghina menghempaskan dirinya di ranjangnya, menatap langit-langit...
Om Edward tahu gak kalau saya sering memandangmu dari kejauhan kalau ada acara keluarga, kadang saya suka berkhayal bisa menjadi istrimu Om. Tapi itu hanya khayalan saja, tidak berharap menjadi kenyataan. Karena saya tahu, wanita yang selalu ada di sampingmu. Dan sadar saya hanyalah anak kecil yang tidak pantas menjadi istrimu Om.
Siang ini pertama kalinya Om ajak saya ke resto. Om tahukah hatiku berdebar, apalagi berduaan dan puas menatap wajah tampan Om tanpa bersembunyi lagi.
Tapi sungguh sayang, saya kecewa atas kejujuran Om. Semoga pernikahan Om dan mbak Kiren dapat restu dari Opa.
Ghina mulai tertidur setelah memikirkan kejadian tadi siang di resto.
“Pah, sebaiknya kita jangan memaksakan Ghina untuk menikah dengan Edward,” rajuk Mama Sarah.
“Papa sudah terlanjur janji dengan Om Thalib, menyerahkan Ghina sebagai menantu mereka.”
“Papa kan tahu, Ghina akan terluka dengan pernikahan dia nanti. Akan dimadu oleh Edward tanpa sepengetahuan kita dan orang tuanya.”
“Ghina akan mampu menghadapinya Mah.” bujuk Papa Zakaria, walau sebenarnya hatinya meragu.
“Awas jangan sampai terjadi apa-apa dengan Ghina, Papa harus bertanggung jawab!” ketus Mama Sarah kecewa dengan pendirian suaminya.
Papa Zakaria terdiam.
.
.
Pagi di hari Senin ...
Ghina sudah rapi dengan seragam SMU, begitu juga dengan adiknya Rio yang masih duduk di bangku SMP.
“Sarapan dulu Ghina sebelum berangkat,” titah Mama Sarah.
Buru-buru Ghina mengambil beberapa lembar roti dan mengolesinya dengan selai kacang kesukaan dia.
“Mam ... berangkat dulu ya,” ucap Ghina sambil memakan sarapannya.
“Ya, hati-hati di jalan.”
.
.
Semenjak Ghina selesai ujian nasional, sekolahnya agak santai. Hanya mengumpulkan beberapa tugas yang belum selesai, lalu tinggal ngobrol-ngobrol dengan temannya di kelas sambil menunggu waktu pulang sekolah.
“Ghin ... muka loe dari tadi ditekuk aja?” tanya Rika.
“Gue lagi bete.”
“Bete kenapa?”
“Gue dijodohi sama bokap, mau dikawinin ama saudaranya.”
“Wah bokap loe serasa tinggal di jaman dahulu aja, pakai di jodohin segala anaknya!”
“Kalau di jodohi sama saudara bokap loe, berarti calon laki loe udah tuir dong,” goda Rika.
“Siake loe, ya belum tua-tua banget sih, baru umur 33 tahun kayaknya.”
“Wah itu sama aja tuir, kawin sama om-om!”
“Aahhh percuma gue curhat sama loe.”
“Sorry jangan ngambek dulu. Trus loe terima gak perjodohannya?”
“Justru itu Rika, bokap gue kemarin terima lamarannya. Dan sebulan lagi gue akan dinikahkan. Gila gak tuh!”
“Waduh, secepat itu!”
“Hem ..., ” gumam Ghina.
“Dan yang lebih gilanya lagi, calon laki gue bakal menikahi kekasihnya juga.”
“Apaaaa!” Kedua bola mata Rika hampir keluar.
Ghina pun lanjut menceritakan semua kejadian di resto.
“Ghina, gue sarani loe kabur ke mana kek, biar tidak jadi menikah. Secara usia kayak kita masih muda, dan kita tidak tinggal di kampung. Kita nih tinggal di ibukota.”
“Duh tumben sohib gue bijak banget.”
“Ah jadi serba salah.” Rika menggaruk kepalanya.
“Gue juga bingung, kalau gue kabur. Bingung mau pergi ke mana, lagi pula gue masih sayang sama bokap nyokap gue.”
“Berdoa aja deh Ghin, semoga ada jalan keluarnya. Dah sekarang mending kita jajan ke kantin.” ajak Rika.
“Yuklah!”
Ghina dan Rika bergandengan tangan jalan menuju kantin sekolahnya.
Drett ... Drett ...
Ponsel Ghina yang berada di dalam kantong roknya berdering.
Drett ... Drett
Dirogohnya ponsel dari kantong, “siapa sih yang telepon, gak tahu lagi jam sekolah,” gerutu Ghina sambil melihat layar di ponselnya.
“Kok gak dijawab teleponnya?” tanya Rika.
“Gak kenal nomornya, paling orang nyasar.” Ghina kembali menyantap basonya.
Derrt ... Derrt
Ponselnya kembali berdering dengan nomor yang sama, bukannya dijawab teleponnya justru di matikan ponselnya.
“Nah beres, gak ada yang ganggu gue makan baso.” kembali dia menyuap baksonya.
“Siapa tahu penting tuh telepon.”
“Ya ... kalau penting, tuh orang bakal sms atau wa Rik,” jawab santai Ghina sambil menikmati basonya.
.
.
KRING ... KRING ... KRING
Suara bel sekolah tanda pulang sudah berbunyi. Siswa Siswi mulai berhamburan keluar dari kelas menuju gerbang sekolah.
“Ghina, beneran gak mau bareng pulang ama gue?” tanya Rika.
“Iya ... gue naik angkot aja,” jawab Ghina.
“Ya udah gue duluan ya, mobil jemputan gue udah datang. Bye ... sampai ketemu besok bestie ... muaach,” ucap Rika sambil kecup jauh.
“Bye bye my bestie ... muach,” jawab Ghina balas kecup jauh.
Ghina lanjut melangkahkan kakinya menuju halte dekat sekolahnya.
TIIN ... TIIN
Suara klakson membuat Ghina terkaget, sampai terhenti langkahnya. Melihat mobil mewah yang berhenti dibelakangnya.
Lelaki muda dengan berjas rapi keluar dari pintu pengemudi. “Permisi Non Ghina, silakan masuk sudah ditunggu Tuan Besar!” ujar pria tersebut.
“Bapak kok tahu nama saya? Tuan Besar siapa?” Ghina masih tanda tanya. Melihat pria tersebut membukakan pintu mobil bagian tengah.
Karena tidak ada jawaban juga, Ghina mengacuhkan permintaan pria tersebut, malah kembali berjalan menuju halte.
“GHINA ...!” Suara bariton pria tampan sedikit berteriak. Ghina menghentikan langkah kakinya, mendengar namanya di panggil, lalu membalikkan badannya.
“Om Edward!!” seru Ghina masih bengong ditempatnya.
Buat apa Om Edward ke sekolah ? Kok bisa tahu gue sekolah di sini/
Edward terlihat melangkah ke arah Ghina, sedangkan gadis itu pelan-pelan berjalan mundur lalu berbalik badan ... kemudian berlari.
Buru-buru Ghina berlari, ditengoknya sebentar ke belakang ternyata Edward ikut berlari mengejarnya.
Melihat ada angkot yang berhenti di halte, Ghina langsung masuk tanpa melihat jurusannya kemana.
“Bang cepetan jalan mobilnya, ada orang jahat kejar saya!” pinta Ghina masih ngos-ngosan kepada sopir angkot.
“Mana neng, orang jahatnya?” tanya sopir angkot ikutan melongok keluar jendela.
“Tuh Bang, orangnya sudah mau mendekat ..!” Ghina menunjuk Edward yang mulai mendekat.
Sopir angkot langsung tancap gas, dan Edward tidak bisa menyusulnya.
“SIALAN ... pakai kabur!” gerutu Edward dengan napas yang ngos-ngosan.
“Makasih banyak ya Bang,” ucap Ghina.
“Sama-sama Neng.”
Ghina juga sedikit lega, ternyata angkot yang dia tumpangi menuju rumahnya.
Akhirnya Ghina sampai dengan selamat sampai rumah, tanpa harus bertemu dengan Om Edward.
“Assalamualaikum,” sapa Ghina saat masuk ke dalam rumahnya.
“Waalaikumsalam, loh kok kamu udah pulang Nak?” tanya Mama Sarah.
“Lah kan memang pulang jam segini mah,” jawab Ghina, sedikit aneh dengar pertanyaan mamanya.
“Tadi papa telepon mama katanya kamu pulang terlambat karena mau diajak makan siang sama Edward dan jemput kamu di sekolah,” jelasnya Mama Sarah.
“Gak ada yang jemput Ghina kok di sekolah. Ah paling itu alasan Om Edward aja mam, padahal makan siang bareng mbak Kiren,” jawab asal Ghina.
“Dah ... Ghina mau ganti baju dulu, habis itu mau bikin pesanan kue buat Bu Tayo,” Ghina menuju kamarnya.
.
.
bersambung
Jangan lupa supportnya Kakak Readers, biar tambah semangat. Terima kasih 😘
n