Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Sengaja Membuat Kalian Ketakutan
“Loh ...?” lirih Liara langsung ketakutan.
“I—ini ...?” Vanya, Keysa, termasuk Sasy, juga tak kalah ketakutan dari ketua mereka.
Perjalanan dengan mobil bagus milik orang tua Stevan, memang membuat mereka ketiduran, saking nyamannya. Namun ketika akhirnya mereka terbangun, berhentinya mobil di bendungan mereka membuang Chilla. Membuat kedua kaki mereka buru-buru berusaha masuk ke dalam mobil lagi.
“Ayo, ... sini!” Stevan yang sudah ada di jembatan bendungan sengaja berseru. Arus di sana terlalu berisik, hingga untuk sekadar bersuara, ia memang harus berseru.
Ketakutan demi ketakutan, membuat Liara dan ketiga rekannya, tak kuasa melanjutkan langkah. Bahkan walau yang memintanya Stevan, Liara tetap kesulitan dalam melakukannya.
“Ngapain Stevan bawa kita ke sini? Masa iya, dia tahu? Apa jangan-jangan, justru Stevan yang tolong Chilla. Makanya Chilla sudah sehat dan sengaja teror kita?” lirih Sasy.
Liara dan ketiga temannya memang bertahan di depan pintu tengah mobil. Keempatnya kompak berusaha kembali masuk ke dalam mobil karena terlalu takut. Iya, rasa takut itu seketika muncul karena mereka ingat, apa yang telah mereka lakukan di bendungan sana.
Saking takutnya, Liara dan ketiga temannya jadi bisa mendengar detak jantung mereka, satu sama lain.
“Ayo ... aku bakalan ajak kalian seru-seruan! Katanya mau liburan!” teriak Stevan lagi masih dari jembatan.
Detik berikutnya, Liara dan ketiga temannya jadi bertatapan. Ketiganya menatap ragu satu sama lain. Hingga Stevan yang akhirnya menghampiri mereka, sesaat setelah pemuda itu sampai berlari, jadi mempertanyakannya.
“Kenapa kalian ketakutan begitu? Memangnya apa yang kalian takutkan? Ini siang bolong, beberapa orang juga masih lewat. Ada petugas yang jaga juga di depan!” yakin Stevan.
Diam-diam, Liara melirik tajam ketiga temannya. Lirikan yang sungguh penuh arti dan langsung membuat ketiganya mengangguk paham.
Suasana yang kembali tidak begitu panas dan justru agak mendung, membuat kebersamaan di sana syahdu. Terlebih, angin di sana tak hentinya berembus kencang. Mereka seolah sedang di dataran tinggi layaknya puncak gunung.
Akan tetapi, Liara dan ketiga temannya tetap tidak baik-baik saja. Keempatnya tetap ketakutan, gelisah, dan tak hentinya menengok ke kanan kiri. Menginjakkan kedua kaki di bendungan tersebut, dirasa mereka layaknya sedang uji nyali. Dalam diamnya, keempatnya tak hanya teringat dosa besar yang mereka lakukan di sana. Sebab mereka juga sampai membayangkan andai arwah Chilla muncul secara tiba-tiba dari dasar bendungan, kemudian menerkam mereka.
Bersamaan dengan bayangan parno sangat menyeramkan tersebut, sebuah bola melesat nyaris mengenai wajah Liara. Detik itu juga Liara dsn ketiga anak buahnya histeris mundur ketakutan. Kemudian keempatnya kompak dan memang refleks menoleh ke bawah sana. Bola berwarna putih dan tampaknya berat layaknya bola untuk sepak bola oleh para atlet yang nyaris mengenai wajah Liara, berakhir jatuh ke bawah bendungan. Bola itu hanyut terbawa air yang sangat deras di sana.
“Itu baru bola, tapi sudah sangat mengerikan. Enggak kebayang andai tadi yang jatuh justru orang, yang bahkan sengaja didorong, dibuang ke bawah sana!” ucap Aqilla yang melangkah tegas dan menatap bengis kedua mata Liara.
Kedatangan Aqilla yang bagi Liara dan ketiga rekannya terlalu tiba-tiba, kembali membuat keempatnya ketakutan. Lagi-lagi, keempatnya histeris sambil berusaha kabur. Liara nyaris jatuh karena berebut ketika melarikan diri. Andai tangan kanan Aqilla tidak sigap menahan jaket bulu bagian punggung yang Liara pakai, tubuh Liara pasti terlempar ke bawah.
“T—tolong ... tolong aku!” teriak Liara sangat histeris. Ia berada di luar jembatan bendungan. Kedua tangannya baru saja berhasil berpegangan ke jembatan, sementara tas mahalnya telanjur terjatuh ke bawah sana.
Ketiga teman Liara sudah menangis, sementara Aqilla masih menyikapi Liara dengan sangat dingin. Tatapan tajam kedua mata Aqilla kepada kedua mata Liara yang tak mau diam karena ketakutan, benar-benar mematikan.
“T—tolong!” Makin lama, suara Liara makin gemetaran. Ia tak peduli meski tas mahal warna pink kesayangannya dan tadi ia selempangkan di pundak kanan sudah jatuh ke bawah sana. Karena yang terpenting kini, baginya hanyalah nyawanya.
“Aku mohon, ... tolong!” rintih Liara kepada Aqilla.
Ketiga teman Liara yang tetap menjaga jarak dan sengaja jauh-jauh dari bendungan, menatap ngeri sosok Aqilla. Ketiganya dengan refleks mengawasi Aqilla dari ujung kaki hingga kepala. Aqilla yang kini menguncir tinggi rambutnya, dan memakai pakaian warna hitam merah, mereka dapati sehat wal afiat. Tak ada luka berarti apalagi lebam dan bekas luka, layaknya apa yang harusnya terjadi pada Asyilla.
Di lain sisi, kenyataan Asyilla dan Aqilla yang kembar memang hanya diketahui oleh orang dekat mereka. Apalagi sejak SMP, keduanya tak mau lagi satu sekolah. Keduanya sepakat mencari suasana baru. Karena terlahir kembar, kadang akan membuat salah satu dari mereka menjadi ‘bayang-bayang’. Keduanya tak luput dibanding-bandingkan, hingga kenyataan tersebut kerap menghadirkan luka tak kasatmata.
Diam-diam, ketiga teman Liara juga jadi merasa bersalah. Karena bagi mereka, alasan Liara nyaris terjatuh ke bawah sana, masih karena mereka. Tadi, mereka saling berebut pergi. Tadi, mereka tak segan saling dorong bahkan tarik. Hingga Liara terlempar ke bawah dan ditangkap Aqilla.
“Pak, tolong, Pak!” teriak Stevan kepada sang sopir yang sengaja memisahkan diri karena akan merokok.
Sopir Stevan buru-buru membuang asal rokoknya. Ia segera mendekat ke Stevan. Andai Stevan tahu bahwa Liara dan cecunguknya telah dengan sengaja mendorong Asyilla hingga hanyut ke derasnya air di bendungan. Pasti Stevan tak akan pernah menolong Liara. Pasti Stevan akan membiarkan Liara, atau bahkan memilih langsung mendorong Liara, agar Liara secepatnya jatuh.
“Aku rasa, ... ini bukan Chilla. Sejak kapan Chilla pintar nendang bola? Sejak kapan Chilla jadi sangat tenang dan serba bisa?” pikir Oskar yang sedari awal datang berebut bola dengan Aqilla, justru penasaran pada wanita yang sangat mirip dengan pujaan hatinya.
“Dia ... Kak Qilla?” pikir Oskar, yakin seyakin-yakinnya.
Beberapa orang termasuk petugas bendungan berdatangan. Mereka yang semuanya pria dewasa, bahu membahu menolong Liara. Sementara yang Aqilla lakukan segera mundur mengikuti tuntunan Stevan.
“Beb, kamu enggak apa-apa?” lirih Stevan.
Akan tetapi, Aqilla yang tidak terbiasa dengan panggilan Stevan, tidak merespons. Aqilla tetap menatap tajam Liara. Liara tampak sangat ketakutan kepadanya. Kedua mata Liara tak hentinya melirik takut kedua mata Aqilla yang nyaris tak pernah berkedip dalam menatap Liara.
“Ternyata kamu sangat payah. Hanya segitu nyalimu? Aku tatap begini saja kamu ketakutan?” batin Aqilla yang refleks terusik karena jemari tangan kanan Stevan, menggenggam jemari tangan kanannya. Detik itu juga, Aqilla refleks memandangi jemari tangannya yang digenggam erat oleh Stevan.
“Hati-hati, sekitar sebelas hari lalu, ada anak muda yang tenggelam juga di sini!” ucap pak Asep, bapak-bapak penjaga bendungan yang ikut menolong.
“Beda lah Sep, ... kalau neng yang tubuh apalagi wajahnya penuh luka kan, korban pembunuhan!” sela rekan pak Asep.
Detik itu juga, Liara dan ketiga temannya bertatapan. Bibir keempatnya komat kamit berucap, “Chilllllaaa?”. Tanpa keempatnya sadari, Aqilla menatap jengkel komunikasi mereka. Saking jengkelnya, kedua tangan Aqilla termasuk tangan kirinya yang digenggam Stevan, mengepal kencang.
“Alasanku membuat Stevan mengajak kalian ke sini, agar kalian terus dihantui rasa takut. Rasa takut yang nantinya aku yakini akan membuat hidup kalian tidak tenang. Kalian akan saling curiga dan tak segan melukai satu sama lain. Apalagi ketika kasus kalian tersebar dan kalian akan mendapatkan hukuman. Bukan hanya hukuman dari aparat negara kita. Namun juga warganet sejagad raya!” batin Aqilla benar-benar tak sabar menunggu waktu itu tiba.
😏😏😏
iya juga yaa,, kalo sdh singgung k Mbah Kakung,, memoriq tiba2 jadi blank🤭😅
ini angkatan siapa ya... 🤣🤣🤣
kayaknya aq harus bikin silsilah keluarga mereka deh... 🤣🤣🤣
beri saja Liara hukuman yg lebih kejam Mb...
Angkasa ....,, tunggu tanggal mainnya khusus utkmu dari Aqilla
Jangan smpe orang tua nya liara berkelit lagi ...