Di tolak tunangan, dengan alasan tidak layak. Amelia kembali untuk balas dendam setelah delapan tahun menghilang. Kali ini, dia akan buat si tunangan yang sudah menolaknya sengsara. Mungkin juga akan mempermainkan hatinya karena sudah menyakiti hati dia dulu. Karena Amelia pernah berharap, tapi malah dikecewakan. Kali ini, gantian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*22
"Oh, jadi Melia sedang tidak enak badan sekarang?"
"Baiklah. Aku paham dengan hal itu. Kamu bisa langsung bekerja lagi."
"Baik, tuan."
Sementara di dalam kamar, Melia sedang sibuk mengutak-atik laptopnya. Sesaat kemudian, dering ponsel langsung terdengar. Melia meraih ponsel tersebut, kemudian menjawab panggilan yang masuk.
"Nona muda. Bagaimana keadaan di sana? Apa semua berjalan dengan lancar? Apa semua baik-baik saja, Nona?"
Esti langsung menghujani Melia dengan banyak pertanyaan. Namun, belum sempat Melia menjawab, Vano malah langsung mengalihkan perhatian Melia.
"Nona muda. Anda baik-baik saja, bukan? Katakan jika mereka menyakiti anda lagi. Saya pasti akan langsung datang untuk menghukum mereka." Vano angkat bicara setelah menggeser kan posisi Esti dari layar laptop.
Tapi sayang, belum sempat Melia menjawab, tangan Esti duluan yang bergerak. Esti menjambak rambut Vano dengan keras.
"Apa yang kamu bicarakan? Kamu lupa siapa nona muda?"
"Agh."
"Apa-apaan sih mbak Esti. Aku kan hanya bertanya. Tapi, benar juga."
"Maaf, nona muda. Saya lancang."
Vano seketika kembali ke mode awal. Mode pendiam seperti biasa. Raut wajah datar langsung terlihat. Sebelumnya, karena terlalu cemas, Vano mendadak berubah jadi orang lain. Tapi sekarang, kesadarannya sudah pulih.
Sebaliknya, Melia malah tertawa lepas.
"Ha ha ha."
"Kalian berdua ... ada-ada saja."
"Vano. Tidak perlu cemas. Aku bisa mengurus semuanya dengan baik."
"Esti. Di sini tidak ada yang perlu di cemas kan. Semuanya baik-baik saja."
"Oh iya, beberapa hari lagi ada pesta dansa amal di kota. Vano, kamu ikut aku jadi pasangan nanti. Persiapkan dengan baik. Kita akan lakukan balasan atas jebakan Ricky waktu itu."
"Baik, nona muda. Saya akan lakukan sesuai yang nona harapkan. Percaya saya. Kali ini, kita tidak akan gagal lagi."
Beberapa saat ngobrol, panggilan itupun akhirnya usai. Melia terdiam sejenak. Matanya menatap lurus ke depan. Bibir indahnya bergerak sedikit.
"Perang diantara kita akan terus berlanjut, Tuan muda. Lihat saja, siapa nantinya yang akan jadi pemenang."
"Lelang amal. Lihat bagaimana aku menghancurkan bisnis kamu kali ini."
....
Setelah menolak keluar tadi sore, makan malam, Melia tidak lagi bisa menolak untuk keluar kamar. Dia terpaksa pergi untuk makan malam karena perutnya yang cukup kelaparan.
"Melia. Ceritakan apa saja yang sudah kamu lalui selama delapan tahun terakhir." Papanya bicara dengan nada lembut.
Melia langsung mengangkat wajah. Tapi, bibirnya terlalu enggan untuk menjawab. Nada lembut yang dulu pernah dia dengar, tapi hilang ketika sang mama mulai sakit-sakitan, sedangkan papanya malah tidak ingat dengan rumah. Nada lembut yang membuat Melia merasa sakit.
"Tidak ada yang perlu ceritakan, pa. Aku hanya tinggal di perkampungan saat hilang ingatan. Lalu, setelah ingatan ku pulih, aku kembali. Itu saja. Tidak ada yang spesial dengan kisahku selama ini."
"Mungkin Melia masih belum bisa bercerita, Pa. Jadi, jangan dipaksa." Mama tiri angkat bicara seolah dia adalah mama terbaik yang pernah ada.
"Iya, pa. Mungkin kak Meli butuh waktu deh."
"Hm. Benar juga. Melia memang butuh waktu." Papanya pula membenarkan.
Melia hanya terdiam. Entah sejak kapan keluarga itu berubah. Padahal, delapan tahun yang lalu tidak seperti itu. Papanya hanya perduli dengan mama tiri dan anak tidak sahnya saja. Tapi sekarang, agak sedikit berbeda. Mungkin karena dia baru kembali, jadinya agak masih hangat rasa kebersamaan itu.
Makan malam terus berlanjut. Sesekali, obrolan terdengar. Tak lama kemudian, topik utama tentang makan malam amal akhirnya keluar juga.
"Besok malam, Amerta grup akan mengadakan acara lelang amal. Kamu sebaiknya juga ikut ya, Mel. Kan, sudah lama tidak melihat dunia perkotaan." Papa Melia angkat bicara.
Belum sempat Melia menjawab, eh ... malah mama tiri yang angkat bicara duluan.
"Iya, Melia. Sebaiknya kamu ikut serta. Biar tante yang siapkan semuanya."
"Iya, kak Meli."
"Hm. Karena mama tidak perlu menyiapkan diriku untuk ikut. Jadi, mama bisa menyiapkan kamu. Soalnya, semua kebutuhan ku sudah di siapkan oleh kak Iky. Mulai dari perawatan, sampai gaun juga sudah disiapkan semuanya oleh dia. Jadi, mama hanya perlu menyiapkan kamu. Jadi, tidak terlalu kerepotan."
Barulah Melia mengerti apa tujuan mereka berbicara tentang makan malam plus lelang amal di sini. Ternyata untuk pamer. Memamerkan soal Ricky yang begitu perhatian pada Citra dengan menyipakan segalanya. Uh, sungguh membanggakan buat mereka. Tapi, buah Melia biasa saja. Tidak ada yang menyenangkan. Apalagi menyakitkan dengan kata-kata bangga yang baru saja Citra ucapkan itu.
"Aduh. Sepertinya aku tidak layak untuk ikut. Jadi, aku tidak akan pergi. Kalian bisa pergi ke sana bertiga. Jangan pedulikan aku."
"Tapi, Melia-- "
"Papa. Biarkan saja jika Melia tidak mau ikut. Mungkin dia tidak nyaman dengan dunia baru."
"Ah. Tapi, Ma. Jika kak Meli tidak belajar mulai dari sekarang, bagaimana bisa dia akan terbiasa nantinya? Keluarga kita adalah keluarga yang cukup terkenal, bukan? Jadi, kak Meli setelah kembali juga harus bisa menyesuaikan diri."
"Gak papa, kak. Jika kamu butuh sesuatu, bicara padaku saja. Aku bisa hubungi kak Iky buat minta bantuan."
Melia semakin merasa jengkel.
'Apa-apaan maksud omongan dia barusan itu?
Gak papa, kak. Jika kamu butuh sesuatu, bicara padaku saja. Aku bisa hubungi kak Iky buat minta bantuan. Hanya untuk menghadiri lelang dan makan malam aja harus minta bantuan kekasih hatinya? Benar-benar mencemaskan.' Melia berkata dalam hati.
Melia masih terdiam. Benaknya sedang berpikir untuk mempertimbangkan segala kemudahan. Mungkin, dia harus pergi. Tapi posisinya harus ada yang menempati.
'Pergi. Tapi terpaksa janji ku dengan Vano harus dibatalkan. Terpaksa, Esti yang akan gantikan posisiku kalu ini.'
'Yah. Itu tidak buruk juga. Meski rasanya agak bersalah pada Vano, tapi setidaknya, aku bisa membuat permainan kali ini sedikit menarik.'
"Baiklah. Jika kalian sedikit memaksa, aku terpaksa setuju. Aku akan ikut besok malam. Tapi, jangan salahkan aku jika kalian malu gara-gara aku. Maklum, aku ini gadis dari perkampungan. Sedikit tidak memahami aturan kota."
Ibu dan anak langsung bertukar pandang.
Sesaat kemudian, senyum terpaksa langsung mama tirinya perlihatkan.
"Ah. Jangan bicara begitu, Melia. Kamu hanya perlu selalu ada di dekat tante. Semua akan baik-baik saja. Tante akan jaga kamu dengan baik."
"Benar, Meli. Selagi kamu tidak bertingkah, maka tidak akan ada yang dipermalukan," kata papanya pula.
Melia hanya terdiam saja. Tapi hatinya berucap. 'Bertingkah? Kata-kata apa itu?'
'Heh, biarlah. Aku sedikit bersabar saja sekarang. Tapi lihatlah, kalian akan tahu apa tujuanku yang sesungguhnya.'
Setelah beberapa saat ngobrol sambil makan, makan malam itupun akhirnya berakhir. Tatapan para pelayan sama seperti dulu. Hanya Mila yang berbeda. Yang lainnya, baik pelayan baru maupun lama, tetap sama. Tatapan menghina tanpa menunjukkan rasa hormat sedikitpun.
tp karena mereka bodoh maka akalnya tak sampai kesitu 😀