Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu Cerdas
Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa perceraian Selvira dan Arvin sudah sebulan berlalu. Selvira kini fokus menjalani hari-harinya dengan perusahaan dan juga untuk putrinya Vara.
Meski beberapa kali Arvin mencoba mendekatinya dan meminta maaf, tapi pria itu tidak pernah berhasil bertemu dengan Selvira berkat tuan Anggara dan juga Vara.
Di sisi lain, Selvira juga mulai didekati oleh Andrian dan Leonardo Vincent. Kedua pria itu sangat gencar mendekati wanita cantik itu.
Tuan Anggara juga sudah memulai mencari sekolah untuk cucunya, Vara.
Seperti pagi ini, matahari menyinari halaman rumah megah keluarga Prameswari. Burung-burung berkicau riang, seakan ingin menyambut hari baru.
Di dalam rumah, suasana sibuk. Selvira tengah menyiapkan perlengkapan untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah dasar yang terkenal elit di kota. Dia tak lagi memikirkan Arvin.
Di ruang makan, Tuan Prameswari duduk dengan wajah serius sambil menyeruput teh hangat, sedangkan Nyonya Ambar sibuk merapikan seragam kecil milik cucunya, Vara.
Namun, di tengah semua itu, bocah perempuan berusia tiga tahun yang menjadi pusat perhatian pagi itu justru duduk malas di kursi makan, memandang ke arah mereka dengan ekspresi ogah-ogahan.
Vara menghela napas. "Kenapa aku halus pelgi ke cekolah lagi? Vala cudah bilang, aku tidak butuh itu, kan?"
Selvira tersenyum sambil menata rambut putrinya. "Sayang, sekolah itu penting. Kamu harus berteman dengan anak-anak lain, belajar hal-hal baru, dan bersenang-senang."
Vara menatap ibunya dengan serius. "Mama, aku bica belajal lebih banyak di lumah. Teman? Aku tidak butuh teman. Dan coal belcenang-cenang, aku cudah punya komputelku," jawabnya.
Nyonya Ambar tertawa kecil. "Astaga, cucuku ini. Kamu terlalu pintar untuk bicara seperti itu di usia tiga tahun."
wanita paruh baya itu mengecup pipi sang cucu, membuat Vara semakin kesal.
Aku memang sudah pintar cok! teriak Vara frustasi.
Tuan Prameswari mengangkat alisnya. "Vara, Grandpa tahu kamu anak yang luar biasa. Tapi kita harus memberi kesempatan pada sekolah untuk membantumu berkembang lebih baik," jelasnya memberikan pengertian pada sang cucu.
Meskipun merasa ogah-ogahan, akhirnya Vara menurut. Dia mengenakan seragam kecilnya yang berwarna biru langit, lengkap dengan dasi mungil, meski wajahnya menunjukkan betapa tidak tertariknya dia.
Mobil keluarga melaju menuju sekolah elit yang sudah dipilih dengan cermat oleh Tuan Prameswari.
Sepanjang perjalanan, Vara memandangi pemandangan di luar jendela, sementara Selvira berusaha membangun semangat anaknya.
Selvira berusaha membujuk sang putri. "Vara, ini sekolah yang sangat bagus. Gurunya ramah, fasilitasnya lengkap, dan kamu akan bertemu banyak anak-anak hebat lainnya."
Vara mendengus pelan. "Anak-anak hebat lainnya? Mama, anak-anak ceucia aku bahkan tidak tahu cala membaca peta bintang," sahut Vara.
Nyonya Ambar tersenyum kecil. "Sayang, itu karena kamu istimewa. Tapi itu bukan alasan untuk meremehkan orang lain."
Tuan Prameswari tertawa kecil. "Anak ini memang terlalu pintar untuk dunia," ujarnya.
Ya iyalah! Aku kan sudah besar! ucap Vara dalam hati.
Mobil keluarga mereka berhenti di depan gerbang megah sebuah sekolah dasar elit. Bangunan besar dengan taman hijau yang tertata rapi terlihat begitu menjanjikan.
Selvira menggenggam tangan Vara dengan semangat, sementara Tuan Prameswari dan Nyonya Ambar mengikuti dari belakang.
Mereka disambut oleh kepala sekolah, seorang wanita paruh baya bernama Bu Eliza, yang tersenyum ramah.
"Selamat datang, keluarga Prameswari. Merupakan kehormatan bagi kami menerima kalian. Silakan masuk," ajak Bu Eliza ramah.
Selvira tersenyum ramah. "Terima kasih, Bu Eliza. Kami harap sekolah ini bisa menjadi tempat yang tepat untuk putri saya, Zylvara," ujarnya.
Bu Eliza mengajak mereka ke ruang khusus untuk wawancara dan tes penerimaan siswa baru.
Selama beberapa menit, Bu Eliza mengajukan pertanyaan sederhana kepada Vara, tetapi bocah itu menjawab dengan kecepatan dan keakuratan yang membuat sang kepala sekolah terkejut.
Bu Eliza membuka soal matematika sederhana. "Baik, Vara, bisa kamu selesaikan soal ini? Berapa hasil dari 12 tambah 15 dikurangi 7?" tanya Bu Eliza.
Vara mengangkat alis. "Itu tellalu mudah. Jawabannya 20," jawabnya polos.
Bu Eliza tersenyum. "Bagus. Sekarang, coba hitung berapa hasil 25 dikali 12?" tanya wanita paruh baya itu lagi.
Lah itu pertanyaan anak kecil oy! teriak Vara frustasi, tapi wajahnya tetap menampilkan senyum polos.
Vara menjawab tanpa ragu. "300."
Bu Eliza semakin terkejut, tetapi mencoba mempertahankan senyumnya. Ia kemudian memberikan soal logika yang lebih rumit, berharap ini bisa mengukur kemampuan bocah itu.
"Kalau begitu, Vara, jika sebuah kereta berangkat dari titik A ke titik B dengan kecepatan 60 km/jam dan memerlukan waktu dua jam, berapa jarak antara titik A dan titik B?" tanya Bu Eliza.
Vara menyeringai dalam hati. "Bu Elica, ini tellalu dacal. Jalaknya 120 km. Tapi saya pikil peltanyaan yang lebih penting adalah, apakah keletanya belhenti di tengah jalan untuk mengangkut penumpang? Karena itu bisa mengubah estimasi waktu peljalanan," jawab Vara polos.
Semua orang di ruangan itu terdiam. Bahkan Tuan Prameswari tersenyum bangga mendengar jawaban cucunya yang begitu cerdas dan kritis.
Setelah wawancara, Vara diberikan tes tertulis. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, bocah itu selesai mengerjakan seluruh soal. Bahkan, ia menuliskan beberapa koreksi pada soal yang menurutnya salah atau kurang jelas.
Bu Eliza membuka lembar jawaban Vara. "Tunggu sebentar ... ini ... luar biasa. Tapi ... kenapa ada catatan di sini?" tanyanya mengerutkan keningnya.
Vara dengan tenang menjawab, "Coalnya calah, Bu. Pada coal nomol 7, opci jawaban yang dibelikan tidak logis. Jadi caya menambahkan jawaban yang sehalusnya."
Bu Eliza membaca catatan itu dengan ekspresi campuran antara kagum dan bingung. Di satu sisi, ia menyadari betapa cerdasnya anak ini. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa kemampuan seperti ini akan sulit diakomodasi oleh kurikulum standar sekolah.
Bu Eliza menghela napas. "Keluarga Prameswari, saya harus jujur. Anak kalian sangat luar biasa, tapi ... sekolah kami tidak memiliki program yang bisa memenuhi kebutuhan intelektualnya. Saya khawatir dia akan bosan dan kehilangan minat belajar," jelas wanita paruh baya itu.
Selvira dengan nada kecewa menyahut, "Jadi, sekolah ini juga tidak bisa menerimanya?" tanyanya
Bu Eliza mengangguk pelan. "Saya sangat menyesal. Saya sarankan untuk mencari institusi yang dirancang khusus untuk anak-anak berbakat seperti Zylvara," jawabnya.
Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa berat. Selvira memandangi Vara melalui kaca spion, mencoba menyembunyikan kekecewaannya.
Sementara itu, Nyonya Ambar menghibur cucunya yang tampak tak terpengaruh oleh penolakan tersebut.
Vara menghela napas. "Aku cudah bilang, Mama. Aku tidak butuh cekolah," sahut Vara.
Selvira berusaha tersenyum. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, sayang."
Vara dengan nada lembut, memegang tangan sang ibu. "Mama, Vala tahu. Tapi mungkin yang telbaik untukku adalah belajal dengan cala yang belbeda. Vala tidak cocok dengan cekolah biaca," ujarnya dengan wajah sok dewasa.
Tuan Prameswari tertawa kecil. "Anak ini memang terlalu cerdas untuk dunia."
Nyonya Ambar tersenyum lembut. "Kita harus mencari alternatif lain. Mungkin program pendidikan khusus atau tutor pribadi."
"Kita akan cari yang terbaik untukmu, Nak. Mama janji," ujar Selvira
Meskipun tidak sesuai harapan, keluarga Prameswari tidak menyerah. Mereka mulai mencari program pendidikan khusus yang bisa membantu Vara berkembang.
Aku sudah bilang! Aku tidak masuk sekolah! ucap Vara dalam hati.