~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Welcme To The Jungle
“Iya benar Nona, mari silahkan masuk”.
Kedua kaki Jingga telah tiba di depan halaman rumah itu. Tatapannya nanar memandang rumah mewah dengan halaman luas dan taman yang hijau, hatinya tergelitik ingin menertawakan nasib sendiri. Seakan dunia sedang ingin mengajaknya untuk bercanda.
Ia datang ke rumah milik suaminya sendirian, sungguh tidak ada artinya dirinya di mata Fajar.
“Nona Jingga”, tangan penjaga itu melambai-lambaikan tepat di depan wajah Jingga seakan ingin memastikan jika Nona mereka baik-baik saja.
“Oh iya pak”. jawabnya dengan gelagapan setelah beberapa detik yang lalu melamun dan menertawakan nasibnya.
“Mari saya antar untuk masuk”.
Jingga hanya menganggukkan kepalanya saja dan turut serta mengikuti langkah penjaga rumah tersebut.
“Selamat datang Nona Jingga”, sapa dari beberapa pelayan lainnya yang ada dalam rumah itu dengan membungkukkan badannya.
Jingga merasa begitu canggung di perlakukan seperti itu.
Ia membalas dengan turut serta membungkukkan badannya, memberikan salam hormat kepada mereka yang telah menyambut dalam rumah itu.
Suasana rumah tampak sepi.
“Mari Nona saya antarkan ke kamar”, ucap salah satu pelayan wanita padanya.
Jingga kembali menganggukkan kepalanya, matanya masih mengamati setiap sudut rumah tersebut.
“Saya Wima Nona, yang akan membantu menyediakan setiap keperluan Nona selama di sini”.
Wima mengantar Jingga ke salah satu kamar yang ada dalam rumah itu, tepatnya berada di lantai satu . Sepertinya Fajar tidak menyiapkan kamar khusus untuknya juga tidak mempersilahkan ia untuk tinggal di kamarnya.
Hati Jingga mencoles.
“Setidaknya ini jauh lebih baik dari pada kamarku dulu waktu tinggal di rumah pak Hermawan”.
“Nona Jingga ingin minum apa? Biar saya ambilkan”. Tawar Wima padanya.
“Air putih saja, sebaiknya jangan panggil saya Nona, saya tidak biasa di panggil seperti itu. Sepertinya kita seumuran, bagaimana kalau kamu panggil saya dengan Jingga saja”.
“Maaf Nona saya tidak berani, nama saya Wima, Nona Jingga bisa panggil saya Wima begitu saja”. Ucapnya dengan kembali menundukkan dan undur diri dari hadapan Jingga menuju dapur.
Jingga kembali menganggukkan kepalanya, ternyata jadi orang kaya ribet juga ya. Kini ia mulai menghempaskan tubuhnya di atas ranjang itu, punggung dan kakinya terasa begitu sakit setelah seharian berjalan mencari rumah ini. Untung saja ada orang baik yang berkenan memberikan bantuan padanya.
Tak butuh waktu yang lama Wima kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga aneka cemilan untuk Jingga dan meletakkan di atas meja.
“Saya permisi Nona, jika butuh apa-apa silahkan panggil saja saya”.
“Trimakasih”.
Jingga menatap makanan itu dengan mata yang berbinar-binar, sudah sejak sarapan tadi ia tak makan lagi setelah seharian berjalan. Dengan cukup rakusnya Jingga memakan semua cemilan tersebut, tanpa Jingga sadari air matanya keluar dari sudut matanya.
Nelangsa.
Bahkan kewajiban untuk memberi makan saja tidak di jalankan oleh Fajar padanya.
Setelah cukup kenyang ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, tidur dengan meringkuk memeluk dirinya sendiri. Ia berjanji tidak akan menangis lagi apapun yang akan di perbuat Fajar padanya.
Ia berpasrah pada Sang Pencipta, mungkin ini jalan dari Allah untuk mengangkat derajatnya.
Sementara itu waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, Mobil Fajar terlihat mulai memasuki area pekarangan rumahnya. Benar saja Fajar baru saja pulang dari rumah Maura kekasihnya.
Ia melenggang begitu saja memasuki rumahnya tanpa bertanya kehadiran Jingga pada mereka. Fajar benar-benar tak peduli atau bahkan ia sudah lupa jika kini dia memiliki seorang istri.
“Tuan muda, nona Jingga sudah sampai”, lapor Wima salah satu pelayan yang di tunjuk khusus untuk mengawasi Jingga selama di rumah itu.
“Hem”. Tak ada jawaban yang diberikan Fajar hanya sebuah deheman kecil.
Fajar benar-benar menganggap Jingga sebagi mahkluk transparan yang tak kasat mata, dimana kehadirannya sangat tidak di inginkan.
Fajar berlalu begitu saja dan lekas menuju lantai dua ke kamarnya.
***
Pagi harinya Jingga yang sudah terbiasa dengan rutinitas untuk melayani majikannya terbangun lebih awal. Ia lekas mencari letak dapur dalam rumah itu. Tak butuh waktu yang lama Jingga dapat menemukan keberadaan dapur tersebut, rupanya di dapur sudah ada beberapa pelayan yang sedang memasak.
“Pagi semuanya”, sapanya dengan membenarkan jilbab yang di pakainya.
“Pagi Nona, Nona Jingga butuh apa? biar saya ambilkan”.
‘Tidak-tidak, saya tidak butuh apa-apa, saya cuma mau masak saja”.
“Jangan Nona biar kami saja yang masak”.
“Saya ingin masak untuk suami saya, jadi apa kiranya yang biasa di makan suami saya ketika sarapan?”, tanya Jingga dengan mulai mengambil alih dapur tersebut.
Sementara pelayan yang terlihat berusia tua itu mundur beberapa langkah di belakang Jingga.
“Tuan muda biasanya sarapan ayam goreng Nona, yang harus tersaji jika beliau makan adalah sambal. Sambal apapun itu dengan tingkat kepedasan yang relatif pedas”.
“Baik, bisakah bibi membantu saya untuk menyiapkan semuanya, saya ingin membuat ayam panggang dengan urap-urap beserta sambalnya”.
Pelayan tersebut menganggukkan kepalanya, menyiapkan semua bahan dan peralatan yang di butuhkan Jingga untuk memasak.
Jingga memasak ayam panggang dengan kombinasi yang sangat pas antara pedas dan manisnya, di tambah lagi rasa urap-urap dengan beberapa bahan mentah seperti tauge, timun, daun kemangi dan juga petai mentah membuat rasa urap-urap begitu sedap dan nikmat. Apalagi di tambah dengan nasi hangat dan sambalnya yang begitu pedas.
Tak butuh waktu yang lama semua makanan sudah terhidang di atas meja, Jingga menata dengan begitu indah menu sarapan tersebut. Ia berlalu meninggalkan meja makan tersebut sebelum suaminya datang. Jingga tak ingin merusak selera makan suaminya dengan melihatnya berada di sana.
Tak butuh waktu yang lama, Fajar turun dan bersiap untuk menikmati sarapan sebelum berangkat bekerja. Matanya berbinar kala menatap menu makanan yang terhidang di atas meja makan.
“Benar-benar menggugah selera”, ucapnya dalam hati dengan sudut bibir yang membentuk lengkung.
Tanpa menunggu lama, Fajar lekas sarapan dengan hidangan yang ada di depannya. Menurut Fajar sarapan pagi ini rasanya istimewa begitu pas dan enak sekali, bahkan lebih enak di bandingkan dengan menu makanan yang ada di Rest langganan keluarganya.
Fajar juga memerintahkan pelayannya untuk membungkus makanan itu untuk bekal makan siang di kantor nanti.
Pelayan dengan sigap menuruti semua permintaan Fajar.
Sementara Jingga yang menyaksikan dari jendela kamarnya pun turut tersenyum kala melihat suaminya dengan begitu lahap makan makanan yang ia masak. Hatinya menghangat kala itu.
Fajar telah menyelesaikan sarapan paginya, ia bergegas menyambar tas yang terletak di bangku sebelah dan mulai melangkahkan kakinya keluar rumah.
“Tuan tunggu tuan”, teriak Jingga dengan tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.