Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesialan Abimanyu
Berteman?
Infiera merasa geli dengan hal itu. Seorang suami memang harus jadi teman istrinya, tapi ... konsep yang dibuat Abimanyu berbeda.
Namun, setelah dipikirkan lagi, Infiera akhirnya merasa legowo dengan keputusan Abimanyu. Mungkin, setelah berteman, hubungan mereka bisa lebih dekat dan pernikahan mereka akan berjalan ke jenjang yang lebih baik lagi.
Meski cinta itu belum hadir, Fiera juga mendambakan pernikahan seperti wanita lainnya, dia juga ingin dicintai dan memiliki anak nantinya.
“Woy, ngelamun aja. Kesambet, mau, lo?” teriakan Anisa, teman sekelas Infiera mengejutkannya.
Fiera baru saja sampai di kampus dan berniat pergi ke perpustakaan.
“Lo kenapa, sih, suka banget berteriak?” gerutu Infiera, menggosok telinganya yang sakit.
Anisa tergelak, dia menggandeng tangan wanita itu. “Habisan gue panggil dari tadi kaga nyahut. Habis ditembak cowok lo?”
Engga, tapi habis diajak berteman sama suami sendiri. “Apaan, sih, gue hanya lagi mikirin tugas. Lo, kan, tau kita banyak tugas.”
Diingatkan perihal tugas, Anisa langsung terlihat lesu. “Ah, lu kenapa malah bahas tugas.”
Fiera tidak menyahutinya lagi dan meneruskan langkahnya menuju perpus. “Pagi, Bu Gina,” sapa Fieran dan Anisa serempak pada petugas perpus.
Wanita 29 tahun itu tersenyum. “Pagi juga. Kalian mau pinjam buku?”
“Kita mau lihat-lihat dulu, Bu. Ada buku baru engga, Bu?” tanya Fiera, mengelilingkan pandangannya ke seluruh rak-rak buku yang ada di sana. suasananya cukup sepi karena ini masih pagi. Biasanya, perpus akan ramai saat siang hingga sore hari.
“Ada. Hanya saja, bukan untuk jurusan sastra, tapi untuk jurusan ilmu komunikasi.”
“Ya... .”
“Cari saja, siapa tahu ada yang menarik.”
“Baiklah, Bu.”
Fiera dan temannya mulai melangkah menuju buku-buku, mereka memindai jajaran novel, majalah, dan buku-buku sastra lainnya.
Kedua wanita itu terlihat asyik mencari buku-buku yang mereka butuhkan. Siang nanti ada pengkajian naskah klasik mata pelajaran Dosen baru mereka. Keduanya harus mencari referensi terlebih dahulu.
“Kalian di sini juga?” Suara yang mulai tidak asing terdengar dari arah belakang. Anisa dan juga Fiera menoleh, ternyata dosen barunya berada di sana.
“Eh, Bu Almira?” Anisa terlebih dahulu menyapa, dilanjutkan Fiera yang juga tersenyum lalu menyapanya dengan ramah.
“Kalian sedang mencari buku atau mau baca-baca saja?”
“Kita mau cari beberapa referensi naskah klasik untuk pelajaran ibu nanti,” Fiera menjawab dengan jujur, karena dosen barunya ini memang cukup ramah dan membuat mereka nyaman untuk berbicara satu sama lain. Tidak seperti Abimanyu yang selalu membuat semua mahasiswa takut jika berhadapan dengannya.
“Ah, begitu, ya?”
Almira tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini adalah materi untuk kalian nanti. Kalau mau foto kopi duluan boleh, kok. Ajak saja sekalian yang lainnya.”
“Eh, boleh, Bu?”
“Tentu saja, kenapa engga?”
Fiera terlihat senang. Dia menerimanya dari Almira dan matanya berbinar. Saat melihat halaman pertamanya. Ternyata itu adalah resensi buku.
“Makasih, ya, Bu.”
“Sama-sama. Ibu duluan, ya. Soalnya ada kelas sebelum ke kelas kalian.”
Fiera dan juga temannya mengangguk.
Keduanya meneruskan tujuan awalnya dan menghampiri meja Bu Gina untuk mencatat buku-buku yang mereka pinjam.
“Kalian cepet banget buat akrab sama Bu Almira.”
“Iya, Bu. Bu Almira baik banget dan ramah juga. Makanya, kita cepet akrab.” Anisa menjawab.
“Eh, kalian tahu, ga?”
Bu Gina melihat sekeliling, untuk memastikan tidak ada orang lain di sana dan juga memastikan kalau Almira sudah meninggalkan perpustakaan. Petugas perpus yang terkenal suka bergosip itu seperti ingin menyampaikan misi sangat rahasia.
“Tahu apa, Bu?” Fiera merasa penasaran dengan hal itu.
“Katanya, Bu Almira pacaran dengan Pak Abi.”
Fiera membeku mendengar hal itu, buku yang ada di tangannya hampir saja terjatuh ke lantai. Untungnya, dia sigap meletakkannya di atas meja.
Pacaran dengan Abimanyu?
Tiba-tiba, Fiera mengingat memo yang ada di dalam buku milik Abimanyu. Di sana jelas tertulis inisial AS dan nama dosennya juga Almira Shahira.
Apakah itu alasannya dia mengajakku berteman?
Praduganya mulai liar menjelajah. Apakah karena Almira sekarang bekerja bersamanya, Abimanyu sengaja membuat garis yang jelas mengenai hubungan mereka? TEMAN!
Sekarang, Infiera sadar kalau memang posisinya tidak akan melangkah lebih jauh. Dia harus lebih sadar diri dan fokus pada kuliahnya. Fiera sama sekali tidak mendengarkan apa yang dikatakan Bu Gina selanjutnya. Pikirannya menjadi begitu rumit.
“Fiera, kau datang, kan?” Anisa mengguncang sedikit tubuh temannya yang sejak tadi malah melamun.
“Hah? Kau bilang apa?”
“Astaga, kau melamun ternyata?”
“Maaf, aku hanya sedang memikirkan beberapa hal. Tadi kau bilang apa?”
“Yang bicara sejak tadi Bu Gina. Dia mengundang kita ke pernikahannya.”
Fiera mengalihkan pandangannya pada petugas perpustakaan itu. “Ibu mau nikah? Kapan?” tanya Fiera setelah kembali fokus.
“Sebenarnya, masih dua minggu lagi. Tapi ibu hanya ingin menyampaikannya sekarang saja pada kalian. Datang, ya?”
Fiera tersenyum. “Aku usahakan kalau tidak ada halangan, ya, Bu.”
“Oke!”
Fiera segera menyebutkan buku-buku yang dipinjamnya, lalu segera keluar dari sana. Pikirannya menjadi rumit. Apakah benar kalau Bu Almira kekasih Abimanyu?
Kalau dilihat dari kedekatan mereka memang terlihat jelas seperti ada sesuatu. Mengingat, ini pertama kalinya melihat pria itu dekat dengan seorang wanita. Padahal, selama ini dia selalu bersama dengan Pak Gerald Keegan jika sedang di kampus.
***
Di tempat lain, Abimanyu tengah disibukkan dengan laporan karyawannya mengenai penjualan buku bulan ini. Beberapa bersin dan terbatuk tanpa sebab.
Dia juga sedang memeriksa beberapa buku yang akan habis masa kontraknya, sebelum memutuskan untuk memperpanjang kontraknya atau menghentikannya. Dia perlu tahu jumlah penjualannya selama ini.
Abimanyu juga mulai memilih beberapa naskah yang masuk ke redaksinya.
“Apakah kamu sudah mengirimkan email balasan untuk pemilik penulis Pena Ridu?” tanya Abimanyu pada Joko yang berdiri di hadapannya.
“Emm... itu... .” Joko menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Dia bingung bagaimana harus menyampaikannya.
Abimanyu mengangkat kepalanya saat Joko tidak menjawab pertanyaannya. “Ada apa?”
“Itu, Pak ... yang lain memohon untuk menerbitkan buku itu.” Joko sedikit takut. Dia tahu kalau Abimanyu tidak suka jika keputusannya ditentang.
Apa lagi, keputusan itu diambil sudah hampir dua minggu, tapi mereka masih belum menyampaikan penolakannya pada sang penulis.
Benar saja, ekspresi Abimanyu langsung terlihat tidak suka. Dia meletakkan pulpennya di atas meja dan menumpukan kedua sikunya di sana.
“Apa alasannya kalian melakukan itu? Bukankah sudah kukatakan kalau kita tidak akan mencetaknya?”
Joko diam. Dia tahu Abimanyu marah.
“Katakan alasannya?”
“Emm ... kita menyukai naskahnya dan bagian pemasaran juga siap untuk mendistribusikannya.”
Joko melihat peluang dalam naskah itu. Selain karena ide ceritanya yang menarik, penulis juga mengangkat isu-isu yang berkembang di kalangan remaja hingga orang dewasa saat ini. Kisah percintaan kedua tokoh dalam novel itu juga terbilang unik.
Abimanyu terdiam mendengar hal itu. Dia tidak pernah menarik keputusannya, itu sebabnya ada keengganan di matanya. “Baiklah, aku akan memikirkannya lagi. Asalkan, penulisnya mau mengubah ending ceritanya.”
Joko terkejut dengan jawaban Abimanyu, tapi dia langsung skeptis dengan perintah itu. Kenapa harus diganti? Padahal ending-nya cukup masuk akal. Penulis menyelesaikan semua konfliknya dengan sangat baik.
“Bagaimana?” tanya Abimanyu, memastikan.
“Baik, Pak, saya akan menyampaikannya terlebih dahulu.”
Sebelum Abimanyu mengatakan lebih banyak. Ponsel yang ada di atas meja kerjanya berdering. Abimanyu melihat nama ibunya tertera di sana. Dia meminta Joko untuk meninggalkan ruangannya karena hendak menerima panggilan itu.
“Assalamualaikum, Bu?”
“Waalaikumsalam, Nak.”
“Ibu apa kabar?”
“Ibu baik. Sekarang, kami sedang dalam perjalanan. Mungkin tiga jaman lagi akan sampai Kalau tidak terjebak macet.”
Abimanyu mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Sampai mana?”
“Loh, bukannya ibu sudah memberi tahu Fiera kalau besok ayah ada seminar di Jakarta dan akan menginap di rumah kalian?”
Duarrr!
Abimanyu seperti baru saja mendapatkan serangan bom di kepalanya. Orang tuanya akan datang ke Jakarta dan menginap di rumah mereka? Kenapa Fiera tidak memberitahukannya?
“Nak, apakah kamu masih di sana?”
“I-iya, Bu, Abi masih di sini.”
“Jangan bilang Fiera, ya, kalau ibu sebentar lagi sampai. Ibu mau ngasih kejutan. Ibu sudah kangen banget sama dia.”
Ibu sudah berhasil mengejutkanku! Abimanyu berteriak dalam hati.
“Ba-baik, Bu.”
“Ya sudah, sampai ketemu nanti.”
Setelah mengucapkan salam, panggilan itu berakhir. Abimanyu dengan cepat menghubungi Fiera. Tidak mungkin dia merahasiakannya dari wanita itu.
Bagaimana kalau ibunya tahu kalau mereka selama ini tidur di kamar yang berbeda? Itu akan membuat kedua orang tuanya curiga dan akan sangat marah jika tahu yang sebenarnya.
Sial!
Ternyata, Fiera tidak mengangkat panggilannya. Dia kembali mencobanya beberapa kali, tapi wanita itu masih tidak mengangkat panggilan itu.
Abimanyu mengumpat. Dia segera membereskan beberapa laporan di hadapannya dan memasukkannya ke dalam tas. Dia harus segera pulang dan memindahkan barang-barang Infiera dari kamarnya, ke kamar Abimanyu yang ada di lantai dua.
Abi berlari meninggalkan ruang kerjanya. Joko yang hendak kembali masuk ke ruangan itu mengurungkan niatnya. Abimanyu bahkan tidak mendengar panggilannya. Pria itu pasti sangat terburu-buru.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 35 menit untuk Abimanyu sampai di rumahnya. Beruntung, jalanan tidak macet hingga dia bisa sampai lebih cepat.
“Tenang. Aku harus tenang.”
Abimanyu tidak ingin ada sedikit pun luput. Dia harus segera mengurus semuanya sendiri karena Fiera masih tidak menerima teleponnya.
Abimanyu menghela pelan untuk menenangkan diri. Dia mengelilingkan pandangannya untuk memilih mana dulu yang harus dipindahkan. Pakaian. Abimanyu melihat koper milik Infiera di atas lemari dan segera menurunkannya, lalu membuka lemari itu untuk mengambil seluruh pakaiannya.
Saat membuka laci bagian tengahnya, tiba-tiba wajahnya berangsur memerah hingga belakang telinganya. Abimanyu merasakan wajahnya memanas seperti terbakar. Bagaimana tidak, itu adalah tempat menyimpan pakaian dalam Infiera.
Sebagai lelaki normal, Abimanyu sulit mengendalikan diri. Wanita yang tinggal di rumahnya, setiap hari ditemuinya. Membayangkan Fiera mengenakannya, membuat seluruh tubuh Abimanyu tegang dan memanas. Dia menggelengkan kepalanya. Ini bukan saatnya memikirkan hal itu.
Abimanyu memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper. Setelah semuanya berpindah, Abimanyu kembali mencari apalagi yang harus dipindahkan.
Skin care dan semua alat kecantikan yang diletakkan di atas nakas samping tempat tidur. Dia mulai membawanya satu persatu ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Setelah merasa semuanya selesai, Abimanyu tidak lupa untuk mengganti sprei dan juga sarung bantalnya. Jangan sampai ibunya menyadari kalau selama ini kamar itu berpenghuni.
Di rumahnya memang ada tiga kamar, tapi yang satunya dia gunakan untuk ruang kerjanya dan ruang belajarnya.
Hampir dua jam Abimanyu membereskan kamar itu. Dia memeriksanya sekali untuk memastikan kalau tidak ada satu barang pun milik Infiera yang tertinggal di sana.
Abimanyu melangkah keluar dari kamar, dia terengah karena kelelahan harus naik-turun tangga selama lebih dari satu jam. Dia melangkah menuju ruang tamu dan menjatuhkan tubuhnya, kelelahan.
Abimanyu memejamkan matanya. Selain lelah, dia juga sangat kesal dengan Infiera yang tidak memberitahunya mengenai kedatangan kedua orang tuanya. Apakah dia sengaja untuk membuat mereka mengetahui bagaimana hubungannya?
Padahal, Abimanyu sudah berniat memulai semuanya dari pertemanan.
Ponselnya berdering. Akhirnya, wanita itu menghubunginya.
“Halo?” Suara yang sudah Abimanyu kenali terdengar dari ujung panggilannya. “Ada apa? Kenapa menelepon berkali-kali?”
“Kenapa kau tidak memberi tahu kalau ibu dan ayah akan datang?” tanya Abimanyu menahan geram.
“Apa?”
Sepertinya Infiera juga lupa untuk mengatakannya. Saat itu mereka lebih dulu bertengkar sebelum wanita itu memberi tahu Abimanyu.
“Cepatlah pulang, kalau kau tidak ingin membuat ibu kecewa!”
Setelah mengatakan itu, Abimanyu mematikan panggilannya. Dia melemparkan ponselnya sembarang ke atas sofa, lalu menyandarkan kembali punggungnya di sandaran sofa. Dia benar-benar merasa kelelahan. Baru kali ini membenahi kamar sampai seperti itu.
Fiera pasti berlari tunggang langgang dari kampusnya setelah mendengar ancaman dari Abimanyu. Hah ... salah siapa tidak mengatakannya sejak kemarin. Aku sudah cape membenahi kamarmu, sekarang giliranmu yang panik.
Poor Abimanyu.