Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
First Time
Gue enggak akan bisa membalas ciumannya, kalau gue langsung dorong dia dan kabur. Tapi begitu bibirnya yang lembut menyentuh bibir gue, rasanya semua jadi hilang, waktu, tempat, dan segala-galanya.
Tanpa ragu gue langsung balas ciumannya. Ciumannya itu bukan yang lembut atau romantis, malah penuh hasrat, penuh gairah, dan posesif. Dia cium gue seolah mau "makan" gue habis-habisan, dan sumpah, rasanya nikmat banget.
Tangan dia membingkai wajah gue, makin memperdalam ciumannya, bibir kita bergerak seirama, lidahnya menggoda, saling bersentuhan. Napas kita berdua makin berat, dan gue merasa mau ambruk, saking beratnya ciuman ini.
Gue lumer di pelukannya.
Enggak pernah kebayang kalau ada seseorang yang bisa bikin gue merasakan seperti ini. Seluruh badan gue kayak kesetrum, darah mengalir cepat di pembuluh gue, melewati jantung yang berdetak makin gila.
Anan menarik tubuh gue lebih dekat ke dia, bikin gue enggak sengaja mengeluarkan suara kecil yang tenggelam di mulutnya. Bibirnya makin agresif di bibir gue, lidahnya masuk dan menjelajah, bikin nikmatnya menyebar ke seluruh tubuh.
Anan angkat gue, dan otomatis gue melingkarkan kaki di pinggangnya. Napas gue habis saat merasa betapa kerasnya dia menempel di permukaan kulit gue. Dia enggak berhenti cium gue, bahkan sekejap pun enggak, sambil gendong gue ke sofa.
Dia baringkan tubuh ini pelan-pelan di sofa dan naik ke atasnya. Tangan gue merayap ke dadanya yang kekar dan perutnya yang six-pax. Merasakan setiap otot-ototnya. Tangan dia masuk ke dalam baju gue, menyentuh dada, dan gue enggak bisa tahan suara senang yang keluar dari mulut ini.
Anan mundur sedikit, berlutut di antara kaki gue yang masih di sofa, dan dia dengan cekatan membuka celana gue. Melihatnya seperti itu, dengan mata birunya bersinar penuh gairah sambil membuka pakaian gue, bikin napas ini berhenti.
Ini aneh, karena gue justru merasa nyaman di dekatnya saat dia tarik celana gue, melemparnya ke samping, dan kembali mencium dengan bengis.
Tangannya merayap di sepanjang kaki telanjang gue, dan dia mengerang pelan. "Lo bikin gue gila," katanya.
Gue gigit bibir bawahnya sebagai jawaban. Akal sehat gue sudah hilang entah ke mana, seluruh hormon gue mengambil alih. Buru-buru, gue buka kancing celananya. Dia berdiri, dan celananya jatuh ke lantai bersama pakaian dalamnya.
Sekarang, gue lihat dia telanj*ng, dan tubuhnya sempurna. Setiap otot, tato, semuanya sempurna. Bibirnya merah setelah begitu banyak ciuman, dan gue yakin bibir gue juga pasti sama.
Dia kembali mendekat ke gue, mencium gue pelan tapi penuh gairah, ciuman basah yang begitu dalam dan membakar, nyaris bikin gue gila.
Tangannya menyusup masuk ke celana dal*am gue, dan dia mengerang lagi di mulut gue. Itu suara yang paling seksi yang pernah gue dengar. "Gue suka, lo basah cuma buat gue."
Gue bisa merasakan betapa kerasnya dia di paha gue, dan gue ingin merasakannya di tempat lain. Jemarinya gerak di titik paling sensitif gue, membelai dalam lingkaran, dan gue enggak bisa tahan buat enggak melengkungkan punggung.
"Oh, Anan! Tolong."
Gue mau lebih.
Gue mau semua dari dia.
Apa pun itu.
Seakan mengerti apa yang gue mau, Anan angkat baju gue sampai bagian dada gue terbebas, menyerangnya dengan lidah dan tangannya yang kekar.
Dengan penuh gairah, gue ambil "teman baik" nya di tangan gue. Sekejap terkejut melihat betapa besarnya, tapi gairah ini terlalu kuat buat dihiraukan.
"Anan, tolong." Gue bahkan enggak tahu apa yang gue minta darinya.
Anan mundur sedikit, matanya menancap di mata gue, jarinya masih bergerak di dalam celana gue.
"Mau gue masukin?" Dia gigit bibir bawah gue pelan. "Mau ngerasain gue di dalem lo? Bilang aja."
Gue gigit bibir bawah gue sambil merasakan jemarinya yang bikin gue gila. "Ah! Iya, gue mau lo di dalam."
Dia mundur sebentar dan merogoh celananya. Gue memperhatikan dengan deg-degan pas dia mengeluarkan kond*m dan memakainya.
Ya, Tuhan, benaran, nih, gue bakal melakukan ini?
Gue bakal kehilangan keperawanan gue sama Anan Batari.
Beberapa detik kemudian, dia ada di atas gue, di antara kaki gue, dan seketika ada rasa takut yang menyusup. Tapi dia kasih ciuman penuh gairah, membuat semua rasa takut itu sirna, bahkan sampai gue lupa nama gue sendiri.
Dia posisikan diri, terus menjauh sedikit buat lihat ke mata gue. "Lo yakin?"
Gue jilat bibir gue dengan gugup. "Iya."
Anan cium gue lagi, dan gue tutup mata, tenggelam dalam kelembutan dan kenikmatan bibirnya.
Dan...
Gue merasakan dia memasukkan dirinya pelan-pelan, dan gue meringis kesakitan. Air mata mulai muncul di mata gue. "Anan, sakit!!!"
Dia kasih ciuman pendek di seluruh wajah gue. "Shh, enggak apa-apa, sebentar lagi rasa sakitnya hilang."
Dia masukkan sedikit lagi, dan gue melengkungkan punggung karena rasanya kayak ada sesuatu yang pecah di dalam. Akhirnya dia masuk sepenuhnya, dan air mata gue mengalir di pipi.
"Cium gue."
Dia enggak bergerak, biar gue bisa menyesuaikan. Ciumannya basah, penuh gairah, dan tangannya menyentuh dada gue dengan lembut, membuat gue makin terbang, sampa rasa sakit di tubuh gue hilang.
Dia enggak buru-buru buat bergerak, fokusnya cuma buat membangkitkan hasrat gue lebih tinggi lagi, membujuk, mencium, menggigit bib*r, leher, dan dada gue.
Sakitnya masih ada, tapi lama-lama mulai hilang, tinggal tersisa rasa perih dari sesuatu yang pecah. Gue mau dia gerak, karena sekarang gue sudah siap.
"Anan," gumam gue ngos-ngosan di bibirnya.
Seakan mengerti apa yang gue mau, dia mulai bergerak pelan-pelan, dan meskipun masih agak perih, gue sudah cukup basah buat merasakan gesekannya.
Ya, Tuhan, rasanya melebihi apa pun yang pernah gue rasakan.
Dia.
Keluar...
Masuk...
Keluar lagi...
Masuk lagi...
Berulang kali.
Mungkin seratus kali.
Gue mau dia makin cepat, makin dalam. Gue lingkarkan tangan di lehernya dan cium dia sekuat yang gue bisa, mengerang sambil merasakan dirinya yang keras dan sempurna di dalam gue.
"Anan! Lebih cepat."
Anan senyum di bibir gue. “Lo pingin lebih cepat, ya? Lo suka, huh?” Dia dorong makin dalam sebelum mulai gerak lebih cepat.
“Auw... Ya, Ampuuun!”
“Zielle,” bisiknya di telinga gue sementara gue mencengkeram punggungnya, “lo suka ngerasain gue kayak gini, semuanya sampai mentok di dalem lo?”
“Iya!” Gue bisa merasakan puncaknya mendekat, dan gue keluarkan erangan keras, bikin Anan langsung cium gue buat tutupi suara itu.
Tubuh gue meledak.
Anan ikut mengerang bareng gue, gerakannya makin acak dan lebih cepat.
Dia selesaikan semuanya sambil jatuh di atas gue.
Napas kita berdua yang ngos-ngosan menggema di ruangan, dan detak jantung kita berdebar bareng di dada yang saling menempel.
Saat sisa-sisa orgas*e mereda, kesadaran mulai balik pelan-pelan ke pikiran gue.
Ya, Tuhan!
Gue baru saja tidur sama Anan, baru saja kehilangan keperawanan gue.
Anan pakai tangannya buat bangkit dan kasih gue ciuman singkat, terus melepas dirinya dari gue.
Masih ada rasa perih, tapi enggak terlalu sakit buat ditahan. Gue lihat ada sedikit darah di kond*m, dan langsung mengalihkan pandangan sambil duduk.
Dia buang kond*m itu ke tempat sampah, pakai celananya, dan kasih gue baju gue. Dia duduk di pinggiran sofa dan cuma memperhatikan gue tanpa ngomong apa-apa.
Dia enggak kasih ucapan apa pun, enggak merangkul gue atau yang lain. Kayak dia malah lagi tunggu gue buat pergi.
Sunyi, bikin gue enggak nyaman. Jadi gue buru-buru pakai baju.
Sudah selesai, gue bangkit, dan merasa agak nyeri.
“Lo enggak apa-apa?”
Gue mengangguk.
Mata Anan mengarah ke sofa di belakang gue, dan gue mengikuti pandangannya. Ada noda darah di sofa dan itu lumayan kelihatan. Anan sadar kalau gue malu. “Tenang aja, gue bakal nyuruh Bibi buat dicuciin.”
Gue taruh tangan di depan gue. “Gue... mending cabut aja.”
Dia enggak ngomong apa-apa, dan itu menyakiti hati gue. Enggak ada kata-kata “Jangan pergi,” atau “Kenapa lo pergi?”
Gue mulai jalan ke pintu dengan hati sesak. Ada rasa ingin menangis, tapi gue tahan biar enggak keluar. Gue pegang kenop pintu, dan akhirnya dia buka suara.
"Tunggu!"
Ada secercah harapan yang muncul di hati gue, tapi langsung berubah jadi kekecewaan ketika melihat dia jalan ke arah gue sambil bawa kotak HP. "Tolong, terima ini. Jangan gengsi."
Gerakan kecil itu malah bikin perasaan gue makin hancur, kayak dia lagi bayar buat apa yang baru saja terjadi.
Air mata mulai menggenang di mata gue, dan gue bahkan enggak jawab. Gue buka pintu dan cepat-cepat keluar dari sana.
"Zielle! Jangan pergi kayak gitu! Zielle!"
Gue masih bisa dengar suaranya teriak di belakang, tapi tanpa sadar gue sudah lari keluar. Gue tabrak si Rambut Kucing, tapi gue cuek dan terus jalan.
Begitu gue di luar, air mata mengalir bebas di pipi. Gue tahu, ini salah gue juga. Dia enggak memaksa buat melakukan ini, tapi tetap saja, enggak bikin rasa sakitnya berkurang.
Gue baru saja kehilangan sesuatu yang paling berharga buat gue. Tapi buat dia, itu sama sekali enggak ada artinya. Selama ini, gue selalu membayangkan kalau gue bakal jadi momen pertamanya yang spesial, momen yang penuh keajaiban.
Gue pikir, cowok yang melakukan ini bareng gue bakal menghargainya, paling enggak punya perasaan buat gue. Tadi rasanya memang luar biasa, tapi perasaan gue ke dia malah jadi makin dalam sampai enggak bisa dikendalikan. Buat dia, semua itu enggak berarti apa-apa, cuma sekadar pemuas birahinya.
Dia sebenarnya kasih tahu gue dari awal tentang apa yang dia mau, tapi gue masih saja bodoh dan kasih hal yang paling gue jaga selama ini ke dia.
Gue terus lari sambil menangis, paru-paru gue terasa terbakar karena kelelahan dan air mata yang enggak berhenti keluar.
Begitu gue sampai di rumah, gue langsung melempar tubuh bodoh ini ke kasur dan menangis sejadi-jadinya.
... ✎ᝰ────ᯓᡣ𐭩...
... "Kala itu matahari memberi jalan pada rembulan, lalu menghilang. Mereka berjanji agar tak saling bertemu, tetapi tetap berbagi langit yang sama, langit yang sama saat pertama kali dia membagikan waktu yang kini menjelma sebagai rindu."...