Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kisah
Gaitsa sempat berpikir bahwa Erika akan membawanya ke rumah wanita itu saat ia bilang akan memperkenalkan Gaitsa pada mereka. Mereka yang Gaitsa pikir adalah keluarga wanita itu.
Tapi, yang terlihat manik gelapnya sekarang adalah sebuah bangunan besar yang merupakan tempat anak-anak sakit berada. Gaitsa mengikuti wanita yang tampak sangat terbiasa dengan lingkungan rumah sakit. Pantas saja Erika meminta agar Biyu dititipkan terlebih dulu.
“Namanya Zhian,” kata Erika saat tangannya menekan angka empat di tombol lift.
Gaitsa melirik peta rumah sakit yang berisi keterangan setiap lantai yang tertempel di dinding lift. Lantai empat adalah tempat khusus untuk anak-anak yang mengidap penyakit jantung. Ia tidak tahu siapa Zhian dan kenapa anak itu berada di rumah sakit, tapi melihat wajah sendu Erika membuatnya yakin bahwa Zhian adalah salah satu keluarga wanita itu yang ingin dikenalkan.
“Usianya tujuh tahun,” ucap Erika lagi saat pintu lift akhirnya terbuka.
Gaitsa mengikuti langkah wanita itu menuju sebuah ruangan. Dari pintu yang bagian tengah atasnya terbuat dari kaca, wanita itu bisa mengintip keadaan di dalam kamar. Seorang anak lelaki sedang tertidur dengan berbagai selang menempel di tubuhnya. Monitor yang terus mengeluarkan bunyi seperti detak jantung berada di sisi ranjang.
“Dia baru saja dipindahkan ke ruangan ini setelah satu bulan di ICU.” Erika menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan, menahan sesak yang memenuhi rongga dadanya. “Sebulan lalu Zhian menjalani operasi penggantian katub jantung, setelah katub buatan sebelumnya rusak. Aku mengetahui dia memiliki penyakit itu saat dia seusia Biyu.”
Tujuh bulan. Gaitsa tidak bisa membayangkan anak sekecil itu sudah mengidap penyakit mematikan. “Apa dia adikmu?” tanyanya lirih, berharap tebakannya benar.
Gaitsa merasakan jantungnya mencelos saat Erika menggeleng sambil tersenyum sendu, “Dia putra kandungku. Aku melahirkannya saat usiaku delapan belas,” jelasnya singkat.
“Lalu, ayahnya?”
Erika kembali menggeleng sambil tertawa pahit, “Aku bahkan tidak mengenalnya. Tapi aku mengingat wajah, suara, bentuk tubuh dan semua perlakuan orang yang menghancurkan masa remajaku,” katanya dipenuhi amarah.
Tapi, Erika masih sangat mencintai anak dari pria brengsek yang menghancurkan hidupnya. Erika tidak bisa mengabaikan sejak anak itu bergerak di dalam perutnya. Memangnya ibu mana yang akan membuang anak yang dengan susah payah dikandung dan dilahirkannya?
“Mamanya Zhian kenapa tidak masuk?”
Seorang wanita dengan sneli putih khas dokter menghampiri dua wanita yang berdiri di depan pintu, senyumnya tampak ramah. Gaitsa mengernyit saat wanita yang lebih pendek darinya itu menatap terang-terangan padanya.
“Ini pertama kali Nyonya Erika membawa teman ke sini,” ucap sang dokter tanpa meninggalkan senyum ramahnya.
“Ah, iya.” Erika menjawab kikuk, “Kak, perkenalkan, ini Gaitsa.”
Wanita itu mengulurkan tangan, Gaitsa membalasnya dengan senyum ramah. “Teman kantor Nona Erika. Salam kenal,” ucapnya sopan.
“Rafania, dokter yang merawat Zhian.”
Dokter. Gaitsa tahu dengan jelas pekerjaan wanita di hadapannya adalah seorang dokter, tapi tidak pernah berpikir bahwa ia mengenal Erika, bahkan menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap Zhian. Dua wanita berbeda usia itu hanya saling tersenyum sopan meski genggaman tangannya cukup erat.
***
Jangan mendengar yang tidak perlu didengar. Jangan melihat sesuatu yang tidak perlu dilihat. Jangan membicarakan hal yang tidak penting untuk dibicarakan. Dan jangan pernah mencari tahu apa pun yang tidak perlu diketahui.
Gaitsa menjalani hidupnya dengan memegang teguh prinsip yang diyakini sejak masih remaja, itu sebabnya wanita itu tidak pernah benar-benar dekat atau menganggap orang-orang di sekitarnya sebagai teman.
Tapi di sini ia sekarang, melihat wajah sendu Erika yang baru saja selesai menceritakan semua kisah pilunya. Jelas apa yang dialami wanita itu jauh lebih buruk dari yang dihadapi Gaitsa.
Erika tumbuh menjadi wanita cerdas yang dibanggakan seluruh keluarga. Sejak sekolah dasar, wanita itu selalu mendapat banyak perhatian karena tidak hanya menguasai seluruh pelajaran di sekolah, Erika juga memiliki kepribaian yang ceria dan hangat hingga mudah bergaul dengan semua orang.
Ketika usianya enam belas, Erika berhasil menyelesaikan pendidikannya di SMA terbaik. Wanita itu menyelesaikan sekolah akselerasinya dengan nilai sempurna. Erika langsung melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Hidupnya baik-baik saja sampai wanita itu menghadiri pesta kelulusan seniornya di kampus.
“Kenapa tidak menunggu sampai dia bangun dan meminta pertanggungjawaban?” tanya Gaitsa seraya menatap jalanan yang terlihat padat di bawahnya. Mereka memutuskan untuk mengobrol di atap rumah sakit.
“Aku takut. Memangnya apa yang bisa dipikirkan gadis tujuh belas tahun di situasi seperti itu?” Erika menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak menangis saat menceritakan kisah hidupnya yang pasti lebih mirip sinetron ribuan episode.
Gaitsa ikut menghela napas, “Lalu setelah tahu kalau hamil, apa yang kamu lakukan?” tanyanya pelan. Erika jelas masih anak-anak saat menghadapi kehamilannya, berbeda dengan Gaitsa yang sudah dewasa dan memiliki suami sah di mata hukum.
“Aku berniat bunuh diri. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Semuanya gagal karena selalu ada orang yang datang menolong.” Erika membuka arloji yang selalu melingkari tangannya, memperlihatkan bekas goresan di sana.
“Keluargamu?” Gaitsa mengalihkan tatapannya kembali pada langit yang membentang cerah, tidak suka melihat goresan di tempat nadi wanita di sisinya berada.
“Aku tidak berani menemui mereka. Kak Afa, dokter yang merawat Zhian, adalah orang terakhir yang menyelamatkanku saat aku akan lompat ke jurang.” Erika terkekeh mengingat kejadian bertahun lalu, saat Rafania mengomeli juga memeluknya yang kehilangan arah.
“Dia yang membiayai hidupmu dan Zhian setelah itu?” Gaitsa sepertinya sedikit mengerti kenapa wanita itu bergabung dengan Shavata enam tahun lalu.
Erika mengangguk, “Aku tidak tahu bagaimana membalas semua hal yang dia lakukan untuk kami. Kak Afa bahkan berpisah dari tunangannya saat memutuskan untuk merawatku.”
“Tapi keluargamu pasti mencari, kan?”
“Ya, katanya mereka masih menyebarkan fotoku di setiap sudut kota London.” Erika terdiam ketika rasa sesak seolah menghantam dadanya, membuatnya harus menarik napas berkali-kali, meski di setiap tarikannya, dadanya terasa semakin sesak.
Kalau bisa membiayai pendidikan hingga ke luar negeri dan masih mencari keberadaan wanita itu sampai sekarang, bukankah Erika berasal dari keluarga yang sangat mampu?
“Apa aku mengenalnya? Maksudku keluargamu?” tanya Gaitsa agak ragu.
“Sepertinya kenal,” jawab Erika seraya menujuk sesuatu.
Gaitsa mengalihkan tatapannya pada hal yang ditunjuk wanita itu. Sebuah layar besar di seberang gedung yang sedang menampilkan iklan pembangunan resort baru sebuah perusahaan di Pulau Jeju, Korea.
“YG Grup maksudmu?” tanya Gaitsa tidak yakin saat menyebut nama perusahaan konstruksi terbesar di Asia.
“Ehm,” Erika menyahut lemah, “Bukankah nama perusahaan akan rusak kalau media sampai tahu putri bungsu keluarga Ardian hamil di luar nikah?” lanjutnya.
“Bagaimana namamu tidak ada kata Ardian sama sekali? Aku melihat hampir semua biodata lengkap karyawan di perusahaan. Erika Hanatasya, yatim piatu. Nama orang tuamu bahkan bukan Nyonya dan Tuan Ardian.”
“Erika Ardian Hanata, nama asliku.” Wanita itu menghela napas ketika netra beningnya menatap langit, “Aku tidak tahu bagaimana Kak Afa bisa mengubah semua identitasku, mulai dari ijazah SD hingga SMA. Dia bahkan mendaftarkan namaku di kartu keluarganya tanpa masalah.”
Gaitsa mengangguk paham. Yah, wanita bernama Rafania itu memang bisa melakukan hal-hal kecil seperti itu.
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant