Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Malam itu, di ruang kerja yang remang dan sarat aroma wibawa, Do Hyun menatap dokumen yang baru saja ditandatanganinya. Angka 35 juta dolar AS tertulis jelas di bagian akhir kontrak—sebuah kesepakatan besar yang dapat mengubah arah permainan bisnisnya. Wajahnya tetap tenang, tetapi sorot matanya menyiratkan kepuasan yang sulit disembunyikan.
Di sampingnya, Wang He berdiri dengan sikap hormat, tangan terlipat di depan, matanya tajam memperhatikan setiap gerak-gerik tuannya.
"Ini berkasnya. Berikan pada sopir kita agar dia segera mengantarnya malam ini juga," ujar Do Hyun, suaranya tenang namun penuh otoritas.
"Baik, Tuan," jawab Wang He, sedikit membungkuk.
Namun, Do Hyun tetap menatapnya. "Lalu kenapa kau masih berdiri di sana?"
Wang He tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, "Maafkan saya, Tuan. Saya baru mendapatkan telepon dari pengurus di asrama. Tuan muda tertangkap membawa alkohol di dalam kamar asramanya... dan juga ditemukan seorang wanita malam bersamanya."
Dentuman keras menggema di ruangan saat Do Hyun menggebrak meja. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan matanya berkilat tajam. Wang He tetap diam, tidak berani bergerak sedikit pun.
"Kenapa anak itu tak pernah mau mendengarkan perintahku?! Apa dia tidak sadar bahwa perbuatannya bukan hanya mempermalukanku, tapi juga akan menghancurkan masa depannya!" suara Do Hyun menggema, penuh kemarahan yang tak lagi dapat ia bendung.
Wang He menundukkan kepala, tak berani menatap langsung. Ia sangat memahami gejolak yang kini membara dalam diri tuannya.
Do Hyun menghela napas panjang, lalu jatuh terduduk di kursinya. Kedua tangannya meremas rambutnya, seolah berharap kemarahannya bisa luruh bersamaan dengan helaan napasnya. Ruangan yang tadinya penuh gejolak kini kembali hening, hanya diisi oleh detak jam yang samar terdengar.
"Aku telah berhasil mengurus semua usahaku dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencanaku... namun entah kenapa, aku selalu gagal jika tentang diri nya ..." gumamnya lirih.
Pandangan matanya tertuju pada sebuah foto di mejanya. Tangannya mengusap bingkai itu pelan, sebelum akhirnya ia bersuara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dingin.
"Wang He."
"Ya, Tuan."
"Kirim berapa pun yang mereka minta untuk membersihkan kasus ini. Pastikan mereka menutup mulut, dan cari tahu siapa saja yang akan menerima uang itu."
"Baik, Tuan. Kalau begitu, saya pergi dulu untuk menyelesaikan ini."
Wang He membungkuk hormat sebelum pergi, langkahnya menghilang di balik pintu yang tertutup perlahan. Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Do Hyun bersandar di kursinya, menatap kosong ke langit-langit. Namun, matanya kembali beralih pada foto itu, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku tahu kau tidak akan pernah bisa sepenuhnya berada dalam kendaliku..."
Ia tersenyum tipis, penuh arti.
"Karena itu, aku sudah mempersiapkan rencana cadanganku."
Sementara di paviliun, Kim Woon duduk di bangku kayu sambil membalut luka di tangannya. Jemarinya bergerak hati-hati, mengikat perban putih di sekitar luka gores yang masih berwarna merah. Ia menghela napas perlahan, berusaha menahan perih yang menyengat.

Dari balik pintu rumah, Yeon Ji memperhatikan ayahnya dengan raut cemas. Gadis kecil itu menatap ragu, ingin mendekat tetapi takut mengganggu. Setelah beberapa saat, ia mengumpulkan keberanian dan melangkah pelan menuju kim woon. Langkah kakinya begitu ringan hingga nyaris tak terdengar di lantai kayu.
"Ayah..." panggil Yeon Ji dengan suara lirih.
Kim Woon menoleh, tatapannya lembut namun lelah. "Ada apa, Nak?"
Yeon Ji meremas ujung bajunya, menunduk sebelum akhirnya berkata, "Ayah, tolong maafkan aku karena tidak mendengarkanmu. Tolong jangan marah lagi... Aku sungguh menyesal."
Kim Woon terdiam sejenak, menatap putrinya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Tapi kenapa kau menyesal, Nak? Bukankah ayah telah melakukan hal-hal yang buruk padamu?"
Yeon Ji menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Ibu guru bilang, jika orang tua melakukan sesuatu yang tidak kita sukai, mungkin itu karena mereka tahu sesuatu yang tidak kita pahami. Kita hanya belum mengerti, karena pengetahuan kita masih terbatas."

Ucapan polos itu membuat dada Kim Woon terasa sesak. Ia menatap putrinya, melihat ketulusan di dalam matanya yang bening. Air mata akhirnya jatuh di pipi Yeon Ji, tetapi ia tetap berdiri di tempatnya, tak berani melangkah lebih dekat.
Melihat itu, Kim Woon mengulurkan tangannya dan menarik Yeon Ji ke dalam pelukannya. Dekapan itu hangat, penuh ketulusan, seolah ingin menyerap setiap kesedihan yang gadis kecil itu rasakan.

"Jangan menangis, Ayah tidak terluka karena kamu," ucap Kim Woon sambil mengelus lembut punggung putrinya. "Ini tadi karena Ayah terburu-buru ingin memasak, jadinya begini."
Yeon Ji menarik diri sedikit dari pelukan ayahnya, menatap luka di tangan itu dengan mata penuh perhatian. "Kalau begitu, kenapa Ayah tidak memanggilku? Aku kan bisa membantu Ayah."
Kim Woon tersenyum tipis. "Memangnya Yeon Ji bisa memasak?"
Yeon Ji mengangguk cepat. "Tidak bisa, tapi kan ada Ayah yang bisa mengajari aku di sini!"
Jawaban polos itu membuat Kim Woon tertawa, suara yang sudah lama tak terdengar di rumah mereka. Dalam hati, ia tahu bahwa putrinya jauh lebih berharga dari segala hal yang pernah ia genggam. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, beban di dadanya terasa sedikit lebih ringan.

kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...