Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian Mistik
Keluarga penjual roti itu terkejut dengan apa yang terjadi pada Araya. Mereka tak menyangka bahwa kejadian tragis itu menimpa remaja yang masih sangat muda seperti dia.
Keluarga itu berusaha menenangkan dan menguatkannya. "Kami turut prihatin atas apa yang menimpamu dan juga teman-temanmu. Tetapi sekarang kamu aman. Kamu bisa tinggal di sini untuk sementara waktu sambil kami mencari informasi tentang bagaimana cara mengantarkanmu pulang ke kotamu. Jujur saja, kami belum pernah mendengar nama tempat itu, Kota Duran."
“Ah, iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Buno, ini istriku, Eva, dan ini anakku, Muya. Seperti yang kamu tahu, kami punya usaha toko roti di Pasar Ribe. Orang-orang di desa ini memanggilku ‘Paman Buno’.”
“Aku sangat berterima kasih karena telah mengizinkanku tinggal di sini,” ucap Araya tulus.
Muya, yang terlihat ceria, menjawab, “Kamu bisa tidur di kamar belakang. Aku akan merapikannya nanti,” sambil mengunyah makanan di piringnya.
Eva, yang sedang membereskan piring-piring bekas makanan, bertanya, “Bagaimana dengan lukamu? Apa sudah dioleskan dengan minyak yang Bibi berikan tadi?”
“Sudah, Bi. Luka goresnya cukup banyak, dan minyaknya habis untuk dioles ke semua lukaku,” jawab Araya dengan nada sedikit mengeluh.
“Tak apa, nanti Bibi buatkan lagi. Itu bagus untuk mengobati luka dan memar. Lukamu bisa cepat sembuh. Aku juga akan buatkan obat untuk diminum nanti ketika Nak Araya mau tidur,” kata Eva.
“Terima kasih banyak,” balas Araya dengan rasa syukur yang mendalam.
Muya menambahkan, “Itu ramuan khusus dari desa kami. Desa kami terkenal hebat dalam pembuatan obat-obatan.”
Buno tersenyum, “Sudah, cepat makannya, Muya. Bereskan kamarnya agar Araya bisa istirahat.”
“Baik, Yah,” sahut Muya sambil mempercepat makannya.
Setelah selesai membereskan kamar, Muya mempersilakan Araya untuk istirahat. Sembari bercerita tentang desa yang ada di bawah, Araya bertanya mengapa di bawah sangat sepi dan juga menceritakan dirinya bertemu dengan seorang nenek yang tampilannya aneh dan menakutkan.
“Mereka bukan manusia,” jawab Muya cepat, sambil tersenyum dan sedikit tertawa. Araya pun tersenyum dan menganggap itu sebagai candaan dari Muya.
Setelah Muya meninggalkan Araya dan menutup kamarnya, Araya membaringkan badannya. Dia menghela napas panjang, bersyukur karena sekarang baik-baik saja dan berharap bisa segera pulang ke rumahnya. Perlahan, dia mulai tertidur hingga terdengar suara alunan musik yang menyadarkannya dari tidur.
“Kenapa ada suara musik malam hari begini?” tanyanya sambil bangun dari tempat tidurnya.
Setelah duduk dan mendengarkan sejenak, dia sadar bahwa musik itu berasal dari luar. Dia mendekat ke arah jendela dan mencoba mengintip keluar.
Araya membuka sedikit jendela kamarnya dan terkejut melihat ternyata sudah pagi, meski belum terlalu terang karena matahari belum terbit sempurna. Dia juga heran melihat orang-orang yang menari dengan alunan musik di tugu tengah desa. Di sana, dia melihat Paman Buno dan Bibi Eva yang menonton tarian.
Paman Buno, yang sadar bahwa Araya melihatnya, langsung melambaikan tangan dan memanggilnya. Araya mengangguk kecil mengiyakan, lalu keluar dan ikut melihat tarian itu.
Masih dalam perasaan heran dan penasaran akan keunikan yang ada di desa itu, Araya menghampiri Paman Buno dan Bibi Eva yang menyaksikan tarian. Dia melihat Muya di dalamnya yang juga ikut menari. Mereka mengenakan pakaian tradisional yang indah berwarna merah.
Seakan terbawa suasana dan terpesona oleh kecantikan serta keindahan tarian Muya, Araya tersenyum sambil bertepuk tangan bersama warga desa lainnya. Namun, ia terkejut ketika melihat banyak orang berdiri di luar pagar kampung sambil memegangi pedang dan parang, dengan wajah datar dan pandangan tajam.
“Siapa mereka, Paman? Kenapa bawa senjata?” tanya Araya dengan nada panik.
Dengan santai, Paman Buno menjawab, “Tidak apa-apa. Nanti juga mereka pergi kalau sudah terang.”
Dengan perasaan takut, Araya memperhatikan bahwa orang-orang itu mengelilingi desa, jumlah mereka sangat banyak, dengan ekspresi yang sama, namun tidak bergerak dan hanya menatap para penari.
Araya teringat pandangan mereka yang sama seperti nenek yang ia jumpai di bawah kemarin. Dia yakin ada yang tidak beres di tempat ini, tetapi dia tak tahu harus berbuat apa dan hanya terpaku ketakutan di samping Paman Buno.
Akhirnya, matahari terbit sempurna, dan orang-orang yang ada di luar pagar kampung itu pergi. Tarian serta musik pun berhenti dimainkan. Warga desa semuanya bersorak dan bertepuk tangan atas pertunjukan tari, seolah tak peduli dengan orang-orang aneh yang ada di luar pagar desa.
Seperti tidak terjadi apa-apa, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing. Beberapa ada yang menyapu, ada yang masuk ke rumah, dan ada yang bersiap pergi ke kebun atau bekerja. Paman Buno dan Bibi Eva juga mengajak Araya masuk ke rumah untuk sarapan, sambil menyambut Muya dan memujinya karena dia menari sangat baik pagi ini.
Araya, yang masih dalam kebingungan atas kejadian tadi, hanya mengikuti mereka berjalan kembali ke rumah, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
Sembari sarapan, mereka mengajak Araya untuk ikut ke toko roti hari ini. Araya, yang memiliki seribu pertanyaan, merasa seperti tak mampu mengungkapkan rasa penasarannya dan hanya berkata, “Iya,” sambil mencari cara agar bisa cepat pulang, karena dia mulai merasa tidak nyaman di sini.
Setelah selesai sarapan, mereka bersiap pergi ke toko roti. Dengan menggunakan pakaian Paman Buno yang sedikit kebesaran, Araya juga bersiap untuk ikut. Dia merasa heran karena luka-luka di badannya sudah kering dan tidak sakit lagi. Memar pada kaki dan sikunya juga sudah hilang. “Obatnya benar-benar manjur,” pikirnya dalam hati.
Mereka pun berjalan menuju toko, disertai tegur sapa hangat warga desa setiap kali berpapasan. Araya, yang masih dalam keadaan penasaran dan sedikit takut, terbawa suasana hangat warga desa. Dia tak henti-hentinya melihat wajah Muya yang seolah menarik hatinya ketika melihatnya menari tadi.
Ketika mereka sampai di bawah, Araya mulai memperhatikan rumah-rumah di desa bawah yang ternyata tidak semenyeramkan kemarin. Rumah-rumah itu tampak biasa, dan orang-orang juga terlihat biasa saja, walau tidak ada tegur sapa atau senyum seperti orang-orang di desa atas. Araya mencoba menanyakan perihal orang-orang yang membawa senjata tajam pagi tadi, tetapi dia mengurungkan niatnya, menyimpannya untuk ditanyakan nanti setibanya di toko roti.