NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:565
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18

Benteng Amlapura berdiri megah, seolah menantang kegelapan dan kabut tebal yang menyelimuti dini hari yang dingin. Cahaya redup dari dalam benteng seolah menembus kabut, menciptakan siluet yang memancarkan kekuatan dan misteri. Angin dingin berhembus membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk, sehingga menambah kesan muram di sekitarnya.

Sekitar satu kilometer dari sana, Pasukan Monasphatika dan Pasukan Badung sedang bersembunyi di antara rumah-rumah terbengkalai yang sepi. Mereka terlihat sedang menunggu seseorang dengan napas tertahan, seolah waktu berhenti bergerak.

Di tengah kesunyian, Indra memandang benteng itu dengan kagum. Meski hanya terbuat dari campuran bambu, kayu dan batu, benteng itu tampak kokoh dan mengesankan. Ia hampir tak percaya bahwa penduduk Amlapura mampu membangunnya di tengah musim dingin yang kejam ini.

Setelah hampir 30 menit menunggu, akhirnya Luthfi, Chakra, dan Devi muncul dari balik kabut. Wajah mereka terlihat serius dengan napas yang tersengal.

“Bagaimana situasi di sana?” Tanya Indra dengan suara rendah dan tenang.

Luthfi menghela napas sebelum menjawab. “Di luar dugaan, penjagaan mereka ketat sekali. Aku rasa ini tidak akan berjalan dengan mudah.”

Kiara, yang berdiri di samping Indra, meliriknya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Apa yang harus kita lakukan, Indra?”

Indra terdiam sejenak dengan mata yang menatap jauh ke arah benteng. Ia menopang dagunya, seolah merancang siasat untuk mengatasi masalah yang mereka alami saat ini. Tiba-tiba, matanya menjadi berbinar saat melihat Alex yang berdiri di seberangnya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, seolah baru saja menemukan solusi brilian.

“Aku punya rencana!” Ujar Indra penuh semangat.

Alex, yang menangkap tatapan mata Indra, mengerutkan keningnya. “Perasaanku nggak enak, nih. Apa rencanamu?”

Indra terkekeh, lalu menunjuk ke arah gapura yang dijaga ketat. “Alex, kau akan menjadi umpan. Aku minta kau memacu kudamu ke arah gapura itu untuk memancing perhatian para penjaga. Tapi sebelum itu, kami dari Pasukan Monasphatika akan bergerak diam-diam dan bersembunyi di antara rumah-rumah di dekat gapura.”

Alex terlihat mencoba mencerna arahan Indra dengan raut wajah yang menunjukkan keraguan. Indra lalu melanjutkan penjelasannya. “Setelah mendapatkan sinyal untuk maju, maka kau harus memacu kudamu secepat mungkin ke arah gapura tersebut. Saat perhatian mereka teralihkan, kami akan menyerang mereka dari balik atap-atap rumah di sekitar sana. Tenang aja, kami pastikan mereka sudah mati sebelum bisa menyerangmu.”

Aryandra, yang mendengar rencana itu, maju mendekati Indra dengan wajah dipenuhi kekhawatiran. “Indra, ini terlalu berisiko. Alex bisa saja tertembak anak panah atau peluru sebelum sempat mendekat.”

Indra menatap Aryandra dengan tatapan tenang namun penuh tekad. “Tenang, Aryandra. Kami pastikan mereka tidak akan sempat menembak untuk menembak Alex. Percayalah, kami udah profesional di bidang ini.”

Ia meletakkan tangan di pundak Aryandra, mencoba untuk menenangkannya. “Tidak ada kemenangan yang bisa diraih tanpa mengambil risiko. Ingatlah itu.”

Aryandra menghela napas. Ia mengangguk pelan, meskipun matanya masih dipenuhi dengan keraguan. Akan tetapi, jika diingat-ingat lagi, Kelompok Monasphatika memang sudah profesional di urusan membunuh dalam diam.

...***...

Di sisi lain, para penjaga di gapura Benteng Amlapura terlihat lelah dan mengantuk setelah berjaga sepanjang malam. Biasanya, mereka akan berganti shift setiap enam jam dengan penjaga lain yang berada di pos dekat gapura. Namun kali ini, pergantian shiftnya agak terlambat, sehingga kelelahan terlihat jelas dari raut wajah mereka. Walau demikian, kesepuluh penjaga itu tetap berdiri tegak di depan gapura dengan memegang panah dan senapan.

“Hoahem… males banget ya, harus berjaga sampai pagi gini. Padahal nggak ada musuh sama sekali dari arah barat.” Keluh salah satu penjaga sambil menguap lebar, hingga matanya hampir terpejam.

“Iya, malesin banget.” Sahut rekannya dengan nada malas, sambil menyandarkan tubuhnya ke arah gapura.

Tiba-tiba, keheningan pagi itu pecah ketika mereka melihat siluet seorang penunggang kuda yang berbadan besar. Ia memacu kudanya dengan kecepatan penuh sambil membawa sebuah kapak besar, seolah ingin langsung menyerang mereka. Kabut yang menyelimuti jalan seakan terbelah karena diterjang oleh penunggang kuda itu.

Salah satu penjaga langsung terlihat panik. “Se-semuanya! Ada musuh mendekat! Siap-siap menembak!” Teriaknya dengan suara gemetar.

Kesepuluh penjaga itu lalu buru-buru mengisi amunisi dengan tangan yang gemetaran akibat serangan panik. Namun, sebelum sempat menembak, perhatian mereka teralihkan oleh kemunculan sekelompok orang berjubah hitam dari balik atap-atap rumah di sekitar gapura. Orang-orang itu muncul secara tiba-tiba, seperti bayangan yang keluar dari kegelapan. Tanpa ampun, mereka menembakkan puluhan peluru dan anak panah ke arah para penjaga itu.

Suara teriakan dan erangan seketika memenuhi udara. Beberapa penjaga terjatuh dan langsung tewas di tempat. Kebisingan itu berhasil membangunkan sepuluh penjaga lain yang sedang tertidur di pos. Mereka lalu bergegas keluar untuk memeriksa situasi. Namun nahas, sebelum bisa menyadari situasi sekitar, mereka sudah dibredel oleh puluhan tembakan peluru dan anak panah milik Pasukan Monasphatika.

Hanya tiga penjaga yang berhasil selamat, meski tubuh mereka terluka parah. Darah terlihat mengalir dari luka tembak di bahu dan pinggang mereka. Dengan napas terengah-engah dan rasa panik yang membara, mereka berusaha mencapai 2 ekor kuda yang terikat di istal sederhana di dekat pos. Tangan mereka gemetar saat mencoba melepaskan tali kekangnya.

Sayangnya, nasib tidak berpihak pada mereka. Tujuh orang berjubah hitam sudah berdiri di belakang dengan senapan membidik ke arah kepala tiga penjaga itu. Salah satu dari orang berjubah itu melangkah maju, lalu menyingkap tudungnya untuk memperlihatkan wajah yang tegas dan dingin. Dia adalah Indra, pemimpin Kelompok Monasphatika.

“Usaha yang bagus.” Ujar Indra dengan suara rendah yang mengintimidasi. “Tapi, aku tidak akan membiarkan siapapun lolos dari jeratanku lagi.”

Salah satu penjaga yang terluka mencoba memohon dengan suara parau dan penuh ketakutan. “Ak- Kami mohon—!” Dorr! Dorr! Dorr! Sebelum kalimatnya selesai, masing-masing kepala dari tiga penjaga tersebut sudah tertembus oleh timah panas.

...***...

Setelah pembantaian usai, Indra kembali ke tempat Aryandra dengan membawa mayat-mayat penjaga gapura. Tubuh mereka diseret dengan kasar, meninggalkan jejak darah di aspal yang beku. Aryandra, yang menyaksikan pemandangan itu, merasa dadanya sesak. Wajahnya yang berkerut mencerminkan ketidaksenangan yang mendalam.

Berbeda dengan Indra, Aryandra memiliki prinsip yang kuat untuk sebisa mungkin tidak membunuh orang lain, meskipun dalam situasi perang. Baginya, menangkap musuh dan menjadikan mereka tawanan adalah jalan yang lebih manusiawi. Ketika situasi sudah memungkinkan, tawanan-tawanan itu akan dibebaskan kembali. Itulah kode etik yang selalu ia pegang teguh selama ini.

Dengan langkah berat, Aryandra datang menghampiri Indra. Wajahnya tegang dengan mata yang menyiratkan kekecewaan mendalam.

“Indra, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.” Ujarnya rendah, namun penuh tekanan.

Indra, yang sudah bisa menebak arah pembicaraan ini, lalu menghela napasnya. “Langsung aja sampaikan di sini. Setelah itu, bantu kami menyembunyikan mayat-mayat ini sebelum matahari semakin meninggi.” Balasnya datar dan tegas.

Aryandra mengangguk, lalu menyampaikan protesnya dengan suara yang jelas. “Indra, membunuh mereka semua adalah tindakan yang tidak perlu. Padahal kau bisa membidik kaki para penjaga itu, lalu menangkap mereka sebagai tawanan. Cara itu jauh lebih manusiawi daripada yang kau lakukan ini.”

Indra menghela napas panjang. Matanya terlihat memandang Aryandra dengan campuran rasa kesal dan frustasi. “Jika kita menjadikannya sebagai tawanan, mereka bisa saja kabur begitu lukanya mulai membaik. Itu berpotensi menggagalkan rencana penyusupan kita ke dalam benteng untuk melemahkan pertahanan musuh.” Jawabnya datar dan dingin.

“Tidak mungkin! Pasukan kita yang berjaga di sini pasti akan mencegah mereka untuk—” Plakk! Sebelum Aryandra selesai bicara, sebuah tamparan keras dari Indra telah mendarat di pipinya. Suaranya menggema hingga memecah keheningan dini hari yang dingin.

Alex dan Pasukan Badung yang menyaksikan pemimpin mereka diserang langsung mengambil posisi siap bertempur. Alex mengarahkan kapaknya ke leher Indra dengan mata yang menyala penuh kemarahan. “Berani kau menyerang pemimpin kami, hah?!” Teriaknya menggelegar.

Pasukan Monasphatika pun tidak tinggal diam. Mereka dengan cepat menghunus pedang dan belati untuk melindungi Indra. Suasana yang penuh ketegangan seketika memenuhi udara.

“Cih, kau mikir apa sih, Ndra? Kau mau perang sama mereka lagi?” Protes Chakra sambil menempelkan belatinya di leher Alex, siap menusuk kapan saja.

“Makasih, kawan. Kau membuat kita harus ngelawan raksasa ini lagi!” Ujar Luthfi sambil mengarahkan belatinya ke selangkangan Alex dengan wajah penuh kegeraman.

Indra menghela napas untuk meredakan rasa kesalnya yang mendalam. “Santai aja, guys. Aku kan nggak bermaksud nyerang dia.” Ujarnya sambil menepuk jidat.

Ia kemudian menyingkirkan kapak milik Alex dari lehernya, lalu menatap Aryandra dengan mata yang penuh tekad. “Aryandra, aku ingatkan lagi bahwa kita sedang berperang sekarang. Membunuh musuh demi kemenangan adalah hal yang wajar di medan perang. Maka dari itu, berhentilah jadi orang yang naif dan berperanglah dengan benar!” Nasehat Indra dengan tegas.

Aryandra tidak menjawab. Tangannya mengepal erat hingga kuku-kukunya menusuk ke telapak tangan. Matanya terlihat menatap Indra dengan campuran kemarahan dan kekecewaan. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bahwa ucapan Indra ada benarnya. Suasana hening sejenak, seolah waktu berhenti bergerak.

“Kalian sudah selesai bertengkar? Kita masih harus mengubur mayat-mayat ini dan mendirikan basecamp sebelum matahari terbit.” Suara Kiara memecah ketegangan.

“Ah, benar juga.” Sahut Indra tersentak. “Kalau kau sudah selesai melamun, bergeraklah dan bantu aku mendirikan tempat tinggal sementara untuk pasukan kita!” Ujarnya sebelum berbalik pergi meninggalkan Aryandra sendirian dengan pikiran yang berkecamuk.

...***...

Dengan kerjasama yang solid antara Pasukan Monasphatika dan Pasukan Badung, mereka berhasil mengubah pemukiman terbengkalai itu menjadi sebuah basecamp yang layak sebelum matahari terbit. Meski sederhana, nyatanya basecamp mereka mampu memberikan perlindungan yang efektif. Mereka akan tetap berada di sini sampai Indra, Luthfi, Kiara, atau Aryandra menembakkan panah api ke langit sebagai sinyal untuk menyerbu Kota Amlapura.

Indra, yang berdiri di tengah kerumunan pasukan, mengangkat tangan kanannya untuk menarik perhatian. “Baiklah, karena basecamp sudah selesai didirikan, kita bisa beristirahat sepanjang hari setelah perjalanan panjang yang melelahkan.” Ujarnya sambil memindai setiap wajah yang hadir.

Ia diam sejenak untuk mengambil napas sebelum melanjutkan. “Malam ini, kita akan menjalankan operasi penyusupannya. Aku, Luthfi, Kiara, dan Aryandra akan menyelinap ke dalam kota Amlapura untuk memicu kerusuhan di sana. Sementara itu, kalian akan menunggu di sini sampai melihat sinyal dari kami.”

“Proses untuk menciptakan kerusuhan di sana mungkin akan memakan waktu sampai beberapa hari. Jadi, aku mohon pada kalian untuk bersabar dan serahkan semuanya pada mulut besarku ini.” Tambahnya dengan senyum tipis, mencoba meringankan suasana.

“Terakhir, saat malam tiba, aku minta kalian untuk meminimalisir cahaya dan suara. Jangan sampai keberadaan kalian terdeteksi oleh musuh. Apakah semuanya jelas?” Tanyanya dengan nada pelan yang tegas.

“Siap, jelas!” Jawab pasukan serentak dengan suara yang rendah.

Namun, sebelum suasana kembali tenang, Kiara mengangkat tangannya dengan wajah penuh pertanyaan. Indra lalu memberinya isyarat untuk berbicara.

“Indra, cepat atau lambat, pihak musuh pasti akan mengetahui bahwa pasukan yang menjaga gapura mereka telah menghilang. Apa yang akan kita lakukan jika mereka memutuskan untuk melakukan pencarian saat kita sedang istirahat?” Tanya Kiara dengan penuh kekhawatiran.

Alex, yang berdiri di samping Kiara, lalu menambahkan. “Benar, musuh bisa menyerang kita kapan saja, apalagi jarak antara basecamp dengan gapura benteng hanya sekitar satu kilometer.”

Indra mengangguk dengan wajah yang tetap tenang. “Masalah itu tidak perlu dikhawatirkan. Untuk saat ini, aku akan mengawasi mereka dengan teropongku sepanjang hari dari atas rumah yang memiliki rooftop itu.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah rumah yang lebih tinggi dari yang lain.

Aryandra, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya mengangkat tangannya juga. “Lalu, apa kau tidak akan beristirahat? Kau kan salah satu orang yang akan menyelinap ke dalam benteng nanti malam.” Ujarnya penuh kepedulian.

Indra tersenyum, lalu mencoba meyakinkan. “Santai aja, Aryandra. Aku sudah menguasai teknik microsleep yang bisa membantuku tidur optimal hanya dalam beberapa menit saja. Jadi, kau nggak perlu khawatir dan nikmati saja waktu istirahatmu.”

Pandangan Indra sekali lagi menyapu setiap wajah yang ada di sana. “Setelah kami berempat pergi menyusup ke dalam benteng, aku minta kalian secara bergiliran mengawasi keadaan sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Alex, musuh bisa datang kapan saja.”

Seluruh Pasukan Monasphatika dan Pasukan Badung mengangguk pelan, menandakan bahwa mereka sudah mengerti instruksi Indra.

“Ada pertanyaan lagi?” Tanya Indra sambil memandang para prajurit di sekelilingnya. Ia lalu menyadari bahwa tidak ada lagi pertanyaan diantara para pasukannya. “Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan lagi, silakan nikmati waktu istirahat kalian!"

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!