FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Sebuah kecelakaan menewaskan seluruh keluarga Arin. Dia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah peninggalan orangtuanya. Tapi meski begitu dia hidup dalam kesepian. Beruntungnya ada keluarga sekretaris ayahnya yang selalu ada untuknya.
"Nikahi Aku, Kak!"
"Ambillah semua milikku, lalu nikahi aku! Aku ingin jadi istrimu bukan adikmu."
Bagaimana cara Arin mendapatkan hati Nathan, laki-laki yang tidak menyukai Arin karena menganggap gadis itu merepotkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Apa kau akan tetap disini, kau bisa terkena masalah lag," ujar Arin mengingatkan Rezza yang duduk tenang di sebelahnya.
"Hussttt, dosen tidak akan tau kalau kak Arin dan yang lainnya tidak memberitahu." Rezza mengangkat bukunya tinggi hingga menutupi separuh wajahnya, berharap dosen kali ini tidak menyadari kalau dia ada disana.
Arin geleng-geleng kepala melihat tingkah adik tingkatnya itu. Sementara para gadis di sana justru senang melihat Rezza ada di sana.
Rezza Hamda Alvredo putra dari pasangan Lia dan Sakka. Dia tiga tahun lebih muda dari Arin dan berkuliah di universitas yang sama dengan Arin. Rezza tak jauh beda dengan papahnya yang suka tebar pesona pada para gadis di sekitarnya. Menggoda dan merayu sudah seperti makanan sehari-hari nya tapi untungnya dia tidak mengikuti jejak papahnya sewaktu masih muda. Rezza tidak suka mempermainkan perasaan perempuan seperti pesan mamahnya. Dia hanya sebatas menggoda mereka tidak lebih, tidak ia pacari atau terlalu ia anggap.
"Rezza!! Apa kau masih mau disini dan saya laporkan pada kakekmu?!" Ternyata dosen sudah hapal betul tingkah laku Rezza.
"Ehh jangan dong pak. Saya disini untuk menjaga kak Arin, tadi dia bilang sedikit sakit perut jadi saya berjaga-jaga disini kalau kak Arin pingsan tiba-tiba bagaimana?" ujar Rezza mencari alasan, membuat Arin melongo karena lagi-lagi dirinya ikut terseret juga.
"Benarkah itu Arin?" tanya dosen itu pada Arin.
Rezza menyikut lengan Arin agar mau bekerjasama dengan nya. Arin pun mengedipkan mata tanda setuju.
"Be--benar pak, perut saya sedikit sakit." Arin berpura-pura memegangi perutnya.
Dosen itupun memperhatikan dengan seksama menggunakan kacamata tebalnya, menatap Arin.
"Baiklah, tapi ingat. Kau tidak boleh mengganggu proses belajar."
"Siap Pak." Rezza memberi hormat.
"Ini yang terakhir, aku tidak mau lagi lain kali." bisik Arin yang tidak mau lagi diajak berbohong.
"Iya iya, nanti aku traktir makan siang. Ok kak."
Akhirnya kelas pun selesai juga. Sekarang Arin dan Rezza sedang berjalan bersisian menuju kantin kampus. Sambil sesekali bercanda dan menggoda. Sungguh pemandangan yang membuat iri para gadis yang memuja Rezza. Tapi mereka tau kalau hubungan Arin dan Rezza itu hanya sebatas teman dekat, mengingat umur Arin juga lebih tua beberapa tahun dari Rezza.
"Kau itu hobi sekali menyusup ke kelas ku, apa kau tidak bosan kena marah dan hukuman dari dosen." Arin tidak habis pikir dengan Rezza.
"Itu menyenangkan Kak, saat aku jadi pusat perhatian. Bukankah itu menyenangkan, aku jadi semakin populer di kampus ini, hehehe ...." Rezza menyengir kuda, siapa yang tau kalau sebenarnya dia memang ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Arin. Hanya di kampus lah dia bisa dekat dengan Arin dan kalau mengingat sebentar lagi gadis itu akan lulus membuat Rezza sedikit bersedih.
"Ayo, bukankah kau janji mau mentraktirku makan siang," tutur Arin sambil menyeret pergelangan tangan Rezza.
Laki-laki itu hanya tersenyum tipis melihat tangannya di gandeng oleh Arin. Tentu rasa kagumnya tidak hanya sebatas teman tapi diam-diam Rezza menyembunyikan perasaannya, ia tidak ingin merusak persahabatan dan menjadi canggung kalau Arin tau perasaannya.
"Ehh kak, apa kau ada kuliah lagi setelah ini?" tanya Rezza pada Arin yang tengah asyik menyantap bakso kesukaannya.
Arin menggeleng, mulutnya penuh tidak bisa berbicara.
"Kebetulan sekali, nanti aku nebeng ya. Sekalian kak Arin main ke rumah, dari kemarin mamah selalu menanyakan kak Arin." Rezza tidak berbohong, Lia sang mamah memang sering menanyakan kabar Arin. Sama seperti Febby, Lia juga menyayangi Arin. Lia juga sering meminta Arin untuk tinggal bersamanya tapi gadis itu selalu menolak. Jadi hanya sesekali dia main ke rumah Rezza.
Arin mengangguk, dia juga sedang tidak ingin pulang lebih dulu saat ini. Mungkin dengan main ke rumah Rezza dan bercerita pada Lia akan sedikit menghiburnya.
Setelah makan siang ternyata ada kelas tambahan untuk Arin jadilah Rezza menunggu sebentar, Rezza sudah menunggu di depan kelas Arin. Seperti katanya tadi mereka akan pulang bersama. Tentu saja Rezza yang sendirian tidak mungkin dibiarkan menganggur oleh para gadis di sana. Banyak coba mendekatinya, dengan banyak alasan, ada yang terang-terangan meminta nomor teleponnya ada yang pura-pura tanya tentang mata kuliah yang tidak ia mengerti. Karena kebetulan Rezza adalah mahasiswa berprestasi, bahkan saat di bangku sekolah dia beberapa kali loncat kelas karena kejeniusannya.
"Jadi yang ini bagaimana kak?"
"Ohh yang ini, pertama-tama kamu pecahkan dulu kasusnya lalu ...."
"Aku juga tidak mengerti yang bagian ini kak."
"Apa aku boleh meminta nomor kakak agar bisa bertanya kalau ada yang tidak paham."
Rezza tersenyum pada mereka semua, tidak bisa langsung menolak mereka secara terang-terangan. Dia harus pandai mengatur perasaan mereka agar paham. Kalau tidak, mereka bisa saja nekat menyerang siapa saja yang dekat dengannya.
"Baiklah, begini saja. Kalian buatlah grup chat, nanti kalau senggang aku akan membantu kalian dan kalian juga bisa saling mengenal dan membantu jika yang lain paham. Tapi ingat tidak boleh rusuh dan saling menyerang sesama anggota," terang Rezza.
"Apa itu semacam fans club, jadi kami juga bisa berinteraksi dengan sesama penggemar kakak."
"Aahh ya, bisa saja dibilang begitu tapi aku bukan artis. hehehe. Ya kalian bisa berbagi informasi apa saja asal dalam hal positif," ujar Rezza lagi sambil menggaruk kepalanya.
"Ok, siap kak. Terimakasih sarannya."
Fiiuhhh ... akhirnya mereka pergi juga. Semoga apa yang aku pikirkan benar dan tidak merugikan ku suatu saat nanti. Rezza menghela nafasnya lega.
"Melamun apa?!" Arin datang mengagetkan Rezza.
"Tidak apa-apa, apa kak Arin sudah selesai. Kalau begitu ayo kita pulang ke rumah ku," ujar Rezza dengan semangat empat lima.
Tak lama mereka sudah sampai di rumah Rezza, tepatnya di kediaman keluarga Alvredo. Rezza lah yang menyetir sampai ke rumah dengan alasan tidak bisa membiarkan wanita menyetir untuknya katanya, bukankah dia pintar sekali menggombal.
"Ayo turun kak, mamah pasti senang melihat kak Arin datang dan akan langsung melupakan putranya sendiri."
Arin tertawa kecil, sikap Lia dan Febby memang hampir sama. Selalu mengutamakan Arin dari pada anak-anak kandung mereka.
"Assalamu'alaikum mah ... lihatlah siapa yang datang," teriak Rezza begitu memasuki rumah besar itu.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa si nak, pulang-pulang teriak-teriak."
"Sebentar lagi juga mamah yang teriak," cibir Rezza. "Tuh lihat siapa yang datang." Rezza menyingkir agar sang mamah bisa melihat Arin yang berada di belakangnya.
"Ya ampun putrinya aunty, sayangku." Lia langsung menghampiri Arin dan melewati begitu saja sang putra.
"Assalamu'alaikum aunty Lia." Arin meraih tangan Lia dan mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikumsalam, aunty rindu sekali nak." Lia sampai terharu tiap kali melihat Arin yang sangat mirip dengan sosok sahabatnya.
"Aunty ...,"