Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restu Yang Tak Pernah Didapat
Mentari sudah mulai tenggelam saat Ruby dan Kiran memasuki bangunan sederhana yang menjadi tempat tinggal mereka. Begitu pintu terbuka, sosok Fatimah yang semula duduk menunggu di kursi usang, sontak bangkit dan menghampiri dua putrinya.
"Assalamualaikum," sapa kedua perempuan begitu memasuki rumah.
"Waalaikumsalam. Ruby, Kiran, bagaimana hasilnya?. Nak Ruby di terima atau..?" Bukan hanya menjawab salam, Fatimah langsung memberondong pertanyaan dengan ekspresi cemas.
Ruby dan Kiran berpandangan, saling tak menunjukan reaksi apa pun, hingga Fatimah mengira jika Ruby gagal menjalani tes. Fatimah pun lekas mengusap bahu Ruby, mengusapnya perlahan seolah sedang menenangkan. Ditariknya lembut tangan Ruby dan membawanya untuk duduk.
"Nak, bersabarlah. Tidak harus sekarang, mungkin dilain waktu kau akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik."
"Ibu ini bicara apa?" Kiran menyela.
"Kiran, tidak baik menyela ucapan orang tua seperti itu. Lihatlah, Kakakmu sedang tidak baik-baik saja sekarang." Fatimah menatap tajam pada sang putri, ia masih mengusap bahu Ruby yang sejujurnya sudah ingin tertawa sedari tadi.
"Ibu ini bicara apa? Apa Ibu kira Kak Ruby hari ini tidak diterima kerja?".
Fatimah menatap dua gadis di hadapan kemudian menganggukkan kepala.
"Ya, bukannya seperti itu?". Fatimah memperhartikan Ruby secara teliti. Retap sama, wajah gadis itu cukup pucat dan tak menujukkan binar bahagia.
Kiran tergelak disusul Ruby, yang mana membuat Fatimah dibuat bertanya-tanta.
"Kiran, Ruby, ada apa ini? Kenapa kalian justru tertawa?".
Kiran menghentikan tawanya, gadis manis itu mengusap bahu sang Ibu. Ia sepertinta harus menjelaskan apa yang sudah terjadi hingga tak membuat sang Ibu salah faham.
"Begini Bu, atas seizin Allah Kak Ruby sudah diterima kerja. Di tempat yang sama denganku menjadi asisten Koki. Ibu pasti suka 'kan?".
Fatimah terkesiap. Didetik berikutnya ia pun mengucap syukur dan memeluk Ruby dengan perasaan haru. Tak mengira jika usaha Ruby untuk mencari pekerjaan, membuahkan hasil disaat usua kehamilannya yang menginjak tujuh bulan saat ini.
Ketiga perempuan itu saling memeluk. Mengucap syukur disertai linangan air mata.
💗💗💗💗💗
Brak.
Pintu mobil ia tutup dengan cukup kencang sampai menimbulkan suara begitu tubuhnya keluar dari kendaraan yang beberapa saat lalu menjadi teman perjalanan. Kaki panjangnya melangkah lebar menyusuri lantai marmer, hingga sampai didepan pintu utama kediamannya.
"Selamat malam, Tuan," sapa seorang pelayan berusia cukup muda saat pria itu mulai memasuki kediaman.
"Malam." Hanya satu kata itulah yang terucap dari bibir sang Tuan. Pelayan itu pun bergerak sigap, mengambil alih tas kerja dari tangan Tuannya.
Begitu si pelayan menjauh, pria bernama Sean itu menganyunkan langkah kembali untuk menaiki anak tangga menuju kamar pribadinya. Saat mendekati pintu salah satu ruangan, langkah pria itu terhenti. Lewat ekor mata, ia melirik pintu ruangan yang tertutup rapat, di mana ruang tersebut adalah kamar utama yang dulunya ia tempati dengan Ruby. Sebuah ruangan yang menjadi tempat sepasang suami istri itu melepas lelah juga berbagi hasrat. Ruangan yang pernah melukiskan sejuta kebahagiaan, namun nyatanya juga mampu melukiskan sejuta luka bagi Sean atas pengkhianatan yang dilakukan sang istri.
Sean mendesis. Amarahnya kembali tersulut. Seluruh isi kamar bahkan sudah habis dibakar, namun jua tak mampu menghapuskan jejak percintaan Ruby bersama sang selingkuhan.
"Biadab kalian," rutuk Sean sebelum beranjak dari depan ruangan untuk memasuki satu ruangan lain yang kini menjadi kamar pribadinya. Sebuah kamar yang hanya diisi dirinya seorang.
Sean melepas kasar bagian atas pakaiannya. Rasa panas mulai menjalari tubuh. Ia teguk air mineral yang tersedia di atas nakas dan meminumnya hingga menyisakannya separuh isi.
Tubuh kekar berisinya ia hempaskan ke atas ranjang, sementara pandangannya tertuju pada langit-langit ruangan. Tubuh pria itu juga terasa lelah dan letih, bukan hanya fisik namun juga mentalnya. Tuntutan sang ibu yang terus mendesaknya untuk mencari sosok penganti Ruby untuk dijadikan istri, tak ayal membuat kesabaran seorang Sean nyaris sirna. Sungguh ia tak ingin didesak apalagi dipaksa. Konyol. Apalagi perjodohan, Ck ini bahkan sudah bukan zaman siti nurbaya.
Menolak tentu tidak mungkin, namun jika dipaksa menerima, Sean pun tak akan siap.
Bukan trauma atas kegagalan pernikahan, namun Sean memang tak ingin tergesa-gesa mencari pendamping hidup terlebih di dalam hati terdalamnya masih tetap nama Ruby yang bertahta.
Ah, benarkah?
Tiba-tiba seraut wajah putus asa Ruby saat terusir dari rumah kembali terngiang. Sean masih ingat, saat Ruby tidak berniat mengelak juga tak membenarkan perselingkuhan yang tersaji begitu nyata di hadapan.
"Andai kau tak berselingkuh, pasti kita akan tetap bersama dan tidak mengalami situasi semacam ini."
Ada rasa bersalah menjalar dalam sanubari Sean saat ia mendengar penuturan dari kuasa hukum yang di tunjuk bahwa Ruby sama sekali tak mengambil sepeserpun harta yang menjadi hak atas dirinya dan justru menyumbangkannya ke badan amal dan panti asuhan di mana dirinya dibesarkan.
"****."
Sepasang mata Sean bahkan sudah berkaca-kaca walau hanya dengan membayangkannya saja. Terlebih setelah keputusan cerai di sahkan, Ruby seakan menghilang tanpa jejak. Tidak, Sean tidak berniat mencari tau tentang Ruby, hanya saja saat beberapa kali dirinya mengunjungi panti, Sean tak melihat keberadaan Ruby berbulan-bulan lamanya.
"Apa dia benar-benar menghilang atas perintahku waktu itu?". Bayangan pertemuan terakhir kalinya saat keputusan sidang, kembali memenuhi benak. Di saat kata-kata menohok itu ia tujukan pada Ruby yang hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Gila, lagi pula kenapa aku harus mengingat dia yang mungkin sudah bahagia dengan pria lain yang menjadi perusak dalam rumah tanggaku. Sadar, Sean. Kau harus bangkit dan melupakan wanita yang nyata-nyata sudah mengkhianatimu." Seolah tengah berperang dengan batin. Sean ingin menjalin hubungan baru, namun ia masih belum mampu menghapus semua kenangan yang dibangun bersama Ruby selama dua tahun pernikahan.
Suka dan duka, pernah mereka lewati bersama. Restu yang sulit didapat dari sang Ibu, nyatanya tak membuat Sean patah arang. Ia begitu gigih memperjuangkan Ruby, hingga restu itu pun berhasil diperoleh sebelum pernikahan digelar. Sebuah pernikahan begitu sederhana yang hanya dihadiri keluarga terdekat. Tak ada hidangan mewah apalagi resepsi. Akan tetapi semua yang terjadi tak mengurangi sedikit pun kebahagiaan dari sepasang pengantin. Kedua insan itu terlihat begitu berbahagia, hingga melupakan seorang perempuan yang menatap mereka begitu tajam dengan dua tangan terkepal. Bibir perempuan itu bergerak tanpa suara. Merapalkan kalimat begitu lirih yang nyatanya bukan berisikan untaian doa untuk ke dua mempelai, melainkan beragam umpatan dan cacian, sebagai luapan kegeraman yang coba ia sembunyikan.
ama rio dan selena
lha kalau kayak emak seperti diriku iki dengan body yg lebih berisi dak semok yoo harus di permak bb nya juga😁😁😛😛
perlu rasa percaya kepada pasangan sean