NovelToon NovelToon
Rawon Kesukaan Mas Kai

Rawon Kesukaan Mas Kai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Beda Usia / Keluarga / Karir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:933
Nilai: 5
Nama Author: Bastiankers

Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25

Pagi itu, setelah menghabiskan malam bersama, dengan berpeluh-peluh keringat. Kaivan segera membersihkan diri di kamar mandi. Di waktu sepagi ini, bahkan jam dinding masih menunjukkan pukul lima pagi. Kaivan bisa mengulur waktu setidaknya menunggu sampai Shana terbangun. Menemaninya menikmati sarapan. 

Namun, Kaivan tidak mau terkena damprat dari atasannya. Jadi, dengan cepat, dia segera melangkah ke arah dapur untuk membuat sesuatu yang hangat. Setidaknya agar perutnya tidak kembung saat melintasi perjalanan panjang di waktu yang masih dingin ini.

Baru saja Kaivan menikmati secangkir teh hangat, ponselnya berdering. Dia hanya mencondongkan wajahnya untuk menatap benda persegi itu yang dia letakkan di atas meja. 

Nomor tidak dikenal

Meski nomor itu tidak mempunyai nama, namun melihat ujungnya saja Kaivan sudah hafal. Setelah memastikan Shana masih tertidur pulas di kamar, Kaivan menggeser panel hijau. “Halo?”

"Saya belum menemukan apapun."

Lama Kaivan berbincang dengan seseorang di seberang sana. Mereka bertukar informasi. Bertukar pikiran. Juga, mencari solusi terbaik. Sampai akhirnya sinar cerah di pagi hari masuk melalui celah-celah jendela. Dan Kaivan merutuki dirinya yang lamban. Dia seharusnya dari tadi sudah pergi bertolak ke Bogor. 

“Mas?” Suara Shana yang serak-serak basah itu baru saja menghampirinya dengan mata menyipit. Sepertinya dia baru bangun. “Lho? Aku kira kamu udah berangkat dari tadi.”

Kaivan menahan napas sejenak. Dia menyunggingkan senyum manisnya. Lalu, mengecup kening istrinya. “Ini mau berangkat kok,”ujarnya menjinjing tas kerjanya. “Aku berangkat!”

Langkah kaki Kaivan menjejak besar-besar, deru nafasnya pendek-pendek. Hatinya gelisah tak karuan ketika mengingat Shana yang menyipitkan matanya. Dia berharap, perempuan itu tidak akan mencurigai apapun. 

Sesaat setelah memasuki mobil, Kaivan menghembuskan nafas lega. Embusannya lepas berkali-kali dengan senyum tipis. Dia hanya bisa melakukan semuanya tanpa sepengetahuan Shana. Lagi pula, Shana tidak akan mencurigainya karena sekarang perempuan itu sibuk di outlet Mawari. 

“Kamu nggak perlu tahu, Shan,”ujarnya bermonolog. Tangannya meremas kemudi sekuat mungkin, “Untuk saat ini, kamu nggak perlu tahu.”

...***...

  Shana tiba di outlet Mawari pada pukul sepuluh pagi. Langkahnya terayun menelusuri pelataran yang rupanya sudah agak ramai. Di sana ada Lila, yang sedang melayani beberapa orang. Di tangannya terdapat bunga Lavender. Saat melihat kedatangan Shana, Lila mengangguk ramah dengan senyum sopannya, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

Tangan Shana terulur membuka pintu kaca, didorongnya, dan dia berpapasan dengan Nana. “Eh, Mbak? Ibu lagi nungguin Mbak tuh,”gumamnya ramah sambil mengedipkan dagunya ke arah meja bundar di belakang.

Shana mengangguk. Sesaat selepas kepergian Nana, Shana menghampiri ibunya. Dia duduk di salah satu stool samping ibunya yang tengah merapikan beberapa tangkai bunga. “Hai, Bu! Aku pikir ibu nggak akan datang,”ucapnya setelah menyalami tangan ibunya.

“Iya nih, pas ingat kamu ada di sini tuh bawaannya pengeeeen datang ke sini terus. Kenapa, ya?”jawabnya. Sesaat mereka berdua terkekeh bersama. 

Suasana hangat ini akan Shana nikmati sampai setidaknya Kaivan selesai dengan proyeknya. Tangan Shana terulur, dia mengambil beberapa tangkai dan ikut merapikannya. “Ibu … sudah menerima Kaivan?”

Sesaat keheningan melanda, Shana belum menoleh. Dia hanya tersenyum kikuk dengan nafas pelan. Sebenarnya tanpa dijawab pun, Shana sudah bisa menebaknya.

“Apa yang kamu harapkan dari mulut ibu? Sebuah persetujuan?” Ibu menghela nafas gusar. “Meski ibu sangat berterima kasih pada Kaivan karena berhasil membujuk kamu. Tapi, ibu belum bisa menerimanya.”

Shana mengangguk. Dia bukannya menyetujui jawaban ibunya, melainkan tidak ingin melanjutkan obrolan yang rupanya membawa hawa panas di pagi hari ini.

“Entahlah, Shana. Mungkin … ibu belum bisa menerima dia. Atau … mungkin juga ibu belum bisa menerima kenyataan bahwa putri ibu satu-satunya sudah bukan milik ibu lagi,”lanjutnya.

Shana cepat menoleh. Tangkai dan gunting yang berada di tangannya terlepas begitu saja. Pandangannya tiba-tiba kabur saat melihat ibunya mengusap sisi wajahnya yang basah. Shana melepaskan nafasnya. “Maaf kan aku, Bu.”

“Nggak apa-apa kok. Semuanya sudah terjadi. Nggak apa-apa. Mungkin ibu hanya perlu … waktu?”balas ibunya dengan menepuk-nepuk pundak putrinya.

Shana tidak membalas ucapannya atau sekedar mengangguk. Selepas kepergian ibunya, Shana masih memikirkan ucapan ibu. Dia tidak menyangka ternyata ibunya masih tidak rela untuk melepasnya. Apakah selama ini ibunya menyayangi Shana? Terlepas dari semua masalah yang menimpa?

Kehadiran Nana memecah keheningan Shana yang mulai terbuai lamunan. “Mbak, ada orang yang mau ketemu langsung,”ujarnya seraya menunjuk pengunjung yang tengah berdiri di pelataran.

“Baik, saya kesana sekarang,”balas Shana. 

Kakinya mulai terayun keluar dari gedung menuju pelataran. Untungnya Shana tidak memakai sendal berhak tinggi, dia cukup menikmati flatshoes nya yang baru dibelikan Kaivan. Hadiah setelah mengetahui Shana menerima tawaran ibunya. 

Langkah Shana terhenti sesaat sebelum mendekat ke arah pengunjung yang baru saja dibilang Nana. Matanya memicing.

Seseorang itu sedang memunggunginya. Dari belakang begini, Shana seperti mengenalinya. Ya … meskipun mereka baru satu—dua kali bertemu, Shana bisa menebak siapa yang sedang menunggunya. 

Bisa saja dia memutar balik badannya dan melangkah ke arah gedung outlet nya. Namun, sedetik sebelum dia hendak memutar badan. Seseorang di sana terlebih dulu membalik badan, dan, “Hai! Akhirnya kita ketemu lagi.”

Langkah kaki perempuan itu mendekati Shana dengan senyumnya. Setiap kali dia tersenyum seperti itu, rasanya Shana sedang diejek. Sehingga sekarang tangan Shana hanya terkepal di sudut-sudut dress nya. “Ada yang bisa saya bantu?” Tentu saja Shana ingin sekali perempuan lugu nan mengerikan itu membatalkan rencananya. 

“Wah … sikap profesional kamu patut aku acungi jempol,” Dia terkekeh, “Padahal aku kira tadi kamu mau langsung lempar pot bunga ke muka ku. Seperti waktu itu,”lanjutnya.

Shana berdecak. Dia memalingkan wajah ke arah lain, tampak muak dengan obrolan memuakkan yang dibawa Raisa. “Katakan. Apa yang bisa saya bantu? Kalau tidak ada, maka saya harus kembali pada pekerjaan saya. Saya tidak suka membuang-buang waktu dan energi saya hanya untuk meladeni omong kosong kamu.”

Raisa tertawa sambil menepuk tangannya. Dia benar-benar hanya memancing emosi Shana. Jadi, tanpa menunggu waktu lama lagi, Shana segera membalik badan. Langkahnya mulai terayun.

Satu langkah. 

Dua langkah.

“Aku hamil.”

Langkah kaki Shana terhenti. Dia membalik badan menghadap Raisa yang sedang menatapnya lurus-lurus. Kening Shana mengernyit dengan langkah kaki yang mulai bergerak mendekati Raisa lagi. “Omong kosong! Pulang sana!” Shana ingin sekali mendorong perempuan itu hingga ke depan gerbang. 

Pandangannya bertambah nyalang saat Raisa tertawa-tawa. Memangnya Shana seorang badut yang setiap perkataannya harus ditertawakan? Shana sempat berpikir bahwa perempuan di hadapannya ini tengah mengalami depresi. 

“Santai dong …,”ucapnya. Dia berdehem sebentar. “Perusahaan sedang merayakan ulang tahun untuk Papaku. Jadi, aku yang harus turun tangan untuk menyediakan dekorasi yang diminta. Sayangnya … beliau memiliki alergi terhadap serbuk sari. Jadi, aku mau memesan langsung sebuah bunga mungkin … tulip? Tapi, tanpa serbuk sari.”

Huh! Seharusnya dia mengatakannya sejak awal. Bukannya memancing emosi Shana terus. Shana memejamkan matanya rapat, lalu melepas nafas kasar. “Berapa yang kamu inginkan?”

“Semuanya ada di sini,”jawab Raisa, lalu memberikan notes nya. Setelah Shana menerimanya, Raisa berjalan-jalan menelusuri area pelataran demi melihat beraneka ragam bunga yang ditampilkan di bawah naungan tenda transparan. “Wah … bunga-bunganya cantik, ya?”

Shana memutar bola matanya jengah terhadap sikap Raisa. Kenapa sikapnya tiba-tiba berubah? Atau jangan-jangan dia punya niat lain? Shana hanya mematung, menatap gerak-gerik Raisa yang menyentuh beberapa bunga dengan raut wajah aneh. Seperti ada yang dia sembunyikan. 

1
kanaikocho
Alur yang brilian
Bastiankers
terima kasih sudah berkunjung
Kiran Kiran
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!