Firnika, ataupun biasa di panggil Nika, dia dipaksakan harus menerima kenyataan, jika orang tuanya meninggal tepat, sehari sebelum lamarannya. Dan dihari itu juga, orang tua pasangannya membatalkan rencana tersebut.
Yuk ikuti kisah Firnika, dan ke tiga saudara-saudaranya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Untuk Pergi
Seharian ini, Safa dan Nika tidak terlibat obrolan sedikitpun. Bukan tanpa alasan, Safa berpikir jika Nika masih mencintai lelaki bodoh, yang berada di dalam kendali Ibunya. Setidaknya, itulah yang Safa pikirkan.
Padahal, Nika sudah berulangkali menanyakan atau basa-basi bersama Safa. Namun, Safa tetap diam tidak menanggapi.
Malam semakin larut. Safa yang tidur dengan Kanaya diam-diam mengirim pesan pada Samsul. Dia yang tidak ingin Nika semakin terluka, memilih ngadu sama waknya. Dia mau wak-nya memberikan nasihat untuk sang kakak.
Benar saja, Samsul yang membaca pesan dari Safa langsung menelpon Safa, untuk menanyakan tentang kasus yang menimpa Nika sekeluarga.
Dengan semangat menggebu, Safa menceritakan semuanya. Termasuk saat kejadian tadi pagi.
"Kurang ajar, sabarlah, Wak akan mencari cara bagaimana menanggapi kasus kalian." seru Samsul dengan nada yang terdengar menahan emosi.
Di sisi lain, setelah mematikan panggilan untuk ponakannya, Samsul tidak menyangka, jika Rina kembali berulah. Dia berpikir jika ponakannya baik-baik saja. Apalagi, saat kemarin dia menanyakan kabar Nika, dan Nika hanya berkata, jika kehidupannya baik-baik saja.
"Kenapa bang? Ada masalah? " tanya Ismi melihat suaminya mengepal tangannya.
Merasa butuh pendapat, Samsul menceritakan kejadian yang sedang menimpa keponakannya di desa sana.
"Ya Allah ,,, malang sekali ..." seru Ismi menutup mulutnya.
"Apa yang harus aku lakukan? Sekarang, mereka hanya mempunyai aku sebagai keluarganya." ungkap Samsul.
"T-tapi jika kita kesana. Aku gak punya uang Bang. Abang kan tahu, kita baru aja checkup ..." lirih Ismi dengan wajah sedih.
"Hei ,,, jangan sedih. Aku tahu itu, uangmu sudah habis untuk kesehatanku. Dan aku minta maaf ..." lirih Samsul.
"Bukan, aku bukan sedih karena kehabisan uang bang. Tidak ada rasa sesal ataupun kesal akan hal itu. Aku bersedih karena tidak ada saat mereka membutuhkan kita." sesal Ismi.
"Atau baiknya, suruh mereka pindah ke sini. Dan jual rumah mereka. Bukan kah, disini lebih mudah? Amar bisa kita jaga. Dan sekolah pun lebih dekat." usul Ismi kemudian. "Dan Nika, bisa bekerja dengan tenang." lanjut Ismi.
"Wah, ide bagus ... Kenapa aku gak kepikiran ya? Dan ternyata benar yah kata orang-orang, masalah akan terselesaikan jika bicara dengan istri. Karena sosok istrilah, yang memahami segalanya." puji Samsul membuat Ismi mengembang kempiskan hidungnya.
Karena gemas, Samsul menarik istrinya ke peraduan.
Keesokan harinya, karena Samsul tahu Nika bekerja semenjak pagi. Dia memilih menelpon Nika kala siang. Dan Samsul langsung mengutarakan apa yang semalam dibicarakan dengan istrinya.
"Jangan marah pada Safa. Dia begini karena terlalu menyayangi mu nak. Mungkin dia juga gak mau kehilanganmu ..." nasihat Samsul.
"Ta-tapi ... Aku gak tahu bagaimana prosedur dalam jual rumah Wak ..." balas Nika.
"Kamu tenang aja, biar Wak tawarkan pada Bapak Syambidin di samping rumah kalian. Barang kali dia berminat ..." papar Samsul.
Syambidin merupakan orang kaya di desa Nika. Dia sudah ada pembantu sendiri, makanya saat Nika minta bekerja disana, dia menolak karena sudah tidak membutuhkan tenaga kerja lagi.
Akan tetapi, keluarga Syambidin termasuk salah satu yang tidak mempercayai pemberitaan tentang Nika. Karena menurut mereka, jika Nika tidak terbukti secara nyata, maka itu hanya fitnah belaka.
Makanya, sesekali Nika dan sekeluarga mendapatkan makanan dari keluarga tersebut. Bahkan tidak jarang, ketiga adik Nika mendapatkan jajan dari istri Syambidin.
Sore harinya, Safa yang pulang dari les langsung ditanyai oleh Nika.
"Kenapa kamu ngadu sama Wak?" tanya Nika saat Safa mengangkat jemuran. Ia sendiri baru pulang memotong rumput.
"Kenapa? Kakak kesal? Atau kakak mau membela mantan pacar yang ibunya gak tahu diri itu?" beruntun Safa.
"Bukan, bukan itu. Tapi, dengan kamu ngadu sama Wak, membuatnya kepikiran Safa." jelas Nika.
"Ta-tapi, aku hanya ingin Wak menasehati kakak, aku mau ... Maaf ..." lirih Safa merasa bersalah.
"Sudah lah, kita dimintai untuk tinggal di tempat wak, dia akan membantu kita mencari rumah. Dan tentu rumah ini akan kita jual ..." papar Nika.
"Itu lebih baik ... Dan semoga kehidupan kita lebih baik. Lagipula, disini kita gak ada yang suka. Bahkan mereka masih membenci kita." sahut Safa.
"Kakak juga berpikir demikian. Tapi, kita tunggu sampai kamu lulus SMA." tutur Nika.
Malam harinya, setelah makan malam dan mereka semua berkumpul di depan televisi. Nika langsung mengutarakan apa yang dikatakan oleh Samsul padanya.
"Jadi kita pindah kak? Asik ..." seru Amar.
"Eh ,,, kok kamu senang?" tanya Kanaya.
"Iya, soalnya nanti aku akan ketemu teman baru. Dna semoga mereka tidak jahat seperti teman-teman sekelas ku ..." ungkap Amar.
"Memangnya mereka jahat?" tanya Safa.
"Iya ,,, mereka mengejekku yatim piatu, terus miskin lagi ..." adu Amar.
"Eh, kok jahat sekali. Ya udah, besok kakak tegur ya." balas Safa.
"Gak usah, aku bisa jaga diri kok." kekeh Amar.
"Oya, bentar ya. Kak Nika lupa." Nika meninggalkan ke tiga adiknya yang heran.
Dia sadar, kenapa adiknya dikatakan miskin. Itu pasti karena tasnya yang sobek, seperti sebelumnya Amar katakan.
"Semoga Amar suka ..." batin Nika kala melihat tas murah yang berada di tangannya.
Iya, tadi setelah dari pasar. Nika mampir ke toko untuk membelikan Amar tas, tentu saja yang harganya sekitaran lima puluh ribu. Karena Nika, hanya sanggup membeli dengan harga tersebut.
Nika kembali ke depan televisi, dimana ketiga adiknya yang serius menonton acara kartun kesukaan Amar.
"Amar ,,, maaf kak Nika hanya bisa membeli ini." ujar Nika menyerahkan kantong berisi tas.
"Wah ... Tas baru, makasih banyak ya kak." seru Amar sumringah.
"Kamu suka?" tanya Nika.
"Suka kak, ini kan baru ... Wangi lagi." kekeh Amar.
"Syukurlah ..." lirih Nika haru.
Safa dan Naya pun tersenyum bahagia melihat Amar yang kegirangan.
...🍁🍁🍁🍁🍁...
Sudah beberapa bulan berlalu, walaupun kehidupan Nika dan keluarga mulai membaik. Keputusan Nika sudah bulat. Dia akan tetap pindah dari sana, apalagi Safa sudah menjalankan ujian akhir. Dan sekarang, mereka hanya menunggu Kanaya ujian akhir. Dan Amar untuk mengikuti ujian kenaikan kelas.
Karena kebetulan, Kanaya juga akan memasuki SMA di tempat Samsul nantinya.
Apalagi dia semakin risih saat Abrar yang terang-terangan kembali merayunya.
Bukan tanpa alasan Abrar melakukan hal itu. Ia hanya ingin Nika kembali luluh, luluh untuk kembali ke pelukannya.
Abrar bahkan pernah menyuruh beberapa orang pasar untuk memakai jasa dari Nika. Dan setelahnya dia akan memberikan orang tersebut uang. Dan akhirnya Nika tahu jika itu merupakan perbuatan dari Abrar. Walaupun begitu, jauh dari lubuk hatinya dia harus mengucapkan banyak terimakasih.
Karena dengan begitu, dia bisa membayar uang les untuk Safana.
"Nika ... Kembalilah ..." ujar Abrar pada Nika, saat ia hendak pulang dari pasar.
"Aku memang hendak kembali ..." balas Nika seraya melepaskan cengkraman tangan Abrar.
"Kembali lah, padaku Nika. Aku gak bisa. Aku gak bisa jauh darimu ..." pinta Abrar dengan jelas.
Nika menarik napas dalam. "Bagaimana dengan Ibumu? Harus seperti apa jika kita beneran menikah? Kamu gak akan mungkin memusuhinya kan? Dia Ibumu Bang, wanita yang telah melahirkan mu." jelas Nika.
"Tapi kamu wanita yang ku cintai Nika. Hanya kamu." ungkap Abrar.
"Kita bisa tinggal di kampung lain jika kamu mau. Atau, aku rela jika kamu tidak mengunjungi Ibuku setelah kita nanti. Karena itu bukanlah suatu kewajiban. Tapi, jangan larang aku untuk berbakti padanya." pinta Abrar.
"Maaf Bang ..." pinta Nika sembari melangkah meninggalkan Abrar yang menjatuhkan air matanya.
Dan Nika, juga menghapus air mata uang tiba-tiba mengalir di pipinya. Bahkan dia mengutuk dirinya sendiri, karena masih mencintai lelaki, yang bahkan Ibu dari lelaki itu, jelas membencinya.
"Aku pergi, dan semoga kita bisa saling melupakan ..." batin Nika.
tapi ini beneran udah selesai, kak... ?
padahal baru beberapa bab, kak...
saking bucinnya, Nisa sampe nda bisa bedain yang benar dan yang salah