Lingga Sari tercipta sebagai makluk dalam dua wujud, bisa menjelma menjadi perempuan yang cantik jelita namun juga dalam wujud kera putih yang besar.
Lingga Sari jatuh hati pada Wanandi, pemuda desa manusia biasa, cinta terbalas, kebahagiaan mereka lengkap dengan hadirnya sang buah hati..
Akan tetapi kebahagiaan itu sirna saat Wanandi mulai tidak kerasan tinggal di kerajaan alam astral.
Kehancuran Lingga Sari semakin parah di saat dia dijadikan abdi oleh dukun sakti..
Suatu ketika Lingga Sari berhasil lepas dari dukun sakti dia lari sembunyi di hutan yang lebat dan bertemu dengan seseorang di hutan lebat itu, siapa dia akan mencelakakan atau membantu Lingga Sari?
Bagaimana perjuangan Lingga Sari untuk meraih lagi kebahagiaan nya, apakah dia bisa bersatu lagi dengan suami dan buah hatinya di alam astral atau di alam nyata????
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7.
HUEK
Mulut mungil Windy pun cepat cepat melepehkan pisang dari dalam rongga mulut nya.
“Kenapa Ibu? Pisang nya manis kok..” suara imut Windy yang sudah melepeh pisang dari mulutnya.
Lingga Sari belum menjawab dia tampak mengaroma pisang yang tadi akan dimakan oleh Windy..
“Makan lah tidak apa apa..” ucap Lingga Sari setelah mengetahui pisang aman tidak ada racun. Windy pun melahap lagi pisang nya. Lingga Sari mengecek semua buah buah yang ada di dua keranjang itu..
“Aman hanya air kendi ini yang berisi racun tingkat tinggi.. “ gumam Lingga Sari di dalam hati dan masih membawa kendi itu..
Windy yang kepo mendengarkan suara batin Sang Ibu.. dan Windy pun mengatakan dengan suara batin nya pula agar tidak didengar oleh orang orang yang masih ada di rumah itu.
“Ibu Apa racun di dalam kendi itu yang menyebabkan Ayah dan Nenek meninggal?” suara imut Windy di dalam hati
Lingga Sari menatap Windy..
“Mungkin Sayang.. Ibu akan cari tahu.. mungkin Ayah yang sudah minum racun ini, kalau kematian Nenek karena sedih hati yang sangat dalam karena kehilangan Ayah. ” gumam Lingga Sari di dalam hati lalu dia melangkah sambil membawa kendi itu menuju ke kamar suaminya..
“Aku ikut Ibu...” suara imut Windy sambil membawa satu sisir pisang karena dia belum kenyang.. Windy melangkah mengikuti Sang Ibu..
“Windy jangan pegang kendi ini ya apalagi membuka tutup nya, racun ini racun tingkat tinggi tidak berasa tetapi sangat mematikan, manusia biasa pun tidak mencium apa apa dan rasanya seperti air putih biasa..” ucap Lingga Sari dan menyimpan dengan rapat kendi itu di dalam lemari.
“Kenapa Ibu simpan buang saja racun di dalam kendi itu Ibu.. “
“Ibu ingin cari tahu bahan bahan apa yang sudah dipakai dan Ibu cari tahu penawar nya.. Ibu berharap Ayah kamu masih bisa diselamatkan..” ucap Lingga Sari.. yang akan meneliti racun itu dengan ilmu spiritual kebatinan bukan dengan uji laboratorium..
“iya Ibu, bangunkan Ayah ya...” suara imut Windy penuh permohonan.
“Iya Sayang Ibu usahakan kita cari cara untuk mengambil jasad Ayah..” gumam Lingga Sari yang berpikir jika jasad suami bisa diambil dan diberi ramuan dari nya paling tidak jiwa dan raga suaminya bisa bersatu dengan mereka di kerajaan alam astral kerajaan di bawah kuasa Sang Ratu..
“Iya Ibu, kita bawa ayah ke kerajaan Sang Ratu nanti aku belajar melantunkan adzan agar Ayah suka tinggal di sana.. kalau di sini ada orang jahat yang meracun dia. ”
Sesaat terdengar bunyi pintu kamar diketuk ketuk..
TOK
TOK
TOK
“Kakak.. Windy .. apa kalian istirahat? Itu orang orang mau pamit pulang.” Suara pemuda kerabat Wanandi.
“Sebentar Paman..” ucap Lingga Sari membenarkan kerudung selendang sutera putihnya
“Ayo Sayang kita ucapkan terima kasih pada mereka.” Ucap Lingga Sari lalu melangkah keluar dari kamar..
“Kakak Lingga Sari aku sudah bayar semua biaya pemakaman. Untuk biaya pemakaman Kakak Wanandi kemarin Ina Wanandi juga sudah membayar lunas.. “ ucap pelan pemuda kerabat Wanandi.
“Terima kasih Paman, aku tidak punya uang tetapi aku ada perhiasan nantI aku berikan ke Paman, bisa Paman jual kalau Paman butuh uang..” ucap Lingga Sari sambil melepas kalung emas permata nya dan diberikan pada pemuda kerabat Wanandi.
“Terima kasih Kakak, Kakak Lingga Sari coba lihat di lemari Kakak Wanandi mungkin ada uang dia, kalau uang di dompet di celana nya sudah diambil oleh Ina Wanandi. Uang bisa Kakak gunakan untuk keperluan hidup Kakak dan Windy selama di sini.“
“Baiklah nanti aku lihat , sekarang aku akan menemui orang orang yang akan pamit pulang aku akan mengucapkan terima kasih pada mereka..” ucap Lingga Sari.
Lingga Sari dan Windy pun segera melangkah ke depan untuk menemui orang orang yang akan pulang
“Ina ina dan amak amak terima kasih sudah membantu pemakaman Ina dan Kakak Wanandi kemarin..” ucap Lingga Sari saat sudah di depan dan Windy berdiri di samping Sang Ibu.
“Sama sama, kami akan pamit pulang .” ucap orang orang itu.
“Baik.. silakan sekali lagi terima kasih..” ucap Lingga Sari lagi sambil tersenyum meskipun hatinya sangat sedih karena kehilangan Suami dan Ibu mertua nya.
Orang orang pun mulai berjalan keluar dari rumah Ina Wanandi.
Sesaat ada satu orang perempuan setengah baya mendekati Lingga Sari dan berbisik..
“Tadi Mona masuk kamar kamar, kami tidak tahu apa yang dilakukan di sana.” Bisik lirih suara perempuan setengah baya itu.
“Mona?” tanya Lingga Sari
“Itu perempuan yang tadi datang menangis dan tidak ikut ke makam.. kalau ada yang hilang ya kemungkinan Mona itu yang ambil, dia macam bawa barang dibungkus kain.” Ucap perempuan setengah baya itu lagi.
“Baik Ina, terima kasih..” ucap Lingga Sari lagi..
Setelah semua orang pulang Lingga Sari dan Windy kembali masuk ke dalam kamar, karena pemuda kerabat Wanandi yang masih tinggal menyuruh nya untuk mengecek uang Wanandi.
“Perempuan Mona itu jahat Ibu dia tadi juga mau menarik kerudung Ibu.. mungkin dia ambil uang Ayah..” suara imut Windy.
Lingga Sari membuka lemari dan mencari cari uang di semua rak lemari tetapi tidak mendapatkan.. sudah tidak ada sepeser pun uang di dalam lemari.. bahkan seperti nya baju baju dan celana kesayangan Wanandi pun juga tidak ada..
“Bagaimana Kak?” tanya pemuda kerabat Wanandi yang menunggu di luar kamar.
“Tidak ada uang Paman.. baju baju Ayah juga hilang..” suara imut Windy agak keras.
“Ibu kita tidak punya uang, kalau tinggal di bumi kita harus punya uang, aku akan membantu ibu manen buah buah dan kita jual biar kita dapat uang Ibu..” suara imut Windy sambil mendongak menatap Sang Ibu yang menutup pintu lemari.
“Iya Sayang..” ucap Lingga Sari lalu melangkah ke luar dari kamar, Windy pun terus mengekor Sang Ibu.
Lingga Sari membuka pintu kamar..
“Tidak ada uang tersisa di dalam lemari, mungkin sudah diambil perempuan itu. Siapa dia?” tanya Lingga Sari pada pemuda kerabat Wanandi
“Dia teman kecil Kakak Wanandi sudah terbiasa ke sini sejak dulu, bahkan dia menyukai Kakak Wanandi, tetapi Kakak Wanandi tidak suka pada dia.”
“Ibu mungkin perempuan itu yang meracun Ayah karena Ayah tidak suka pada nya.” Suara imut Windy
“Racun? Bagaimana mungkin Windy? Dia sangat menyukai Ayah kamu, dia sangat sedih melihat Ayah kamu dan Nenek meninggal.” Ucap pemuda kerabat Wanandi.
“Hmmm..” gumam Lingga Sari tampak berpikir pikir..
“Baiklah Kakak, aku pulang dulu aku jual kalung ini nanti aku beri uang ke Kakak untuk keperluan Kakak dan Windy .. “ ucap pemuda kerabat Wanandi itu dan segera pamit pulang untuk turun ke kota menjual kalung Lingga Sari, mumpung hari masih terang.
Lingga Sari menutup pintu rumah dan dia kembali ke kamar Wanandi, dia duduk semedi di lantai kamar
Windy ikut duduk bersila di belakang Sang Ibu tetapi dia berdoa yang diajarkan oleh Ayah nya..
Tiga jam lebih Lingga Sari semedi dan tubuh mungil Windy pun sudah meringkuk tertidur di belakang Sang Ibu..
Tidak lama kemudian Lingga Sari telah selesai semedi nya, dia telah mendapatkan petunjuk bahan bahan dan cara pembuatan racun yang ada di dalam kendi itu..
“Orang pintar yang sudah paham tanaman tanaman yang sangat mematikan , dia merebus bahan bahan dan mengumpulkan uap untuk dijadikan racun yang terlihat seperti air putih biasa.. hmmm tapi racun itu membuat tubuh Kakak Wanandi awet tidak membusuk .. “ gumam Lingga Sari di dalam hati.