Berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus tak membuat Mario Ericsson Navio kewalahan. Istrinya pergi meninggalkan dirinya dengan bayi yang baru saja dilahirkan. Bayi mereka ditinggalkan sendirian di ruang rawat istrinya hingga membuat putrinya yang baru lahir mengalami kesulitan bernapas karena alergi dingin.
Tidak ada tabungan, tidak ada pilihan lain, Mario memutuskan pilihannya dengan menjual rumah tempat tinggal dia dan istrinya, lalu menggunakan uang hasil penjualan untuk memulai kehidupan baru bersama putri semata wayang dan kedua orang tuanya.
Tak disangka, perjalanannya dalam mengasuh putri semata wayangnya membuat Mario bertemu dengan Marsha, wanita yang memilih keluar dari rumah karena dipaksa menikah oleh papinya.
“ Putrimu sangat cantik, rugi sekali pabriknya menghilang tanpa jejak. Limited edition ini,” - Marsha.
“Kamu mau jadi pengganti pabrik yang hilang?”
Cinta tak terduga ! Jangan lupa mampir !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mama Cu
Di kantor, Mario tengah pusing menatap tumpukan kertas di atas mejanya. Sesekali melirik ponselnya. Biasanya setiap jam dua, ibunya akan menghubunginya karena putrinya yang rewel jika sudah memasuki waktu menjelang sore.
Namun sudah sejak satu jam, dia tak mendapatkan telepon dari ibunya. Kemana mereka ? Pikirnya. Sementara di rumah, Rea di buat kesal dengan tingkah ketiga bocah yang memberantakan teras depan. Dimana plastik sempol, cilor dan batagor terletak berserakan di atas lantai.
“Astagaaaaa…. Di samping rumah sudah ada tempat sampah masih saja kalian buang sembarangan !” seru Rea yang memijat keningnya pusing.
“Hehe mama cu.” sahut Maureen nyengir.
“Jangan nyengir ! Buang sampahnya !” ucap Rea tegas.
Bukannya cepat membuang sampah ketiganya tampak saling pandang. “Buruuuu !! Nanti semut, kalian mau digigit semut?”.
“ Nda/nggak mauuu !!”
“Ya sudah bersihkan dan buang ke tempatnya !”.
“Baik mama/bibi !”
Barra, Glady dan Maureen segera membuang bungkusan sisa jajan mereka. Setelah selesai, ketiganya mencuci tangan di kran air.
“Ladyyyy, pulang ! Sudah sore, mandi !” teriak Jena yang meminta putrinya untuk pulang.
“Tuh, mami kamu sudah teriak suruh pulang. Sana, mandi ! Abang sama dedek juga mandi,”.
Glady mengangguk patuh,” Iya mami, Lady pulang !!! Dedek Iren, kakak Lady pulang dulu ya. Besok kita main lagi !” ucap Glady kepada Maureen yang tak rela melihat Glady pulang.
“Sudah besokkan, kakak Lady main lagi sama dedek. Dedek jangan nangis ya,”
“Benel ya, kakak Lady main lagi cama dedek. Nda boleh bohong loh. Nanti dedek nambekkkkk !!”
“Iya beneren kok. Ya sudah kakak pulang dulu ya, dedek mandi ya. Bibi Lady pulang ya “
“Iya sayang, hati-hati. Liat kiri kanan !” seru Rea saat Glady berlari menuju rumah orang tuanya.
“Cekalang dedek mau mandi, Mama Cu. Bial nanti ayah pulang dedek cudah wangi !” seru Maureen langsung menggandeng tangan Rea.
Ya, Maureen memanggil Rea dengan panggilan Mama Cu sementara suaminya dipanggil Papa Cu. Yang artinya Mama Cu, mama susu. Kenapa manggil Roy dengan sebutan Papa Cu ? Padahal Roy tidak menyusui Maureen. Memang, tapi panggilan itu diminta Roy agar sama dengan istrinya ya walaupun dia terkadang sesekali membantu istrinya memberikan asi yang sudah dipanaskan dan memberikan dot agar Maureen bisa menyusu kala Maureen menginap di rumah mereka.
“Okey, mama Cu anter ke rumah ya. Kayaknya nenek udah masak air buat Dedek mandi !” sebelum mengantar Maureen ke rumah. Rea terlebih dulu meminta putranya untuk mandi sore sebelum suaminya pulang dari kantor.
Roy, sekarang bekerja sebagai karyawan di perusahaan Mario. Awalnya Mario meminta Roy bekerja sebagai manager keuangan perusahaan karena Roy pintar dalam mengelola keuangan. Namun Roy memilih untuk menjadi karyawan biasa hanya agar tidak ada yang iri dengan dirinya yang tiba-tiba menjadi manager keuangan.
Karyawan disana tidak tahu jika, Mario adalah pemilik perusahaan itu. Mereka hanya tahu Mario utusan perusahaan dan Asisten sebagai orang kepercayaan pemilik perusahaan.
“Roy, ayo pulang !” ajak Mario pelan.
“Ayo, kamu yang bawa motor ya. Aku letih kali !” ucap Mario yang kepalanya sedikit pusing lantaran mengerjakan tumpukan kertas di atas mejanya.
“Haha capek ya jadi bos, tapi uang ngalir terus !” ledek Roy. Keduanya tampak seperti keluarga kandung. Padahal hanya tetangga yang tak sengaja menjadi keluarga persusuan putri Mario.
Sementara di loker, entah mengapa Marsha merasa aneh dengan lokernya beberapa hari ini. Setiap sore lokernya dipenuhi tanah dan kain putih berisikan fotonya yang tengah sibuk mengepel.
“Siapa yang lakuin ini sama kamu, Marsha ?” tanya Melati heran.
“Kamu nggak diguna-gunakan ?” kata Melati lagi. Marsha menggelengkan kepalanya.
“Kalau nggak, lalu ini maksudnya apa ? Kamu diteror ?” tanya Melati heran. Lagi-lagi Marsha menggelengkan kepalanya. Dia bingung dengan apa yang terjadi.
“Aku nggak ngerasa apa-apa, Mel. Cuma aneh aja sih kenapa gitu,”.
“Yakin, Cha. Ini bahaya loh buat keselamatan kamu !”. Marsha terdiam. Dia tak merasakan ada yang aneh selama dia mendapatkan benda tersebut.
“ Sudahlah ayo kita pulang !” putus Marsha. Dia sudah lelah dengan pekerjaannya dan dia juga tidak mau memikirkan hal yang membuat tubuhnya makin lelah dengan pikirannya sendiri.
Melati mengangguk saja. Keduanya berjalan menuju parkiran. Langit senja terlihat sangat indah membuat keduanya mengulas senyum manis. Sesekali keduanya menyapa satpam yang bertugas.
Keramahan keduanya membuat siapa saja ingin berteman bahkan karyawan disana ada yang mencuri pandang Marsha. Seperti biasa Melati ikut dengan Marsha karena motornya dipakai abangnya untuk bekerja.
Selama perjalanan keduanya bercerita ria, kadang bernyanyi seolah keduanya tidak ada beban. Tanpa Marsha ketahui seorang pria paruh baya menatapnya dengan tatapan rindu.
“Sudah setengah tahun, dia begitu tidak mencariku. Apa aku seorang papi yang tak berguna untuk putriku, Noel ?”
Noel yang disebut namanya terdiam menatap anak majikannya yang tampak sangat bahagia.
“Noel, jika kamu memiliki anak perempuan yang dulunya sangat manja denganmu dan sekarang dia memilih hidup mandiri tanpa fasilitas mewah darimu. Apa kamu merasa tidak berguna sebagai seorang ayah ?” tanya Gilbert kepada asistennya.
“Maaf tuan, bagi saya bukan anda yang tidak berguna. Tapi nona Marsha hanya ingin tuan tahu bahwa kehidupan sederhana sangat menyenangkan daripada bergelimang harta tapi di dirinya tidak ada kebahagiaan..”.
“Tapi, aku tak ingin putriku bekerja seperti ini Noel..”
“Kedua putri tuan memilih kehidupan sederhana tanpa harta tuan, sementara istri kedua dan anak tiri tuan lebih memilih hidup bergelimang harta. Apakah tuan tahu artinya ?” tanya Noel serius.
“Maksudmu ?” tanya Gilbert bingung.
Noel menghela nafasnya. “ Tuan, kapan tuan mengakhiri semuanya ? Apa tuan tidak kangen dengan kedua putri tuan ?” tanya Noel mengalihkan pembicaraan mereka.
Gilbert terdiam. Dia memejamkan kedua matanya. Ingatannya kembali mengulang peristiwa sepuluh tahun yang lalu tepat dimana istrinya meninggal akibat kecelakaan bersama putri sulungnya.
Saat itu, Gilbert sedang melakukan meeting dengan klien di sebuah restoran tak jauh dari sekolah putrinya, Marsha. Niatnya setelah selesai meeting, Gilbert akan menjemput Marsha dan menyusul istri dan putri sulung mereka ke rumah mertuanya.
FLASHBACK
Sesampainya disana, Gilbert terkejut melihat istrinya sudah dalam keadaan bersimbah darah di ujung tangga. Tidak ada siapapun disana, mertuanya serta kakak ipar istrinya entah dimana dan anehnya beberapa maid tidak terlihat.
Satu-satunya orang disana adalah Amelia putri sulungnya yang menangis di sebelah istrinya.
“Sayang !!”
“Mami !!”
Gilbert berusaha membangunkan istrinya. Sebelumnya Amelia sudah menghubungi ambulance. Dia yang syok menatap darah yang mengalir di kepala ibunya.
“Amel, apa yang terjadi dengan mamimu !!”
Amelia menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Ghea. Tiba-tiba saja maminya sudah tergeletak bersimbah darah di ujung tangga.
Ambulance datang, Gilbert segera mengikuti petugas ambulance. Dia meminta Amelia untuk menghubungi oma dan opanya, Marsha yang melihat Ghea menangis histeris bahkan seragam sekolahnya sudah bercampur dengan darah.
“Hubungi opa dan oma mu, suruh mereka susul papi ke rumah sakit !” ucapnya khawatir dan panik.
“Baik papi,”
“Marsha sayang, kamu sama kakak ya. Nanti kalian menyusul okey, papi pergi dulu !” seru Gilbert.
Marsha menggelengkan kepalanya. Dia merengek ingin ikut. “ Marsha ikut ! Marsha ikut !!” teriak Marsha memberontak.
“Jangan, kamu sama kakak !” seru Amelia memeluk tubuh adiknya yang memberontak.
“Apa yang terjadi ?” tanya seorang wanita paruh baya datang bersama anak sulungnya. Terlihat keduanya baru saja tiba berbelanja dengan seorang anak perempuan seumuran Marsha.
“Oma, mami ! Mami bersimbah darah. Sekarang papi sudah membawa mami ke rumah sakit terdekat !” seru Amelia panik.
“Apa ?!”