Perang terakhir umat manusia begitu mengerikan. Aditya Nareswara kehilangan nyawanya di perang dahsyat ini. Kemarahan dan penyesalan memenuhi dirinya yang sudah sekarat. Dia kehilangan begitu banyak hal dalam hidupnya. Andai waktu bisa diputar kembali. Dia pasti akan melindungi dunia dan apa yang menjadi miliknya. Dia pasti akan menjadikan seluruh kegelapan ada di bawah telapak kakinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ash Shiddieqy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Circle Keempat
"Siapa ini?" tanya Rio saat melihat foto yang ada di dinding.
"Oh, itu ayahku." Aditya berkata sambil memainkan rubik yang dibawa Rio.
Rio berdiri dari sofa lalu mengamati foto itu lebih dekat. Di foto itu terlihat potret seorang pria muda berambut hitam dengan wajah yang cukup mirip dengan Aditya. Bedanya dia memiliki mata berwarna biru tua dan alis yang lebih tegas.
"Aku sudah beberapa kali melihat ibumu di berita, tapi aku belum pernah melihat ayahmu sama sekali," katanya.
"Ya, karena dia menghilang sejak aku masih kecil," kata Aditya tanpa mengalihkan pandangannya dari rubik di tangannya.
"Ah, maafkan aku."
Aditya meletakkan rubik yang sudah terselesaikan di meja. "Tidak masalah. Kejadian itu sudah cukup lama."
Rio kembali duduk di sofa. "Apa kau punya PS atau Game yang bisa kita mainkan?" tanya Rio mengalihkan pembicaraan.
Aditya hanya menggeleng. Dia tidak pernah terpikir untuk membeli hal-hal semacam itu. Di kehidupannya yang dulu dia hanya menghabiskan waktunya dengan latihan sepanjang hari. Menurutnya berlatih adalah hal yang menyenangkan.
"Ck, kau sangat membosankan. Apa kau punya senjata di rumahmu?"
"Tentu saja. Ikutlah denganku!" Aditya berdiri dengan mata berbinar. Dia membawa Rio menuju ke ruang senjata keluarganya.
Sesampainya mereka di ruang senjata, Rio terdiam takjub. Di sana ia melihat berbagai jenis senjata yang sebagian besar berasal dari era kuno. Rata-rata senjata itu berada di peringkat tinggi atau juga ada yang berada di peringkat legendaris.
"Keluargamu punya berbagai macam senjata di sini, tapi kenapa kau masih terlihat senang saat mendapat token bengkel akademi?" tanya Rio sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia dapat melihat bahwa senjata di sana dirawat dengan sangat baik.
Aditya menghela napasnya. "Walaupun senjata di sini banyak tapi tidak ada satupun yang cocok denganku." Aditya mengambil sebuah tombak besi panjang yang terasa sangat berat di tangannya. "Di akademi kita bisa memesan senjata sesuai dengan keinginan," lanjutnya.
Rio mengambil sebuah pedang berwarna merah tua lalu menghunuskannya ke arah Aditya. "Sebenarnya aku ingin kita berduel lagi, tapi aku takut kekuatan kita akan menghancurkan tempat ini. Berapa magic circle yang kau miliki saat ini?"
"Tiga," jawab Aditya singkat.
Sebenarnya memiliki tiga magic circle di umur Aditya saat ini dapat disebut sebagai orang yang berbakat. Hanya saja tiga magic circle yang dimiliki Aditya tidak pernah berkembang sampai akhir hidupnya dulu. Karena itulah dia lebih suka melatih fisik dan teknik miliknya. Dia dulu bahkan bisa bersaing dengan seseorang dengan lima magic circle.
"Hanya tiga? Aku pikir kau punya empat sama sepertiku." Wajah Rio terlihat terkejut. Dia tidak percaya seseorang dengan tiga circle saja bisa membuatnya kewalahan.
"Kau sudah punya empat? Monster macam apa kau ini?" Aditya sekali lagi dikejutkan dengan bakat Rio, tapi kali ini sudah berlebihan. Bahkan ayahnya yang katanya merupakan orang paling berbakat di masanya baru mencapai circle keempat di umur dua puluh tahun.
"Wah, ternyata Aditya punya teman yang sangat berbakat ya," ucap seorang wanita yang membuat mereka berdua menoleh bersamaan.
"Ibu? Kaoan ibu pulang?" tanya Aditya.
"Tidak terlalu banyak pekerjaan hari ini, jadi ibu memutuskan pulang lebih cepat." Almeera menatap Aditya kemudian beralih ke Rio. "Siapa namamu, Nak?"
"Salam, Archduchess. Saya Rio Redd," ucap Rio sambil menundukkan kepalanya. Dia merasakan aura yang begitu kuat menguar dari tubuh Almeera. Aura itu jelas lebih kuat dari milik ayahnya.
"Ah, keluarga Redd? Aku banyak mendengar prestasi keluargamu di perbatasan."
"Itu sudah menjadi kewajiban kami menjaga negara ini." Kepala Rio masih menunduk sopan.
Almeera tersenyum. "Tidak perlu terlalu sopan, Rio. Aku lebih suka jika kita bisa berbicara dengan nyaman."
Almeera mengambil sebuah pedang berwarna hitam yang ada di pojok ruangan. "Daripada berduel dengan Aditya, bagaimana kalau kamu melawanku?" tawar Almeera.
Rio menatap Aditya untuk meminta izin. Aditya hanya memberikan anggukan kepala pelan.
"Mohon pencerahannya!" ucap Rio.
"Oh, iya Aditya. Kamu itu sudah punya empat circle. Kamu bisa mencoba merasakannya sendiri jika tidak percaya," kata Almeera sebelum meninggalkan ruangan senjata diikuti Rio di belakangnya.
Aditya terdiam sejenak. Dia merasa tidak percaya. Sejak kapan dia memiliki empat circle? Apa mungkin sejak dia mendapatkan kekuatan dari buku yang bercahaya itu?
Aditya segera duduk bersila di lantai lalu berkonsentrasi untuk merasakan aliran mana. Dia merasa tidak ada yang berbeda dari jantung mana miliknya. Dia mencoba menyelam lebih dalam dan benar saja memang ada circle keempat yang berputar di jantungnya. Walaupun agak lebih lemah dari yang lain circle keempat ini jelas telah terbentuk dengan sempurna.
Aditya membuka matanya lalu tersenyum. Dia yakin dengan ini dia pasti bisa melampaui dirinya sendiri. Dia tidak akan tertinggal dari Rio ataupun 17 Saint yang lain.
Tiba-tiba hembusan mana yang kuat mengenai kulitnya. Ibunya dan Rio sepertinya sudah mulai bertarung. Aditya segera keluar dari ruang senjata menuju ke halaman belakang.
Sesampainya di sana Aditya juga melihat pak Farhan dan Roni yang berdiri mengamati dari pinggir halaman. "Anda punya teman yang sangat luar biasa, Tuan Muda," puji pak Farhan.
Aditya mengangguk dengan kedua mata yang menatap ke halaman. Rio berusaha menyerang secara bertubi-tubi, tapi tidak ada satupun yang dapat mengenai Almeera. Perbedaan kekuatan mereka terlalu jauh. Walaupun Almeera sebenarnya adalah seorang mage, tapi dia sudah mencapai circle ke tujuh atau bisa disebut juga sebagai Archmage. Dia jelas lebih unggul bahkan dalam pertarungan jarak dekat yang bukan keahliannya.
Rio yang terus melancarkan serangan demi serangan dengan seluruh kemampuannya akhirnya mulai merasa lelah. Perlahan gerakannya semakin melambat. Hal ini dimanfaatkan oleh Almeera dengan memukul perut Rio menggunakan bagian belakang pedangnya.
Pukulan itu memang tidak terlalu keras, tapi Rio yang sudah kelelahan hampir kehilangan keseimbangan. Dia berusaha maju sekali lagi, tapi pada akhirnya dia benar-benar terjatuh oleh sentilan tangan Almeera di dahinya.
"Kamu sangat kuat untuk anak seusiamu," puji Almeera pada Rio yang terbaring menatap langit.
Rio bangkit kemudian menunduk kepada Almeera. "Terima kasih atas pencerahannya."
Almeera tersenyum lalu berjalan meninggalkan halaman. Dia menyerahkan pedang di tangannya pada Farhan. "Ajak dia makan malam dulu sebelum pulang," kata Almeera pada putranya.
...****************...
Setelah makan malam Rio berpamitan untuk pulang. Aditya mengantar Rio sampai ke depan gerbang.
"Aku pulang dulu," ucap Rio sambil menutup helmnya lalu menancap gas motornya.
"Hati-hati!" kata Aditya sebelum berjalan masuk menuju ke rumahnya.
Tidak jauh dari sana berdiri seorang pria dengan pakaian serba hitam. Dia menatap ke arah penjaga yang sedang menutup gerbang. Sebuah senyum miring terbentuk di bibirnya.
"Tunggu saja! Tidak lama lagi aku akan memusnahkan kalian semua," bisiknya pelan.
Pak Toni yang masih berdiri di samping gerbang merasakan sesuatu. Dia memandang ke sekitar, tapi tidak melihat apapun. Pria itu telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
"Mungkin hanya perasaanku," ucap pak Toni sambil menggaruk kepalanya.
^^^Continued^^^
selamat berkarya terus.....