Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cari Muka
Bu Ida melangkah masuk ke ruang kepala sekolah dengan senyum dibuat-buat. Sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum, ia merasa memiliki hak istimewa untuk bertemu dengan Pak Agus, kepala sekolah mereka, kapan pun ia mau. Hari ini, ia berniat mencari muka sekaligus menyebarkan gosip tentang Fitri, guru yang selalu menjadi pusat perhatian.
"Pak Agus, sedang tidak sibuk?" sapa Bu Ida dengan suara yang dibuat manis.
"Oh, Bu Ida. Silakan duduk," jawab Pak Agus sambil mempersilakan Bu Ida duduk di kursi depan mejanya.
"Begini, Pak. Saya mau cerita sedikit tentang Fitri," kata Bu Ida memulai aksinya. "Saya perhatikan, Fitri itu terlalu cari muka dengan siswa maupun rekan guru. Dia selalu berusaha terlihat baik dan populer."
Pak Agus mendengarkan dengan seksama, namun wajahnya tidak menunjukkan minat sama sekali. Ia sudah sering mendengar keluhan Bu Ida tentang Fitri.
"Contohnya saja, Pak. Waktu acara perpisahan kelas XII tahun lalu Fitri memberikan pidato yang sangat menyentuh. Semua siswa jadi terharu dan memujinya. Padahal, menurut saya, itu berlebihan," lanjut Bu Ida dengan nada sinis.
"Lalu, soal metode mengajarnya yang katanya modern itu. Saya lihat, dia hanya ingin terlihat keren di depan siswa. Padahal, metode itu belum tentu efektif," tambah Bu Ida lagi.
Pak Agus menghela napas panjang. Ia sudah cukup sabar menghadapi sikap Bu Ida yang selalu iri dan dengki pada Fitri.
"Bu Ida, saya rasa Anda terlalu berlebihan dalam menilai Fitri," kata Pak Agus dengan suara tenang. "Fitri adalah guru yang kompeten dan berdedikasi. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa."
"Soal pidatonya, saya rasa itu wajar saja. Fitri hanya ingin memberikan motivasi dan semangat kepada siswa yang akan lulus. Tidak ada yang salah dengan itu," lanjut Pak Agus.
"Dan soal metode mengajarnya, saya rasa kita tidak bisa menghakimi begitu saja. Setiap guru punya cara mengajar yang berbeda-beda. Yang penting, tujuan kita sama, yaitu ingin siswa berhasil," tegas Pak Agus.
Bu Ida terdiam. Ia tidak menyangka Pak Agus akan membelanya Fitri. Biasanya, Pak Agus selalu mendengarkan keluhannya dan memberikan tanggapan yang positif.
"Bu Ida, saya harap Anda bisa lebih dalam menilai seseorang. Jangan hanya melihat dari satu sisi saja. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing," nasihat Pak Agus dengan bijak.
"Mari kita fokus pada tugas kita sebagai guru, yaitu mendidik dan membimbing siswa. Jangan buang waktu kita untuk hal-hal yang tidak penting," pesan Pak Agus.
Bu Ida merasa malu dan bersalah. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada kekurangan Fitri, sehingga tidak melihat kelebihan yang dimilikinya.
"Baik, Pak. Saya mengerti," jawab Bu Ida dengan suara lirih. "Saya minta maaf sudah mengganggu waktu Bapak."
****
Bu Ida berjalan dengan langkah cepat, hatinya masih dipenuhi kekesalan setelah pertemuannya dengan Pak Agus. Ia tidak menyangka bahwa kepala sekolahnya itu justru membela Fitri, guru yang sangat ia benci. Bu Ida merasa harga dirinya terluka.
Saat berbelok di koridor, Bu Ida berpapasan dengan Fitri yang sedang berjalan santai sambil membawa beberapa buku. Melihat Fitri, amarah Bu Ida kembali memuncak. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak meluapkan kekesalannya.
"Fitri!" panggil Bu Ida dengan suara yang sinis.
Fitri berhenti dan menoleh ke arah Bu Ida. Ia tersenyum ramah, seperti biasa. "Ada apa, Bu?" jawab Fitri dengan sopan.
"Kamu ini memang cari muka ya, Fitri?" kata Bu Ida dengan nada yang merendahkan. "Di depan siswa sok baik, di depan kepala sekolah juga sama. Apa maumu sebenarnya?"
Fitri menghela napas dalam hati. Ia sudah sering menghadapi sikap seperti ini dari Bu Ida. Namun, ia selalu berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi.
"Saya hanya ingin menjadi guru yang baik, Bu," jawab Fitri dengan suara yang lembut. "Saya ingin memberikan yang terbaik untuk siswa dan berkontribusi positif untuk sekolah ini."
"Alah, alasan saja kamu!" balas Bu Ida dengan sinis. "Kamu hanya ingin terlihat populer dan disukai semua orang, kan? Dasar penjilat!"
Fitri tersenyum tipis. Ia tidak ingin menanggapi tuduhan Bu Ida yang tidak berdasar. "Saya rasa, kita tidak perlu berdebat tentang hal ini, Bu," kata Fitri dengan tenang. "Saya permisi dulu, Bu."
Fitri kemudian melanjutkan langkahnya, meninggalkan Bu Ida yang masih berdiri mematung dengan wajah masam. Bu Ida merasa semakin kesal melihat Fitri yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Ia merasa seperti orang yang tidak dianggap.
"Lihat saja nanti, Fitri," gumam Bu Ida dalam hati. "Aku tidak akan membiarkan kamu terus bersikap seperti itu. Aku akan mencari cara untuk menjatuhkanmu."
Bu Ida kemudian melangkah pergi dengan perasaan dendam. Ia bertekad untuk membalas perbuatan Fitri yang dianggapnya telah merebut semua perhatian dan pujian dari orang-orang di sekitarnya.
****
Suara menggelegar Bu Vivi memecah keheningan kelas XII IPS 2. Kenny, siswa yang baru saja mendapat giliran mengerjakan soal turunan trigonometri di papan tulis, terhenyak kaget. Begitu pula dengan teman-temannya yang lain. Mereka semua tahu betul bagaimana temperamen guru matematika mereka yang satu ini.
"Kenny, kamu ini bagaimana sih?" tanya Bu Vivi dengan nada suara tinggi. "Soal seperti ini saja tidak bisa kamu kerjakan? Apa kamu tidak belajar semalam?"
Kenny hanya bisa menunduk lesu. Ia memang belum menguasai materi turunan trigonometri ini. Semalam ia sudah berusaha belajar, tapi tetap saja tidak paham.
"Maaf, Bu," jawab Kenny dengan suara pelan. "Saya masih belum mengerti."
"Alasan!" sergah Bu Vivi. "Kamu ini sudah kelas XII, sebentar lagi mau ujian. Masa' soal seperti ini saja tidak bisa?"
Bu Vivi kemudian mengambil penghapus papan tulis dan menggebrakkannya ke papan tulis dengan keras. Semua siswa terkejut. Mereka tahu Bu Vivi sedang sangat marah.
"Kalian semua ini bagaimana sih?" kata Bu Vivi dengan suara yang semakin tinggi. "Masa' tidak ada satu pun yang bisa mengerjakan soal ini? Apa kalian semua tidak belajar?"
Kelas XII IPS 2 menjadi hening. Tidak ada satu pun siswa yang berani bersuara. Mereka semua takut dengan kemarahan Bu Vivi.
"Saya tidak habis pikir," lanjut Bu Vivi. "Kalian ini sudah kelas XII, tapi masih belum bisa apa-apa. Apa kalian tidak punya cita-cita? Apa kalian tidak ingin sukses?"
Bu Vivi kemudian berjalan mondar-mandir di depan kelas. Ia terlihat sangat kesal dan kecewa dengan kemampuan siswa-siswanya.
"Saya sudah capek mengajari kalian," kata Bu Vivi dengan suara yang mulai terdengar putus asa. "Saya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Kalian ini benar-benar membuat saya pusing."
Bu Vivi kemudian berhenti berjalan dan menatap Kenny dengan tatapan tajam. "Kamu, Kenny," kata Bu Vivi. "Kamu ini sudah sering saya beri kesempatan, tapi tetap saja tidak ada kemajuan. Kamu ini benar-benar mengecewakan."
Kenny semakin menunduk dalam. Ia merasa sangat bersalah dan malu. Ia tahu Bu Vivi tidak bermaksud untuk merendahkannya, tapi ia tetap saja merasa sakit hati dengan perkataan gurunya itu.
"Saya minta maaf, Bu," kata Kenny dengan suara bergetar. "Saya akan berusaha belajar lebih giat lagi."
"Saya harap kamu tidak hanya bicara saja," balas Bu Vivi. "Saya ingin melihat bukti nyata dari kamu. Kalau kamu masih tidak bisa mengerjakan soal seperti ini lagi, saya tidak tahu lagi harus bagaimana."