“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip para perawat
Ruang perawat ...
Kinan sejak tadi diam-diam mendengar perbincangan para perawat yang lumayan mencuri perhatiannya, sembari dia mengecek buku kontrol pasien rawat inap, dia melebarkan kedua telinganya biar mendengar jelas perbincangan tersebut.
“Yuna, yang benar kalau Dokter Fathi semalam menangis?” tanya Aini dengan tatapan yang lumayan terkejut dan masih belum percaya.
“Beneran, saya sama Mbak Ian lihat jelas kok kalau Dokter Fathi semalam menangis histeris saat adik iparnya itu detak jantungnya sudah tak ada. Dan kamu tahu kenapa kepala Dokter Fathi diperban?” Yuna balik bertanya, dan sudah tentu Aini menggelengkan kepalanya karena memang tidak tahu.
“Semalam itu pokoknya Dokter Fathi sangat berbeda, saya sama Mbak Ian dibuat terkejut dan merinding, karena adik iparnya tidak bisa diselamatkan ... Dokter Fathi seperti orang terpukul, sampai melukai kepalanya sendiri ke besi tepi ranjang. Dan alhamdulillah tadi pagi adik iparnya sudah siuman,” jelas Yuna.
Semakin mengernyitlah Aini. “Sebegitu histerisnya! Tapi kok berasa gak wajar deh Yun. Kalau menurut saya pribadi, wanita itu'kan hanya adik iparnya, kalau bersedih ya harusnya sewajarnya ajalah,” jawab Aini.
Yuna ikutan berpikir, “Ah, kalau menurut saya tingkat kesedihan orang itu beda-beda apalagi mereka'kan sudah jadi keluarga sangat lama, menurutku wajar saja sih, Aini.” Yuna langsung menyangkalnya dan tetap berpikiran positif.
“Ingat ya Yuna, Dokter Fathi itu duda dan belum menikah lagi, siapa tahu aja diam-diam Dokter Fathi jatuh cinta sama adik iparnya, makanya waktu adik iparnya sempat mati suri Dokter histeris. Lagi pula adiknya Mbak Embun itu kalau diperhatikan sangat cantik ketimbang Mbak Embun,” balas Aini, seolah sedang memancing pikiran rekan kerja.
Kinan mengembuskan nafas kasarnya, buku kontrol pasien yang ada di tangannya ditutup dengan kasar, lalu dia menghentakkan pulpen ke atas meja tinggi tersebut, hingga menimbulkan suara nyaring.
Yuna, Aini dan dua perawat yang ikutan mendengar agak berjengit, lalu sama-sama menolehkan wajahnya ke belakang bahu.
“Kalau masih dalam jam kerja, tolong jangan bergosip di sini!” tegur Kinan dengan gaya angkuhnya.
“Maaf Dokter Kinan,” balas Aini mendadak kikuk.
“Adik ipar Dokter Fathi sekarang dipindahkan ke mana?” tanya Kinan.
“Sekarang sudah dipindahkan ke ruang eksklusif Dokter,” jawab Yuna yang bertugas di sana.
Kinan menaikkan dagunya, lalu memberikan buku kontrol pasien ke hadapan mereka dengan kasarnya. “Ingat dalam bekerja jangan terlalu banyak mengobrol apalagi membicarakan pemilik rumah sakit ini dengan gosip murahan tersebut. Itu sama saja kalian sedang memfitnah orang, dan perlu kalian ketahui jika saya adalah calon istri Dokter Fathi, tidak ada wanita lain!” ucap Kinan tegas dan penuh percaya diri.
Keempat perawat itu membungkam mulutnya, lalu serempak menganggukkan kepalanya. Wanita berparas ayu itu tersenyum tipis, kemudian meninggalkan ruang perawat.
Netra Yuna melirik ke arah Kinan, setelah memastikan wanita itu sudah menjauh, dia menghempaskan dirinya ke kursi kerja.
“Kalian dengar tidak apa yang dikatakan oleh Dokter Kinan! Kalau dia calon istrinya Dokter Fathi?” tanya Yuna, agak tidak percaya.
“Ck ... wanita angkuh itu calon istrinya Dokter Fathi? Tapi entahlah, selama ini mereka berdua juga dekat, apalagi Dokter Kinan masih saudaranya, ya mungkin saja benar kalau wanita angkuh itu calon istri Dokter Fathi,” balas Aini agak mencebik.
Wiwin yang sejak tadi hanya mendengar, menarik buku yang dilemparkan oleh Kinan. “Kalian semuanya memangnya gak perhatiin, selama Mbak Embun masih hidup saja Dokter Kinan sering deketin Dokter Fathi. Kayaknya sejak dulu Dokter Kinan suka sama Dokter Fathi, walau sering bilang dekat karena saudara padahal alasan saja itu,” timpal Wiwin.
“Jadi pelakor terselubung ya, dibalik identitas sebagai saudara ... ck,” celetuk Yuna.
“Ya ... begitulah, apalagi Mbak Embun sudah meninggal ... jadi kesempatan dia semakin besar untuk jadi istri barunya Dokter Fathi. Wanita mana sih yang gak nikah sama anak pemilik rumah sakit,” sahut Aini.
Semua perawat dan dokter kenal dengan Embun, karena dulu Embun adalah perawat di rumah sakit milik keluarga Prawidja, dan baru berhenti bekerja setelah melahirkan Ezra.
Kinan melangkahkan kakinya menuju lantai lima di mana ruang eksklusif. “Enak saja mereka bilang mantan iparnya Mas Fathi cantik, dan bilang Mas Fathi jatuh cinta dengan mantan adik iparnya itu, ya mana mungkinlah! Mas Fathi itu perhatian sama aku dan Jihan itu hanya mantan adik ipar saja!” geram sekali Kinan saat bicara sendiri.
“Aku harus bilang sama ayah, untuk segera membicarakan rencana perjodohan keluarga, jangan sampai Mas Fathi digoda sama mantan adik iparnya atau perawat di sini! Sudah cukup aku bersabar menunggu selama 9 tahun ini! Dan ini kesempatan aku untuk jadi istri Mas Fathi,” gumam Kinan sembari menatap sinis pada pintu lift yang terbuka.
Kembali ke ruang eksklusif ...
Kedua orang tua Fathi masuk ke dalam ruangan dengan mengendong Ezra, lalu di susul oleh Ita dan Bik Murni, kemudian beberapa perawat membawa ranjang tambahan buat Ezra sesuai permintaan Papa Gibran. Fathi yang sempat terhenyak dengan ucapan papanya, melangkah pelan masuk kembali.
“Ante ... Ante ... atit,” teriak Ezra dalam tangisan. Jihan yang baru saja merebahkan tubuhnya, langsung terduduk dengan tatapan sangat terkejut.
Batita itu merenggangkan kedua tangannya saat melihat Jihan. “Ya Allah, dede kenapa?” tanya Jihan, tangannya yang tidak terluka terulur. Mama Erina mendekati ranjang Jihan. “Ezra demam Jihan, dan panggil nama kamu terus,” jawab Mama Erina, dan batita yang ada di dalam gendongan oma-nya, bahasa tubuhnya minta diberikan pada Jihan.
“Turunkan saja Mah, biar sama Jihan,” pinta Jihan menepuk kedua pahanya.
“Tapi kamu lagi sakit, Jihan,” sambung Papa Gibran, merasa tidak tega.
“Gak pa-pa Pah, Mah, daripada Ezra nangis kejer kayak begini, Jihan gak tega dengarnya,” jawab Jihan begitu tulus.
Terpaksa Mama Erina menurunkan Ezra, dan lihatlah bocah tampan itu langsung tiduran dipangkuan Jihan, dan membenamkan wajahnya di dada gadis itu.
“Ante ... atit ... Ante ... Atit,” rengek Ezra sembari mengangkat tangannya kirinya yang diinfus, seolah menunjukkan pada Jihan.
Gadis itu mengusap lembut kepala Ezra, lalu turun ke punggung dan mengusapnya dengan lembut.
“Dede sakit ya, sama dong kayak Tante. Cepat sehat ya sayang, nanti kita main mobil-mobilan lagi ya sama nonton coco melon,” jawab Jihan begitu lembut. Lalu dia kembali mengajak Ezra bicara, dan semakin lama tangisan Ezra tak terdengar lagi. Begitu kuatnya bounding Jihan dan Ezra, hanya mendengar suara dan usapan lembut dari Jihan, Ezra sudah mulai tenang.
Mama Erina tak kuasa melihat hubungan yang begitu dekat antara Jihan dan Ezra, lantas dia membalikkan badannya, dan kakinya melangkah mendekati putranya yang berdiri tak jauh dari pintu.
“Kamu bisa lihat, bagaimana Ezra yang membutuhkan sosok Jihan! Apa yang akan terjadi sama cucu Mama jika tidak ada Jihan sebagai ibu sambungnya!” ucap Mama Erina begitu pelan, lalu sejenak menatap lekat pada anaknya.
“Mah.”
Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum miringnya. “Bersiaplah mengurus perceraian kalian berdua!”
Bersambung ... ✍🏻