Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 - Seperti Akan Gila
"Ya Tuhan ... meski aku memang menerima, tapi boleh tidak untuk sekarang aku berharap bahwa dugaanku ini salah? Aku tidak siap, apalagi jika harus menjadi istrinya."
Setelah perdebatan panjang tadi malam, Haura semakin takut untuk menghadapi yang namanya kehamilan. Padahal sebelum berjumpa Ervano dia sudah menerima, tidak apa andai harus menghidupi anak tanpa sosok ayah.
Namun, begitu Ervano datang untuk bertanggung jawab, Haura justru berharap dugaannya salah. Sepanjang perjalanan dengan Ervano di sampingnya Haura terus berdoa dan berharap hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan dugaan mereka.
Sementara itu, Ervano yang berada di samping Haura terlihat begitu tenang. Seolah tidak ada masalah, padahal kalau dipikir secara logika, pria mana yang bisa setenang itu setelah menghamili wanita lain sementara statusnya memiliki istri.
Sesekali dia menatap ke arah Haura yang terus melihat ke luar sembari bersedekap dada. Ervano tidak akan bertanya, sudah jelas Haura bersikap demikian karena tidak begitu suka dengan apa yang kini tengah dijalani.
Beberapa menit menempuh perjalanan, Ervano tiba di sebuah rumah sakit terdekat yang sudah menjadi pilihannya. Hingga tiba Haura masih terus melamun, sama sekali tidak sadar jika sudah sampai.
Tanpa banyak bicara, Ervano turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Haura. Saat itulah, Haura terperanjat kaget sampai mengelus dada.
"Bikin kaget, bilang kalau sudah sampai apa salahnya?" protes Haura dengan wajah cemberut dan mata mendelik tak suka khas dirinya.
Ervano yang berada di depannya hanya menatap datar menghadapi protes Haura. "Sudah sampai," lanjutnya.
"Telat, dari tadi harusnya."
"Masih saja salah," gumam Ervano menggeleng pelan.
Haura tidak lagi merespon walau sebenarnya mendengar. Lagi pula memang salah Ervano, tepatnya terlambat.
Keduanya berjalan berdampingan, dengan Haura yang terus bersedekap dada lantaran tidak ingin sampai digandeng pria di sampingnya.
Mengingat, beberapa pasangan yang mungkin sayang untuk alasan sama ke rumah sakit ini rata-rata bergandengan tangan semua.
Ervano dan Haura tak ubahnya seperti pasangan yang tengah perang dingin, sama sekali tidak ada romantis-romantisnya. Sewaktu duduk di kursi tunggu saja saling berjauhan, tepatnya Haura yang menjauh.
Ervano tidak bisa memaksa Haura untuk mendekat, satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang hanya memantau. Ya, memantau calon istrinya.
Mengingat hal itu Ervano seketika tersenyum tipis. Siapa sangka, ketika dia tengah fokus menatap Haura lekat-lekat justru tertangkap basah hingga dibalas dengan tatapan permusuhan dari jarak beberapa meter di sana.
"Kenapa?" tanya Haura dengan nada dingin, sama sekali tidak bersahabat.
Ervano menggeleng sembari memalingkan muka, tak lupa raut wajahnya juga kini sudah datar seperti biasa. "Tidak."
Kembali Haura hanya mencebikkan bibir. Sungguh dia ingin semua ini segera berakhir. Beruntungnya, kini tiba giliran Haura untuk diperiksa.
Bergegas dia berdiri, diikuti dengan Ervano yang juga tampak tidak sabar hingga Haura mendorong dadanya sewaktu hendak masuk ke ruangan pemeriksaan.
"Mau apa?"
"Ikut masuk, apalagi memangnya?"
"Iya maksudnya mau apa ikut masuk? Tunggu di luar," tegas Haura yang hanya Ervano anggap angin lalu.
"Kenapa begitu? Bukankah semua wanita di sini didampingi suaminya?"
"Memangnya Bapak suami saya?" tanya Haura mengerjap pelan dengan maksud membuat Ervano sadar diri.
Dengan wajah santainya, Ervano mengangguk pelan. "Calon suamimu tepatnya," pungkas pria itu kemudian masuk lebih dulu.
Yang mau periksa siapa yang sibuk sendiri siapa. Ervano sama sekali tidak melepaskannya, bahkan untuk sekadar periksa kandungan.
Padahal hanya pria asing yang tak Haura ingini hadir dalam hidup, tapi di ruangan ini Ervano benar-benar bertindak seperti suami yang mendambakan buah hati.
Matanya terus menatap ke arah Haura yang sedang diperiksa hingga wanita itu mulai berpikir macam-macam. Mungkin karena Ervano sudah menikah, bisa jadi sudah pengalaman sewaktu memeriksakan istrinya, begitu pikir Haura tak ambil pusing karena malas jika harus berdebat di depan dokter.
"Sudah, Dok?"
"Sudah, silakan duduk."
Sebentar lagi dia akan mendengar pernyataan dokter. Tangan Haura panas dingin, sampai gemetar dan pucat juga.
Dia tidak memiliki keberanian untuk menatap lawan bicaranya. Hingga, mimpi buruk itu benar-benar terjadi tatkala wanita berjas putih itu mengatakan.
"Selamat, usia kandungannya memasuki empat minggu."
"Apa?!"
Tak ubahnya bak tersambar petir di siang bolong, Haura terkejut setengah mati. Tubuhnya yang tadi hanya sekadar dingin dan gemetar mendadak tak bertenaga.
Luruh, hancur sudah dan Haura seperti tidak punya daya. Penjelasan dari dokter tersebut tidak lagi Haura dengar, tanpa menunggu dipersilakan Haura keluar lebih dulu meninggalkan Ervano di belakang.
.
.
Tanpa peduli pada Ervano yang masih tertinggal, Haura terus melangkah dengan pikiran berisiknya. Kenyataan bahwa dirinya hamil masih bisa Haura terima, tapi untuk menjadi istri kedua Ervano rasanya seperti akan gila.
Dihadapkan dengan situasi semacam ini, Haura seketika membenci Abimanyu yang dia yakini sebagai penyebab utama kenapa Ervano bisa datang dan menemuinya.
Semuanya menjadi lebih rumit sekarang, Haura kebingungan hendak melangkah karena sudah terperangkap dalam kekuasaan Ervano yang membuatnya tidak semudah itu untuk pergi.
"Tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin, 'kan?" Haura berhenti sejenak, dia berusaha untuk berpikir keras dan juga jernih agar tidak salah langkah.
Kembali menyusun rencana selanjutnya karena dia memang tidak bersedia jika harus menjadi yang kedua. Cukup mamanya saja, Haura tidak ingin mengulang sejarah dimana sang mama dinikahi tatkala sang papa masih berstatus sebagai suami sah istri pertama.
"Haura!!" panggil Ervano yang memecah konsentrasinya.
"Iya?" Haura menoleh, berusaha untuk bersikap tenang karena dirinya akan merancang rencana baru, kabur lebih jauh.
Sudah tentu dia tidak boleh sampai membuat Ervano curiga, apalagi menyadari rencananya.
"Ini mobilnya, bukan itu."
"Oh, sorry ... mirip soalnya," jawab Haura dengan wajah memerah lantaran malu sekali.
Walau demikian, tentu saja dia harus tetap elegan tatkala menghampiri Ervano. Pria itu tetap bersikap layaknya pasangan, Haura bahkan tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk membuka atau menutup pintu mobilnya.
Dalam perjalanan pulang kali ini, Haura tidak ingin terlihat gusar demi misinya bisa tercapai. Dibanding harus memikirkan pedihnya kehidupan pernikahan dengan pria gila di sampingnya ini, Haura kini fokus tentang rencananya untuk pergi lebih jauh lagi.
"Hotel, nanti langsung packing ... pesan tiket, dan kita akan memulai hidup yang lebih baik!! Iya, begitu!!"
Matang sekali pertimbangan Haura kali ini. Tanpa sadar, bahwa jalan yang ditempuh Ervano tidak sedang menuju hotel, tapi ke tempat lain.
Cukup lama dia terlena, terlalu asyik dan merasa hidupnya aman-aman saja. Sampai, ketika mobil berhenti di sebuah villa cukup mewah tersebut Haura celingukan ke kanan kiri.
"Kita kenapa ke sini? Ada yang mau ditemui?"
"Tidak," jawab Ervano kemudian kembali turun lebih dulu dan melakukan hal sama seperti yang dia lakukan sebelumnya.
Haura masih berusaha berpikir positif, barangkali pria itu ingin pamer harta kekayaan atau sekadar memeriksa villa tersebut.
Namun, setelah turun dua orang wanita bersama empat pria dengan pakaian senada mendekat dan menunduk hormat kepada mereka.
"Selamat datang, Tuan."
"Hem, kamar sudah kalian persiapkan?"
"Sudah, Tuan."
Setelah memastikan hal tersebut, Ervano beralih menatap Haura yang kini masih terlihat bingung.
"Masuklah, kita akan istirahat di sini sementara papa dan keluargamu datang."
"Hah?! Apa maksudmu?"
.
.
- To Be Continued -