Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Matahari mulai terbit ketika Bagas dan Siti kembali ke kantor. Malam panjang yang mereka lalui di pelabuhan tua telah memberikan mereka secuil jawaban, tetapi juga membuka lebih banyak pertanyaan. Kantor Red-Eye Detective Agency yang biasanya sunyi kini dipenuhi ketegangan yang tak biasa.
Bagas melepas jasnya dan duduk di kursinya dengan lelah, sementara Siti menuangkan secangkir kopi hitam untuknya. Ia tahu Bagas pasti butuh kopi untuk mencerna semua informasi yang mereka dapatkan.
“Jadi, sekarang kita tahu kalau kematian Pak Ramelan berkaitan dengan kelompok gelap yang merasa dikhianati olehnya,” kata Siti, duduk di kursi berhadapan dengan Bagas. “Tapi itu belum menjawab siapa yang akan menjadi target berikutnya.”
Bagas mengangguk sambil menyeruput kopinya, wajahnya berpikir dalam. “Seseorang pasti tahu lebih banyak tentang hubungan Pak Ramelan dengan kelompok ini. Dan biasanya, yang tahu adalah rekan bisnis terdekat.”
Siti membuka map yang berisi dokumen-dokumen tentang Pak Ramelan. “Menurut catatan bisnisnya, Pak Ramelan pernah punya beberapa rekan kerja penting. Salah satunya adalah Bapak Kusuma, seorang pengusaha tekstil yang cukup berpengaruh di kota ini. Mereka pernah membuka bisnis bersama sekitar sepuluh tahun yang lalu, tetapi tidak lama kemudian bisnis itu bubar tanpa alasan yang jelas.”
Bagas menatap nama itu dengan tajam, merenungkan setiap kemungkinan yang mungkin tersembunyi di baliknya. “Kusuma… Nama yang terlalu bersih untuk seseorang yang pernah berurusan dengan Ramelan.”
“Pak Kusuma memiliki reputasi baik di masyarakat, Pak,” tambah Siti, suaranya sedikit ragu. “Dia dikenal dermawan dan sering memberikan bantuan sosial. Apakah mungkin dia terlibat dalam sesuatu yang kotor?”
Bagas tersenyum tipis. “Di dunia ini, seringkali yang paling terlihat bersih adalah yang paling kotor. Kusuma mungkin terlibat lebih dalam daripada yang kita kira.”
Siti mengangguk, kemudian kembali membuka beberapa lembar dokumen yang tersisa. “Jika dia benar-benar rekan bisnis yang dulu berhubungan dengan kelompok ini, maka bisa jadi dia adalah target berikutnya. Atau, setidaknya, dia tahu siapa yang terlibat dalam urusan ini.”
Bagas berdiri, mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan Kusuma. “Kita harus segera bertemu dia sebelum amplop merah itu sampai ke tangannya.”
---
Di Kantor Kusuma
Beberapa jam kemudian, Bagas dan Siti tiba di kantor Kusuma, yang terletak di gedung perkantoran mewah di pusat kota. Mereka diterima oleh sekretaris Kusuma yang langsung mengarahkan mereka ke ruang kerjanya yang luas dan penuh dengan hiasan mewah. Aroma kayu mahal dan parfum memenuhi udara, menambah kesan bahwa pria ini adalah seseorang dengan kekuasaan dan pengaruh.
Kusuma duduk di balik meja besar, menatap mereka dengan senyum ramah yang tampak dipaksakan. Pria itu berumur sekitar lima puluhan, dengan wajah yang bersih dan sedikit rambut beruban. Dia mengenakan setelan mahal dan mengisyaratkan mereka untuk duduk.
“Bagas Pratama, detektif swasta yang terkenal di kota ini. Saya sudah sering mendengar nama Anda,” ucap Kusuma dengan nada ramah. “Apa yang bisa saya bantu, Tuan Bagas?”
Bagas tidak membuang waktu, langsung mengeluarkan amplop merah tua yang dibawanya dari kantor. Ia meletakkannya di atas meja, lalu menatap mata Kusuma dengan tatapan tajam. “Apakah ini tampak familiar bagi Anda, Pak Kusuma?”
Kusuma menatap amplop itu dengan ekspresi terkejut yang jelas, tetapi ia segera menyembunyikannya dengan senyum tipis. “Maaf, saya tidak mengerti maksud Anda.”
Bagas tetap menatapnya, seolah mencoba menembus dinding kebohongan di balik senyum Kusuma. “Pak Ramelan baru saja ditemukan tewas. Dan sebelum kematiannya, dia menerima amplop seperti ini, berisi kata ‘Utang.’ Kami tahu kematiannya bukan kecelakaan biasa. Saya ingin tahu, apa Anda punya hubungan dengan amplop ini?”
Kusuma terdiam beberapa detik, lalu menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak lelah, seperti seseorang yang baru saja menyadari bahwa rahasia lamanya telah terkuak.
“Ya… saya mengenal Pak Ramelan,” katanya akhirnya, dengan nada yang jauh lebih rendah. “Dulu, kami terlibat dalam bisnis bersama, dan… kami berdua melakukan beberapa keputusan yang mungkin… tak bisa dibilang bersih.”
Siti mengernyit, mencoba menebak ke arah mana cerita ini akan berakhir. “Jadi, Anda tahu tentang kelompok rahasia yang dulu bekerja dengan Pak Ramelan?”
Kusuma mengangguk pelan, matanya terfokus pada amplop merah itu, seolah-olah benda itu membawa kenangan buruk dari masa lalu. “Kelompok itu… dulu kami berpikir kami bisa bekerja sama dengan mereka, memanfaatkan kekuatan mereka untuk membangun bisnis yang lebih besar. Tapi pada akhirnya, kami terjebak. Orang-orang itu tidak hanya menginginkan uang, tapi juga kendali. Ramelan dan saya memutuskan untuk keluar… tapi keluar bukanlah pilihan yang bebas konsekuensi.”
Bagas mencondongkan tubuhnya ke depan, mengunci tatapan Kusuma. “Dan sekarang mereka ingin Anda membayar harga dari keputusan itu?”
Kusuma menelan ludah, jelas terganggu oleh pertanyaan tersebut. “Saya kira begitu… Sejak kematian Ramelan, saya sudah mulai merasa seperti sedang diawasi. Saya tahu mereka masih menginginkan ‘utang’ kami dibayar, tapi saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan sekarang.”
Bagas menghela napas pelan. “Kalau begitu, Pak Kusuma, saya sarankan Anda berhati-hati. Amplop merah ini mungkin bisa sampai ke tangan Anda kapan saja.”
Wajah Kusuma semakin pucat. Ia menatap Bagas dan Siti dengan ketakutan yang tersirat di balik matanya yang mulai berkaca-kaca. “Tolong, Detektif. Jika ada cara untuk melindungi saya dari mereka, saya akan lakukan apa saja.”
Bagas berdiri, memberikan satu nasihat terakhir. “Jika Anda masih punya sesuatu yang belum dibayar, bayarlah sekarang sebelum terlambat. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan.”
Kusuma hanya mengangguk dalam keheningan, menyadari bahwa keselamatannya kini mungkin hanya bergantung pada keputusan-keputusan yang telah ia buat di masa lalu.
---
Kembali ke Kantor
Saat mereka keluar dari kantor Kusuma, Siti tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. “Pak Bagas, menurut saya ini lebih berbahaya dari yang kita kira. Orang-orang ini benar-benar tidak punya belas kasihan.”
Bagas menatap ke langit yang mulai mendung, seakan merenungkan sesuatu. “Itu sebabnya kita harus lebih cepat daripada mereka, Siti. Kita harus mencari tahu siapa saja yang terlibat dalam bisnis kotor ini sebelum amplop merah itu sampai ke tangan mereka.”
---
Semangat.