ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Pernikahan Tidak di Inginkan
Sehari setelah ultimatum maut Pak Syaiful, Farel duduk di ruang tamu dengan wajah masam. Jas hitam yang ia kenakan kurang pas, sebuah tanda jelas bahwa ini bukan miliknya, tapi peninggalan kakak kembarnya. Di tangannya, dia memegang dasi dengan ekspresi seperti memegang ular berbisa.
“Apa gue bener-bener harus pake ini? Yena bakal tau gue cuma cosplay jadi Faris,” gumamnya, memandang Ibu yang sibuk membenarkan kerah bajunya.
“Farel, berhenti mengeluh,” Ibu menjawab dengan nada tenang, tapi matanya penuh peringatan. “Hari ini kamu harus terlihat seperti pria dewasa. Setidaknya sekali dalam hidupmu.”
“Dewasa?” Farel tertawa kecil, getir. “Bu, gue ini paket gagal. Kalau Yena sampai tau gue ini cuma pengganti, dia pasti bakal kabur sambil nangis. Dan gue sih, nggak bakal nyalahin dia.”
“Farel.” Suara Pak Syaiful terdengar dari belakang. Ia berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar yang lebih menyeramkan dari teriakan.
“Pakai dasinya. Sekarang.”
Farel mendengus, tapi akhirnya patuh. Dia melilitkan dasi itu dengan asal-asalan, dan hasilnya membuat simpul itu terlihat seperti tali yang siap untuk menggantung diri.
“Perfect,” katanya, melangkah ke cermin dan mengangkat alis. “Liat nih, pria paling sial tahun ini.”
Di ruang akad, suasana berubah jadi lebih serius. Yena duduk di samping wali, wajahnya tenang meski matanya sesekali memandang ke arah Farel. Sementara itu, Farel sibuk mengatur napas seperti orang yang baru selesai maraton.
“Tenang, Farel. Tenang,” gumamnya pelan sambil mengusap wajah. Tapi di dalam kepalanya, seolah suara Faris terus terdengar: Lu nggak bakal bisa, Farel. Lu bakal nge-rusak semuanya.
“Aduh, Faris!” Farel mendesis pelan. “Lu tuh bener-bener egois sampai mati.”
“Farel,” panggil Pak Syaiful. “Sudah waktunya.”
Farel menoleh dengan tatapan panik, seperti anak kecil yang baru saja ketahuan mencuri permen. Dia melangkah ke depan, duduk di samping Yena, dan menatapnya sekilas.
Yena tersenyum tipis, seolah berusaha menenangkan Farel. Tapi bukannya merasa lebih baik, Farel malah makin stres.
Ya Tuhan, dia lebih dewasa dari gue. Kok bisa gue yang disuruh nikah'in dia?
Saat penghulu mulai membacakan doa, Farel memejamkan mata dan menarik napas panjang. Tapi begitu tiba waktunya mengucap ijab kabul, tangannya gemetar.
“A-aku...” Dia tersendat. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sesuatu untuk menyelamatkannya dari situasi ini. Dan kemudian, seperti mendapat ide brilian, dia tiba-tiba berdiri.
“Saya rasa ini salah!”
Semua orang terdiam. Yena menatapnya bingung. Pak Syaiful memijat pelipis.
“Salah apa, Faris?” tanya penghulu dengan sabar.
“Salah orang!” Farel mengangkat tangan dengan dramatis. “Saya ini Farel, bukan Faris! Ini salah teknis, Pak. Yena harusnya nikah sama Faris. Tapi Faris udah... ya, udah nggak ada, kan?” Dia melirik ke foto kakaknya di sudut ruangan. “Jadi, ya... kita batalin aja, gimana?”
Pak Syaiful berdiri, wajahnya merah padam.
“Farel!”
“Eh, Yah, gue cuma bilang fakta. Lagian, Faris pasti setuju, kok. Kalau dia ada di sini, gue yakin dia bakal bilang, ‘Farel, gue nggak nyuruh lu nikah kok, bro. Santai aja.’ Gitu, kan?”
Penghulu berdehem, mencoba memecah keheningan yang canggung. “Jadi Anda, Farel? Yasudah, yang penting sekarang adalah niat. Jika Anda sudah siap...”
“Saya nggak siap, Pak!” Farel langsung memotong. “Tapi, Yena, kalau kamu mau mundur, aku dukung seratus persen. Gue ngerti banget gimana rasanya dipaksa.”
Yena akhirnya bicara, suaranya pelan tapi tegas.
“Aku sudah tau kamu Farel dan bukan Faris-” ucap Yena terpotong, wajahnya tertunduk, “Tapi saya nggak akan mundur. Kamu?”
Mendengar itu, Farel terkejut dan spontan berdiri dan menarik tangan Yena, "Bentar ya, kita skorsing dulu akadnya," ucap Farel kepada penghulu, dan beberapa orang yang menjadi saksi.
Sedangkan ayahnya, Pak Syaiful dan Istrinya saling pandang, mereka berdua hanya menggelengkan kepala, tidak tahu lagi.
Di kamar tamu, yang menjadi tempat ia bersiap sebelumnya, dia membawa Yena di sana. Farel menutup pintu keras, membuat orang-orang tersontak kaget, lagi-lagi ayahnya hanya bisa menepuk jidat.
"Yena, jadi lo sudah tau?" tanya Farel, wajahnya telihat kebingungan, dan tak habis pikir.
Yena mengangguk, membuat Farel juga ikut frustasi. Jadi, ternyata ini semua sudah direncanakan? Farel menghela nafas panjang, memegang kedua pundak Yena.
"Kita, batalin aja, gimana?" ucap Farel mantap, menatap mata Yena.
"Farel. Kita tidak bisa lakuin itu, ini sudah amanah keluarga kita." ujar Yena, keningnya berkerut.
"Sudahlah, ayo, Farel. Lo harus siap." lanjut Yena pelan.
Farel terdiam dan mencoba menerima, walaupun hatinya sebetulnya masih penuh tanya. Siapa yang siap dengan pernikahan mendadak ini? Apalagi, ini bukan pernikahan yang diinginkan. Ini bukan tentang cinta atau kebahagiaan. Ini tentang memenuhi amanah yang diwariskan oleh almarhum kakek mereka.
"Siap apa, Yen?" Farel nyengir, berusaha mencairkan suasana. "Gue nggak siap. Gue nggak siap banget. Apalagi nih, gue masih bingung, harus ngapain setelah ini. Ijab kabul, akad nikah, terus gimana? Gue cuma bisa bayangin gue jadi suami... tapi suami yang kayak... ya kayak aktor sinetron yang dikawin'in buat jalan cerita yang tiba-tiba."
Yena menatapnya, tak terpengaruh dengan guyonannya. “Farel, ini bukan sinetron. Ini hidup kita. Kalau lo bilang nggak siap, kita bisa jalanin pelan-pelan. Gak perlu buru-buru, yang penting kita coba.”
Farel menatap Yena sekilas. “Ya iya sih, ya. Tapi coba deh bayangin, Yen. Gimana rasanya nikah sama orang yang... nggak jelas kayak gue? Ini bukan hal yang kita pilih, kan?”
Yena diam sejenak, lalu mengangguk. “Tapi kita bisa coba, kan? Gak ada yang bilang ini bakal gampang. Gue juga gak minta jadi istri yang sempurna buat lo. Yang penting kita jalanin aja.”
Mendengar itu, Farel merasa sedikit lega. Yena berbicara dengan begitu tenang, seakan-akan ia sudah menerima takdir ini jauh lebih dulu. Sementara Farel? Farel malah merasa seperti baru ditarik ke dalam peran yang sama sekali dia nggak tahu skripnya.
"Ya udah deh," ucapnya, menyerah pada keadaan.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya kembali dan duduk di tempatnya. Penghulu mulai membuka kitab, dan Farel bisa merasakan ketegangan di udara. Semua mata tertuju padanya, menunggu dia untuk mengucapkan ijab kabul, kata-kata yang akan mengikatnya seumur hidup pada seorang gadis yang, jujur saja, masih terasa seperti orang asing.
“Sa... saya Farel Aldebaran, menerima nikah dengan Yena Syakila Binti Husen Gunawan... ,” katanya terbata-bata.
Dengan kata itu, rasanya dunia seperti berhenti sejenak. Farel merasa ada berat yang menggelayuti dadanya, seolah-olah pernyataan itu bukan sekadar kata-kata, tapi sebuah keputusan besar yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Yena hanya mengangguk, bibirnya tersenyum tipis, namun tidak ada kegembiraan berlebihan.
"Alhamdulillah," kata penghulu, memimpin doa yang akan mengakhiri proses sakral ini.
Farel masih terdiam, tidak bisa menghilangkan perasaan seperti baru saja melangkah ke dunia yang sama sekali berbeda. Yena meraih tangannya dengan lembut, dan walau Farel merasa seluruh tubuhnya beku, dia berusaha menenangkan diri.
“Gue... bisa nggak sih, lari dari sini?” Farel berbisik pada dirinya sendiri.
Tapi Yena, dengan senyum yang tak bisa dia bohongi, menatapnya. "Gak usah lari, Farel. Ini bukan tentang melarikan diri. Ini tentang jadi dewasa, jadi seseorang yang bisa dipercaya."
Farel menelan ludah. "Dewasa... Dewasa? Ini gue kayak... lagi main tebak-tebakan hidup." balas Farel dengan suara berbisik.
Yena hanya tersenyum, dan mencium punggung tangan Farel, yang membuatnya sontak kaget dan hampir menarik tangannya kembali, tapi Yena mencoba menahan dan mecium pelan punggung tangan pria kocak yang sudah menjadi suaminya itu.