DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM35
Sejak subuh, Alana sudah berkutat dengan mixer dan oven, istri Rama itu benar-benar sibuk membuat lapis legit tiramisu dan pandan untuk dibawa ke rumah mertuanya siang nanti. Sengaja ia membuat banyak, selain untuk dimakan bersama, dia juga ingin memberikan buah tangan untuk mertua Raya dan juga keluarga dari Utami. Niatnya ingin menjalin silahturahmi juga dengan keluarga Utami, karena memang belum pernah berhubungan sama sekali.
"Tumben bikin banyak, Na?" sapa Niken yang baru datang.
"Iya, Mbak. Mau dibawa ke rumah Bapak nanti, ada sebagian yang dikasih ke saudara. Lika mana, Mbak? Kok gak ikut? Kalau minggu kan biasanya ikutan."
"Lika sama nenek kakeknya di rumah, Na."
"Wah! seneng dong Lika, didatangi nenek kakeknya!" seru Alana.
"Seneng banget, Na. Sejak ada Ibu dan Bapak di rumah, kalau pulang sekolah ... yang dicari, ya mereka," sahut Niken
"Dalam rangka apa Ibu Bapak datang, Mbak? Ada acara kah?" Alana sesekali menatap Niken.
"Main aja, Na. Kangen cucunya. Maklum, kan Lika cucu pertama. Baru sekarang keturutan bisa main ke sini. Kamu tahu sendiri kan, dulu kontrakan kita kayak gimana. Mau tidur di mana mereka? Sekarang lumayan, rumah KPR yang Mbak cicil punya 2 kamar. Layaklah, buat Bapak Ibu kalau mau berkunjung." Niken mengulas senyuman tipis.
"Ah iya, Mbak jadi ambil KPR di perumahan baru itu ya. Lupa aku, Mbak. Baguslah, Mbak, jadi punya rumah sendiri meski nyicil. Dari pada kontrak, sama-sama bayar, tapi ... bukan punya sendiri."
"Ini semua berkat kamu, Na. Mbak gak ngerti mau balasnya gimana. Kalau kamu gak nawarin Mbak jaga lapak uduk, Mbak juga gak akan sampai bantuin kamu buat pesanan kue sampai jadi begini. Mbak berterima kasih sekali, Na. Nyicil ini juga syukurlah bisa ambil yang tempo 5 tahun, karena kamu ngasih gaji dan bonusnya lumayan, jadinya Mbak bisa nabung DP yang agak gede kemarin. Meskipun sekarang harus nabung ulang, tapi, Mbak lega banget, Na. Mbak juga masih bisa menyisihkan sedikit untuk dikirim ke kampung." Ucap Niken sembari mengenang masa lalu.
"Aku yang terima kasih, Mbak. Mbak pernah mau cuma diupah seadanya, waktu masih bikin pesanan di kontrakan dulu. Aku masih ingat lho, Mbak mesti ngetok pintu subuh-subuh kalau ada pesanan untuk siang. Masa-masa yang tidak bisa dilupakan," jawab Alana seraya tersenyum.
"Namanya juga merintis, Na. Mbak jadi saksi kerja kerasmu yang direstui. Dari yang masak di kontrakan, buka toko, sampai sekarang bisa menggaji banyak karyawan sesuai UMK dan bayar BPJS nya segala, seperti perusahaan-perusahaan beneran, tapi ... suasana kerjanya kekeluargaan gini. Lika aja boleh ngerusuh di sini dengan bebas. Mana ada coba perusahaan yang membiarkan karyawannya begitu, kalau bukan pemiliknya. Benar-benar Mbak bersyukur, Na. Semoga usahamu lancar terus dan semakin maju ...," Doa Niken tulus dari hati.
"Amin, Mbak. Semoga doa Mbak didengar dan dikabulkan Tuhan."
"Amin ... Amin ... aku juga yakin yang lainnya juga seneng kok kerja sama kamu, Na. Buktinya gak ada yang mengundurkan diri kan." Niken terkekeh.
"Ah, Mbak ini." hidung Alana kembang kempis
"Ntar aku melayang dipuji terus. -- Aku memang pingin usaha ini jadi usaha bersama, Mbak. Senang sama-sama, susah ya bareng-bareng. Semoga aja aku bisa jaga visi ini terus ya, Mbak."
"Amin. Mbak yakin niat baikmu direstui Tuhan, Na. Apalagi niatmu terhadap Zaki dan Kia, Mbak yakin seyakin-yakinnya. Tetap jadi baik ya, Na."
"Siap, Mbak. Ngomong-ngomong Zaki dan Kia, aku ke dalam dulu ya, Mbak. Lihat anak-anak sudah pada bangun atau belum."
"Silahkan, Na. Makasih lagi ya."
...****************...
Alana dan Rama menyalami bapak dan ibunya, disusul dengan anak-anak mereka.
Rama dan Budi membantu Alana mengangkat kotak-kotak kue.
"Banyak banget ini, Na!" seru Raya dengan mata penuh binar.
Utami menata kue-kue yang dibawa Rama dan Budi. Alana melirik ke atas meja, sudah ada kuah timlo sepanci beserta baki isi aneka macam sate.
"Iya, Mbak. Sengaja bawa lapis legit untuk ditinggal di sini dan untuk Mbak Raya bawa pulang nanti. Aku bikin varian baru. Lapis legit rasa tiramisu dan rasa pandan." Jelas Alana sembari memisahkan kotak-kotak untuk para iparnya. "Ini ku pisahkan ya, Mbak. Yang plastik merah untuk Mbak Raya. Yang putih ini, Mbak Utami bisa bawa untuk keluarga Mbak. Selebihnya untuk di sini saja."
"Wah enak nih, dibekali." Raya mengusap liurnya.
"Terima kasih ya, Na. Kamu ingat keluarga Mbak juga ...," ucap Utami.
Alana tersenyum. "Sama-sama, Mbak."
Alana membantu Utami menata piring-piring untuk dibawa ke ruang tengah.
Masih terlalu pagi untuk mulai makan siang, sehingga mereka memakan dulu kue-kue yang dibawa Alana.
Sedangkan anak-anak, berkumpul dengan sebayanya di depan televisi.
Alana menoleh sekilas pada anak-anak, tak ada satupun mainan yang ia temukan diantara bocil-bocil itu.
'Apa Nanda dan Nindi tidak bawa mainannya dari Kalimantan sana?' batin Alana.
Para pria berkumpul di teras samping. Sementara para wanita ngerumpi di ruang tamu. Ada satu perubahan yang membuat Alana bahagia, yaitu ibu mertuanya terlihat lebih membaur sekarang. Tidak menyendiri di kamar, dan lebih ramah padanya.
"Yang rasa pandan enak, Na. Wangi pandannya tidak mengurangi kelegitannya ...," puji Bu Tini tiba-tiba.
Alana mengerjap kaget, menoleh ke arah ibu mertua. Namun, secepat kilat ia langsung menetralkan rasa kagetnya. Dia serasa ingin melompat-lompat sambil tepuk tangan saking senangnya.
"Syukurlah, kalau Ibu suka. Ada potongan pinggirannya, Bu. Lebih legit karena lebih coklat. Ibu mau? Tadi Alana juga bawakan, cuma tidak dibuka karena Alana pikir buat nanti aja."
"Tidak usah, Na. Nanti keburu kekenyangan. Beneran enak lapis legitnya. Kue-kue yang lain juga enak kok, cuma memang Ibu suka lapis legit dari dulu," kata Bu Tini panjang lebar. Momen yang sangat langka.
"Bener, Na. Dulu kalau Bapak beli lapis legit, pasti beli dua. Yang 1 buat Ibu sendiri," sela Raya.
"Ternyata nurun ke Nindi, Bu. Nindi juga doyan banget sama lapis legit. Cuma jarang ada yang jual di tempat kami sana," timpal Utami. Bu Tini hanya tersenyum.
"Mbak Tami, mesti nyobain semua kuenya Alana. Uenak-uenak, Mbak. Beneran. Momen ngumpul begini ini kutunggu-tunggu karena bisa makan gratis, sepuasnya pula, Mbak!" Raya terbahak-bahak.
"Mbak Raya ada-ada aja. Padahal tinggal datang ke rumah lho, ntar ku bungkusin kalau mau. Asal jangan ke toko atau cafe aja, nanti mereka yang nombok."
"Ya kali, Na, aku cuma datang untuk minta kue gratisan." Raya memutar bola matanya, sambil mencebikkan bibirnya. Alana dan Utami hanya terkekeh.
"Eh, waktu kita video call sama Mas Raga, bukannya Mbak Tami bikin keripik pangsit ya?" tanya Raya.
"Iya, Ray ...," jawab Utami.
"Kok gak bikin lagi di sini, Mbak? Kan lumayan ada pemasukan tambahan," tanya Alana.
"Rencananya memang mau bikin, tapi, masih menata hidup. Baru mindahin anak-anak ke sini. Mas Raga juga belum ada kerjaan baru," jawab Utami.
"Iya, Mbak. Kalau mau jualan lagi, bisa atuh dititip ke toko dan cafe. Mbak bikin packing yang cantik. Ntar Alana siapkan rak di toko dan di cafe buat displaynya," tawar Alana.
"Ok banget tuh, Mbak. Toko dan cafenya Alana ini laris banget, Mbak. Lumayan kalau sampe ikutan hits. Mbak Tami tinggal siapkan modalnya aja," timpal Raya.
"Nah, itu dia masalahnya ...."
.
.
Bersambung ......
akhirnya ya rama 😭