Novel dengan bahasa yang enak dibaca, menceritakan tentang tokoh "aku" dengan kisah kisah kenangan yang kita sebut rindu.
Novel ini sangat pas bagi para remaja, tapi juga tidak membangun kejenuhan bagi mereka kaum tua.
Filosofi Rindu Gugat, silahkan untuk disimak dan jangn lupa kasih nilai tekan semua bintang dan bagikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ki Jenggo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Mencari Titik Jimat
Usai menikmati kopi di dekat simpang empat, kami melanjutkan berjalan dengan mengendarai motor, telah sampai di kaki perbukitan. Perbukitan ini yang konon di pakai berlari kencang oleh ki Gede Suryo Ngalam.
Entah saking takutnya dengan para prajurit dan petinggi Ponorogo yang tak kenal ampun atau bagaimana, hingga jimat (benda keramat) yang di miliki jatuh semua. Cerita yang dituturkan Ima maupun masyarakat sekitar hanya samar samar aku terima. Begitu juga yang tercatat pada Babad Ponorogo hanya sekadar kisah informatif belaka.
"Ini adalah pohon Randu Hutan," ungkap Ima.
"Sebuah lokasi keramat?" timpaku. Sebab menurut informasi masyarakat saat menikmati kopi di warung tadi memberikan penjelasan bahwa di bawah pohon ini orang orang setempat menaruh sesaji.
Kegiatan spiritual yang dijalankan hanya sebatas saat mau menikahkan anaknya, khitanan atau momentum lainnya. Maka tak heran lokasi keramat, ini nampak rimbun dengan tumbuhan belukar yang menutupinya.
Anika memegang sebatang dahan yang telah kering untuk menyibak semak belukar yang menutup lokasi tersebut. Nampak lah sebuah batu persatu dengan permukaan rata.
"Bekas peribadatan masa lalu, lah?" gumam Anika saat melihat dengan jelas nampak batu persegi tersebut.
"Bisa jadi," sahutku.
"Mungkinkah masa Majapahit?" tanya Ima sambil mengamati batu persegi di bawah pohon Randu Alas tersebut.
"Bisa jadi sebelumnya," sahut Anika.
"Mungkin," kataku.
Ternyata setelah semak belukar bersih, batu dalam bentuk yang sama ada beberapa dan ditata melingkar di bawah pohon Randu Alas.
"Mungkinkah masa Animisme dan Dinamisme? " tanya Anika.
"Animisme dan dinamisme sekadar sebutan. Kapitayan juga bisa jadi demikian sebutan yang tepat di sini," tegas Ima.
Setelah beberapa waktu kami berada di lokasi Randu Alas akhirnya kami putuskan untuk naik ke atas bukit.
Menjelang sore kami telah sampai pada bukit tersebut. Angin berhembus dan nampak. Ternyata di luar dugaan bukit jimat dengan batu batu juga tanaman kayu nampak indah. Bahkan pada sore dengan cuaca yang cerah, nampak rumah rumah penduduk dari bukit tersebut.
"Indah, sangat indah dan membuat kita betah di bukit ini, " kata Ima.
"Ya, ternyata. Dan saya yakin bila cuaca cerah dan saat terang bulan akan bertambah indah bila kita berada di bukit ini", tambah Anika.
Aku tak mau terjebak suasana keindahan pada bukit tersebut. Aku mengamati lokasi batu dan batu yang ada di atas bukit itu. Aku biarkan merek berdua menikmati keindahan dan angin segar di atas bukit Jimat.
Namun memang benar seperti kata Ima. Sejak dahulu tak ada batu batu di sini yang nampak ada coretan, motif ataupun aksara sebagai penanda waktu kapan bukit ini di jadikan bukit keramat.
Setelah aku mengamati satu persatu, benarkah di atas Bukit atau gunung jimat, aku baru berkumpul dengan mereka.
"Justru yang nampak keramat adalah di bawah pohon Randu Alas. Di atas tak ada tanda apapun," kataku.
"Lantas bagaimana? " tanya mereka bersamaan.
"Itu yang aku bingung. Kenapa kok demikian," jawabku.
"Bisa jadi di sini Ki Gede hanya berjalan dan menuju Gunung Bacin," jawab Ima sekenanya.
"Nah, bisa jadi demikian," sahut Anika membenarkan pernyataan dari Ima.
"Goni saja kita turun, mengelilingi bukit dan pulang, " usulku.
"Tidak coba mencari di lokasi lain? " tanya Anika.
"Untuk hari ini, saya rasa tidak," jawabku.
"Ya, saya rasa juga. Terlebih hari nampaknya sudah sore dan sebentar lagi senja. Kita lanjut kapan hari lagi," sahut Ima.
Akhirnya kami sepakat untuk turun dari Bukit Jimat dan mengelilingi Gunung Jimat sambil naik sepeda motor.
Gunung itulah yang kemudian memberi tanda padaku adanya pohon Suru berduri tumbuh. Dan bisa menjadi jawaban bagi pertanyaannya beberapa waktu lalu, bila Suru tumbuh di lokasi keramat. Bisa juga pada waktu dahulu, di tempat keramat di pagar oleh pohon Suru.
*****
Waktu lepas duhur aku tiba di rumah Ima. Nampak Ima dan Anika telah berada di situ. Tak seberapa lama Ima, menyajikan segelas kopi hitam tanpa gula, sebagai kopi kesukaanku.
"Tumben Kakak menyusulku ke sini," kata Anika.
"Siapa yang nyusul, aku loh emang mau ke sini, " sahutku.
"Oh.... mau ngapelin aku, ya," gurau Ima.
Kontan kami tertawa bersama.
"Tapi ngapelin kok banyakan Anika di sini atau tidak, " ucap Ima masih tetap menahan tawa.
"Ia, kan nggak seru kalau tanpa comblang, "ucapku menimpali gurauan Ima.
Setelah puas kami bergurau, aku tuangkan kopi hitam pada lepek. Lalu dengan pelan aku meminumnya.
"Sudah ketemu sisik melik tentang Ki Gede? " tanya Anika.
Aku menggeleng.
"Kemarin aku dan Ima berdiskusi dan mendapat beberapa kesimpulan yang memang agak berbeda dengan pendapat Mbah Purwa Wijoyo dalam Babad Ponorogo," terang Anika.
"Oh, ya, bagaimana kesimpulannya yang kalian temukan?" tanyaku ingin tahu.
"Pangkalnya adalah Belik dan bau bacinnya. Bau bacin menggambarkan keikhlasan Ki Gede, yang tak ingin di ketahui orang, tentang keharusannya. Harum sebenarnya bacin dan Bacin sesungguhnya adalah wangi," terang Anika.
"Ya, tapi yang lebih tepat adalah, Di balik bacin adalah harum di balik harum adalah bacin," tambah Ima.
"Bagaimana pendapat kalian?" tanyaku.
Anika menjelaskan, sebenarnya Ki Gede adalah penguasa Wengker. Bila saat kedatangan Batara Katong adalah datang ke daerah Wengker. Sebab bila perkelahian antara Ki Gede dan Batara Katong adalah pertikaian politik yang berujung perang.
"Karena kita menyetujui bahwa Batara Katong adalah Putra Brawijaya yang mendukung keberadaan Demak," kata Ima.
"Boleh jadi demikian. Tapi bila saat kedatangan Gede Kutu di Wengker masa Brawijaya, Wengker di bawah Kekuasaan Girisa Wardana, sesuai yng tertuang dalam prasasti Waringin Pitu," kataku.
"Nah, dalam Babad Ponorogo juga demikian. Bahkan si sebut, bila Batara Katong adalah wong neneko," jawab Ima.
"Bila kita sepakat, Wengker saat itu adalah di bawah kekuasaan Gede Kutu, maka seimbang perang antara Batara Katong dan Kutu. Bila dalam babad Ponorogo, Gede surya Ngalam hanya Demang di Kutu, sangat tidak mungkin. Sebab perang tidak seimbang bila perang antara Kutu yang Kesenangan dengan Demak yang di pimpin oleh Batara Katong, " jelas Anika.
"Ronggo Lawe adalah Bupati Tuban, dia juga menghadapi Kerajaan Majapahit. Rakuti hanya penguasa padukuhan tapi dia juga melawan Majapahit di masa kepemimpinan Prabu Jaya Negara," kataku.
Anika dan Ima saling berpandangan. Mereka mengira pendapatnya tidak saya bantah.
"Lantas apa yang mendukung pendapatmu selain analisamu tadi?" tanyaku.
"Belum ada, " jawab Anika.
"Lantas, bagaimana pendapatmu selanjutnya," tanyaku.
Anika kemudian menuturkan, bahwa Randu Alas adalah lokasi pertapaan Ki Gede Surya Ngalam untuk menuju moksa. Hal itu di liat dari kekosongan lokasi di atas.
"Itu bisa jadi. Tapi yang penting adalah kita analisa dulu masa kedatangan Gede Surya Ngalam. Sebab ada kisah juga bahwa Reyog Ponorogo adalah karya dari Gede Surya Ngalam," kataku.
*****
mari terus saling mendukung untuk seterusnya 😚🤭🙏
pelan pelan aku baca lagi nanti untuk mengerti dan pahami. 👍
bantu support karyaku juga yuk🐳
mari terus saling mendukung untuk kedepannya