Kisah tentang cinta yang terjebak dalam tubuh yang berbeda setiap malam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Langkah di Dunia Baru
Ketika aku terbangun pada pagi itu, perasaan asing yang menghantui sejak pertama kali menemukan diriku di tubuh Arya kembali menyergap. Meski sekarang aku mulai terbiasa melihat wajah asing di cermin, rasa canggung dan kebingungan tetap menyelimuti pikiranku. Aku mengenakan pakaian kerja Arya, merapikan dasi, dan mencoba membiasakan diri dengan rutinitas yang tidak pernah terpikir akan kulakukan.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku berusaha menyusun strategi untuk menjalani hari ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Arya mungkin memiliki rutinitas, pekerjaan, dan interaksi yang harus kutiru. Setiap langkah yang kutempuh terasa seperti melangkah di atas garis tipis antara kenyataan dan mimpi buruk. Aku tidak tahu siapa yang mungkin memperhatikanku atau berapa lama aku bisa berpura-pura sebagai Arya sebelum seseorang menyadari bahwa ada yang berbeda.
Setibanya di kantor, suasana hangat yang sama menyambutku seperti kemarin. Rekan-rekan kerja Arya tersenyum ramah saat aku lewat, meskipun aku hanya bisa membalas senyuman mereka dengan canggung. Aku menyadari bahwa aku harus lebih mengenal kehidupan Arya jika ingin terus berperan sebagai dirinya. Dengan hati-hati, aku membuka dokumen yang tersebar di mejanya dan mulai membaca satu per satu, mencoba mempelajari segala hal tentang pekerjaan ini.
Tak lama kemudian, seseorang yang tampaknya adalah atasan Arya menghampiriku dengan tumpukan berkas di tangannya. Ia berbicara dengan cepat tentang berbagai hal yang, jujur saja, sulit kupahami sepenuhnya. Aku berusaha mengangguk dan tersenyum seolah-olah paham, tetapi hatiku berdebar kencang.
"Jangan lupa, Arya, hasil laporan ini harus selesai sore ini juga," ujarnya sambil meletakkan tumpukan berkas di mejaku. Aku menatap berkas-berkas itu dengan sedikit cemas. Membuat laporan? Pekerjaan ini mungkin lebih sulit daripada yang kubayangkan.
Setelah kepergiannya, aku membuka dokumen di laptop dan mulai mempelajari beberapa data yang ada. Sambil mencoba memahami angka-angka dan istilah asing di layar, aku menyadari bahwa kehidupan Arya penuh dengan tanggung jawab yang tidak main-main. Rasa hormat mulai muncul dalam diriku terhadap sosok Arya—seseorang yang menjalani hidup yang cukup menantang dan penuh tekanan.
Di sela-sela bekerja, rekan kerja Arya yang bernama Fira datang dan menyapa dengan ceria. Ia duduk di sebelahku, menyodorkan secangkir kopi sambil tersenyum.
"Arya, kamu kelihatan lebih pendiam dari biasanya. Ada masalah?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kalimat yang tepat. "Ah, tidak apa-apa. Mungkin cuma kurang tidur," jawabku singkat, berharap penjelasan itu cukup.
Fira mengangguk mengerti dan tersenyum. "Kalau butuh teman curhat, aku selalu ada di sini, ya." Katanya dengan nada lembut, lalu ia berlalu pergi meninggalkanku.
Aku menghela napas lega setelah Fira pergi. Berpura-pura menjadi Arya di depan rekan kerja ternyata lebih sulit daripada yang kupikirkan. Setiap kata, gerakan, dan ekspresi harus kuhitung dengan cermat agar tidak ada yang curiga. Meskipun sedikit melelahkan, aku tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan di dunia yang kini menjadi hidupku.
Saat waktu makan siang tiba, aku mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial Arya. Aku duduk di kantin bersama beberapa rekan kerja yang tampaknya adalah teman dekatnya. Mereka bercanda dan tertawa, sementara aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Ada perasaan hangat dan kebersamaan yang kurasakan di sana, meskipun aku belum benar-benar mengenal mereka.
Di tengah obrolan mereka, salah satu dari mereka bertanya, "Eh, Arya, kamu jadi pergi sama Nina akhir pekan ini?"
Pertanyaan itu membuatku terkejut. Nina? Siapa Nina? Aku berusaha tetap tenang dan mengangguk pelan sambil tersenyum samar, berharap respons itu cukup untuk menjawab pertanyaannya tanpa menimbulkan kecurigaan.
Namun, setelah itu aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya Nina, dan bagaimana hubungan Arya dengannya? Nama itu mulai terngiang-ngiang dalam pikiranku. Apakah Nina adalah sosok yang spesial bagi Arya? Ataukah dia hanya teman biasa? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghantuiku sepanjang sisa hari itu.
Setelah jam kerja berakhir, aku pulang ke rumah dengan perasaan lelah. Menjalani hari sebagai Arya ternyata jauh lebih sulit daripada yang kukira. Setiap detik aku harus waspada, setiap gerakan harus kuperhatikan. Rasanya seperti hidup di bawah bayang-bayang yang terus mengancam untuk membongkar identitas asliku.
Setibanya di rumah, aku duduk di meja kerja Arya dan mulai membuka beberapa berkas pribadinya, berharap menemukan petunjuk tentang siapa Nina dan peran apa yang ia miliki dalam hidup Arya. Di sudut meja, aku menemukan sebuah foto yang tersembunyi di balik buku-buku. Foto itu menampilkan Arya dan seorang gadis yang tampak bahagia. Senyuman mereka tulus, penuh kehangatan.
Aku menatap foto itu dengan perasaan aneh. Gadis dalam foto itu adalah sosok yang cantik, dengan mata yang bersinar penuh kehidupan. Apakah dia Nina? Melihat senyum mereka membuatku merasa ada ikatan kuat di antara mereka, seolah-olah gadis itu adalah seseorang yang sangat berarti bagi Arya. Aku merasa bersalah, seolah-olah aku mengintip sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.
Semakin dalam aku menyelami hidup Arya, semakin aku merasa tersesat. Tidak hanya aku tidak mengenal sosok Arya sepenuhnya, tetapi aku juga merasa mulai kehilangan diriku sendiri. Dunia ini, kehidupan ini, bukanlah milikku. Namun, entah bagaimana, aku terjebak di sini dan harus menjalani setiap detiknya seakan itu adalah hidupku.
Malam itu, aku duduk sendirian di kamar, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Apakah ini hukuman? Ataukah ini adalah ujian yang harus kulalui? Aku mencoba mencari jawaban di dalam diriku, tetapi hanya kekosongan yang kutemukan. Tidak ada petunjuk, tidak ada jalan keluar.
Aku menatap bayanganku di cermin untuk kesekian kalinya. Sosok Arya menatap balik dengan tatapan kosong. Di dalam cermin itu, aku melihat diriku yang terjebak di tubuh orang lain, mencoba menjalani hidup yang bukan milikku.
Sebelum tidur, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus menemukan jalan keluar dari semua ini. Aku harus mencari tahu mengapa aku berada di sini, dan bagaimana caranya aku bisa kembali menjadi diriku yang sebenarnya. Tidak peduli seberapa sulit atau lama prosesnya, aku akan terus mencari kebenaran.
Dengan hati yang dipenuhi tekad dan kegelisahan, aku mencoba untuk tidur, berharap bahwa mungkin saja, esok hari aku akan menemukan petunjuk yang bisa membawaku keluar dari dunia yang salah ini.