Suami Di Alam Mimpi

Dokter Ibrahim masih termangu di tempatnya. Dia sudah biasa mendapat pertanyaan demikian dari keluarga pasien, tetapi pertanyaan Arum malah agak mengejutkannya.

"Be-belum, Bu. Saya belum menikah," jawabnya gugup. Aura intimidasi Arum begitu kuat.

Arum tersenyum simpul. Wajah cantiknya nampak sekalipun sudah diselimuti keriput. Wajah cantik itu telah diwariskan ke Widuri.

"Saya sedang mencarikan jodoh untuk putri saya. Tapi, sampai saat ini, dia bertemu jodohnya. Apakah dokter mau berkenalan dengan Widuri?" tanya Arum spontan.

Sejak dulu dia memang wanita yang selalu berani, tak ada rasa segan kepada siapapun jika sudah berniat. Arum kembali memandangi putrinya.

"Entah kenapa dia selalu takut memulai hubungan dengan pria. Putriku mungkin trauma karena melihat pernikahan kedua orang tuanya," ucap Arum yang masih di dengar jelas oleh Ibrahim.

"Mungkin karena masih muda, sehingga belum memikirkan hal seperti itu." Dokter Ibrahim tetap bijaksana menanggapi.

Arum menggeleng. "Putriku bahkan tidak berniat menikah dengan pria manapun. Tapi saya tetap berharap dia menikah."

Dokter Ibrahim melirik sesaat ke Widuri ya g masih terbaring damai dalam komanya. Ya, dia mengakui Widuri cantik, terlebih lagi dokter Ibrahim mendengar cerita dari Welas jika Widuri di tikam ketika sedang menjaga tokonya.

"Sayang sekali jika Widuri tidak mau menikah. Dia wanita pekerja keras, dia butuh pendamping, saya paham maksud Bu Arum."

Arum tersenyum. Pikirannya sudah mengarah jika ia ingin dokter Ibrahim yang cocok untuk menikahi Widuri.

"Apakah dokter tertarik dengan anak saya?" tanya Arum.

Ibrahim terhenyak. Mata sipitnya membulat sempurna. Arum tersenyum, ia sudah berharap jika Ibrahim mau menikahi Widuri.

"Hmm, Bu Arum jangan bercanda. Belum tentu juga Widuri mau sama saya," ujar Ibrahim malu-malu.

"Cinta bisa tumbuh setelah menikah. Kami sebagai orang tua Widuri pasti merasa bangga jika Widuri bisa dinikahi dokter."

Arum sungguh frontal kali ini. Tak ada jalan lain memisahkan Widuri dengan Kailash, selain menikahkan Widuri dengan pria manusia. Sedangkan dokter Ibrahim berpikir keras. Hampir sebulan mengontrol perkembangan Widuri, benih-benih ketertarikan itu muncul dengan kesadaran penuh.

"Saya akan membicarakan ini dengan keluarga. Dan bicarakan juga kepada keluarga Bu Arum, saya harap kita menemukan jawaban sesuai kebaikan," kata Ibrahim.

Arum menghela nafas lega. Lampu hijau sudah di berikan oleh Ibrahim, tentu masalah peliknya akan terselesaikan. Ibrahim pamit untuk melanjutkan tugas.

"Maafkan aku, Nak ..Ibu terpaksa melakukan hal ini agar Ibu tidak kehilangan kamu. Maafkan saya Kailash.. Tapi memang tidak seharusnya hubungan kalian terjalin," gumam Arum yang di dera rasa bersalah.

Arum duduk di samping putrinya. Dia mengusap telapak tangan Widuri yang semakin dingin, sedingin butiran salju yang baru turun. Suatu pertanda jika putrinya sangat berbahagia di alam jin.

"Kau pasti sudah sangat bahagia bersama suami dan anakmu, tapi itu melawan kodrat Widuri. Kembalilah menjalani kehidupan layaknya manusia," ucap Arum yang berderai air mata.

***

Usai memeriksa pasien siang itu, dokter Ibrahim kembali ke ruangannya. Dia bersandar di kursi kerjanya. Ia memandang ke arah langit-langit. Sebenarnya sata itu ia sedang masa penyembuhan hati. Semenjak di khianati oleh tunangannya, Ibrahim enggan lagi memikirkan tentang pernikahan. Namun, usianya sudah kepala tiga. Kedua orang tuanya juga kerapkali menanyakan tentang pernikahan.

"Kata hatiku yakin dengan wanita ini, tapi kenapa aku merasa di Widuri ada yang tidak beres?"

Ponsel Ibrahim berdering. Dia melihat nama maminya tertera di layar ponsel.

"Halo, Mi. Ada apa? tumben nelpon," ujarnya.

Terdengar Ibunya menangis sesenggukan. "Pulang, Nak. Ayah sakit, tapi Ibu tidak bisa apa-apa," syara maminya terdengar gemetaran.

Ibrahim berdiri dari tempat duduknya. "Tunggu, Mi. Aku akan datang bersama ambulans, tenang, Mi."

Ayah Ibrahim memang mengidap penyakit kolestrol. Sebagai anak tunggal, Ibrahim merasa bertanggung jawab melindungi kedua orang tuanya. Ibrahim menghampiri tenaga medis lainnya yang bercengkrama di depan unit gawat darurat. Dia menjelaskan keadaan Ayahnya.

"Kami akan siapkan ambulans, dok." Ucap perawat lalu memberitahu sopir ambulan.

Ibrahim bersama kawan-kawannya menuju ke rumahnya yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Ambulan melaju mulus tanpa hambatan. Hanya menyita lima belas menit, ambulan tiba di depan rumah mewah orang tu Ibrahim.

"Mami mana, Bi?"

"Di dalam, Tuan."

Para tenaga medis lainnya membawa brankar dorong.

"Ibrahim," seru Dewi setelah melihat putranya nampak dibalik pintu.

Ibrahim langsung memeriksa denyut nadi Ayahnya. Pria bertumbuh gemuk itu hanya pingsan. Namun, tubuhnya kaku.

"Mami ikut, kita bawa ayah ke rumah sakit," kata Ibrahim.

Mobil ambulan melesat lagi kembali ke rumah sakit. Ibrahim terus memeriksa detak jantung ayahnya. Sementara Dewi masih sesenggukan.

"Tenanglah, Mi. Ayah akan sadar kembali, kok."

Dewi hanya mengangguk pelan. Hingga ambulan itu berhenti di depan pintu unit gawat darurat. Ibrahim yang juga turut langsung menangani ayahnya. Saat itu rombongan Ibrahim melewati Arum dan Welas yang hendak ingin ke kantin rumah sakit.

"Suster, itu pasien kenapa?" tanya Welas yang serba jngin tahu.

"Oh, itu orang tua dokter Ibrahim, ayahnya tidak sadarkan diri." Jawab suster lalu berlalu.

"Kasihan sekali. Tidak menjamin ya, sekalipun anak kita dokter, penyakit tetap menghampiri kita."

"Apa sih, Welas. Namanya juga sakit. Saya akan kesana nanti, tapi kita cari makan dulu," ketus Arum. Sepupunya itu memang kerapkali sulit menjaga omongannya.

Ibrahim berhasil menangani ayahnya. Pak Roni kembali sadar setelah satu jam tidak sadarkan diri. Alat-alat medis dipasang rapi di anggota tubuhnya. Roni sudah berada di ruang rawat VVIP.

"Ayah sudah bangun, berhentilah menangis, Mi."

Dewi mengusap air matanya. Ibrahim mengajak maminya duduk di sofa.

"Jika ayah meninggal. Mami tidak punya keluarga dekat lagi selain kamu."

"Jangan bicara begitu, Mi. Ayah akan sehat kembali."

Dewi kembali merenungi pembicaraan terakhir tadi bersama suaminya.

"Ibrahim, kami tadi membicarakan kamu. Masa depan kamu. Ayah ingin sekali melihat kamu menikah, kapan kamu mau menikah, itu yang diharapkan ayah," tanya Dewi mewakili suaminya.

Ibrahim menghela nafas. Walaupun ini pertanyaan yang sudah tidak asing di telinganya, tetapi selalu mengusik pendengarannya.

"Ibrahim akan menikah jika sudah menemukan perempuan yang pas."

"Tapi kapan? semenjak kamu gagal menikah Rehana, kamu itu--"

"Ck, sudahlah, Mi. Jangan bahas dia di depanku. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi!"

Emosi Ibrahim selalu terpancing bila mendengar nama mantan tunangannya di sebut-sebut. Ibrahim menaruh dendam terhadap Rehana. Gagal menikah karena pengkhianatan menghadirkan rasa sakit yang mendalam.

"Maaf, Ibra. Mami hanya ingin kamu segera menikah," ucap Dewi merasa bersalah.

"Iya, aku akan menikah. Tapi tidak sekarang. Calon Ibrahim masih masa pemulihan, dia sedang sakit karena luka."

Mendengar penuturan putranya, Dewi terkejut tak karuan.

"Benarkah? kamu sudah punya calon?!"