Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Setelah selesai berpamitan, Aiman dan Ustadz Haidar mulai beranjak dari rumah. Mereka melangkah keluar, bersiap untuk pulang ke rumah Pak RT. Sebelum mereka benar-benar pergi, Abian dan Gina dengan sopan mengizinkan mereka untuk pergi, karena memang seluruh warga desa akan ikut amal bakti yang dijadwalkan pagi-pagi nanti. Warga desa diminta untuk membantu dalam kegiatan gotong royong di sekitar kampung, sebagai bentuk solidaritas antar warga dan untuk memperkenalkan kehidupan di desa ini kepada Aiman dan Ustadz Haidar.
Setelah beberapa ucapan salam dan perpisahan singkat, Aiman menghampiri Sabrina yang masih berdiri di sana. Ia menyodorkan tangannya yang hanya sempat terlihat oleh Sabrina, seolah mengajak untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak disangka-sangka.
Sabrina menatap Aiman dengan penuh kebingungan, tidak tahu apa yang dimaksud. Aiman pun membuka mulutnya dengan lembut, "Salim."
Sabrina terdiam, menatap tangan Aiman yang terulur di udara itu. Mau tidak mau, akhirnya ia menggenggam tangan Aiman dengan sedikit enggan, perlahan. Tetapi sebelum tangannya terlepas, Aiman mengecup ubun-ubun kepalanya, di luar hijab yang menutupi rambut Sabrina.
Tersentak kaget, Sabrina menunduk, wajahnya memerah. Namun Aiman tetap tenang, seolah itu adalah hal biasa baginya. "Saya pulang dulu, jangan nakal-nakal selama saya gak ada," ucap Aiman sambil mengelus lembut surai di luar hijab Sabrina.
Sabrina hanya mampu mengangguk, menahan rasa yang sulit diungkapkan. Aiman kemudian berpamitan lebih lama sebelum akhirnya dia dan Ustadz Haidar melangkah keluar, meninggalkan rumah itu.
...➰➰➰➰...
Pukul 9 pagi, Sabrina masih enggan meninggalkan kamarnya. Setelah malam sebelumnya menghadiri acara pernikahan yang mendadak, ia merasa lelah dan memilih melanjutkan tidurnya usai membantu Mamanya di dapur pagi tadi. Namun, kedamaian itu terpotong ketika terdengar suara pintu diketok.
Dengan malas, Sabrina membukakan pintunya. Matanya mengerjap, menemukan Abiyan berdiri di sana. Pandangannya langsung menatapnya tajam, membuat Sabrina bergidik tidak nyaman.
"Kenapa, Pak?" tanya Sabrina, suara malas dan agak ketus.
Abiyan mengerutkan keningnya. "Siap-siap gih, kita jalan santai pagi ini bareng warga lain. Ada suamimu juga," ucap Abiyan tegas, tanpa kompromi.
Sabrina melipat tangan di depan dada, mencoba mencari alasan. "Bapak sama Mamak aja ya, aku mau ke pasar. Mau belanja," ucapnya, mencoba mengelak.
"Gak bisa, Mamak udah belanja sama Bapak tadi," sahut Gina yang kebetulan lewat di depan pintu kamar Sabrina. Sabrina menoleh dan nyaris ingin berdebat, tapi Gina sudah berlalu tanpa peduli.
Abiyan kembali bersuara, nada suaranya tetap tegas. "Tuh, siap-siap, Bapak tunggu 10 menit."
Sabrina mendesah berat. "Emang harus, Pak?" tanyanya dengan nada yang masih enggan.
Abiyan mengangguk tanpa ragu. "Harus lah, sebagai warga di sini, kamu juga istrinya Aiman, harus ikut," tegas Abiyan, seolah tidak memberi ruang negosiasi.
Sabrina mendecak dengan malas, merasa sudah tak punya pilihan. "Iya deh, aku siap siap dulu," jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tak suka tapi terpaksa mengikuti perintah.
Semua berkumpul di lapangan yang ramai oleh warga desa. Banyak para ibu yang berdatangan, menyapa dan menegur satu sama lain. Tidak jarang beberapa ibu-ibu melihat kehadiran Sabrina dengan tatapan heran, karena biasanya gadis itu sangat jarang sekali terlibat dalam acara seperti ini. Biasanya, hanya Gina yang terlihat ikut serta, tetapi hari ini ada Sabrina—istri Aiman—yang hadir.
Satu per satu ibu-ibu mulai melontarkan komentar ringan, meski terkesan agak mengganggu. Salah satu ibu, Bu Mita, melirik ke arah Sabrina yang berdiri agak jauh dari kerumunan. Dengan senyum yang penuh arti, ia mendekati Sabrina.
"Eh Bina, tumben banget ikut acara ginian. Biasanya cuma betah di rumah aja," celetuk Bu Mita, sang ratu gosip di kampung itu.
Sabrina mengangkat bahu, menjawab seadanya, "Sekali-sekali refreshing, Bu Mita. Lama nggak keliling kampung."
"Oh, kirain mau lihat mukanya ustadz tampan," sahut Bu Mita sambil tersenyum sinis.
"Ustadz tampan siapa, Bu Mita?" Sabrina mengerutkan dahi, pura-pura tak mengerti.
"Itu loh, yang pakai sorban di pundaknya," Bu Mita menunjuk ke arah depan sedikit jauh. Sabrina mengikuti arah pandang Bu Mita, menyipitkan matanya dan menatap seseorang yang dimaksud.
"Oh, si Ustadz Aiman," jawab Sabrina tanpa sadar.
"Iya tuh, saya udah berharap banget dia jadi menantu saya. Udah cocok sama si Mika," ucap Bu Mita sambil mengagumi.
"Hih, gayanya... laki gue tuh emak-emak rempong!!!" ucap Sabrina dalam hati, geram.
Sambil tersenyum, Sabrina menjawab santai, "Oh, saya nggak tanya, Bu. Saya pergi dulu." Ia pun melenggang pergi menjauh dari Bu Mita yang tengah menyengitkan matanya penuh kesal.
"Hih, di aminkan saja, kek. Oh ya Bina," panggil Bu Mita lagi, menyadari sesuatu.
"Apaan lagi, Bu Mita?" tanya Sabrina malas.
"Lain kali perhatikan pakaian kamu, kurang pantas banget," tegur Bu Mita setelah menyadari penampilan Sabrina yang sedikit mencolok.
"Ye, situ aja sewot," sahut Sabrina kesal, lalu segera menjauh. Bu Mita mendelik kesal.
Sabrina menggigit bibir bawahnya dengan kesal. Pakaian yang dikenakannya memang cukup mencolok, celana legging ketat yang memiliki lingkaran seperti rok, ditambah kaos ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya, terutama bagian dadanya yang begitu jelas terlihat karena pakaian yang dikenakannya cukup press body. Semua itu terkesan seksi, dan jelas membuat para ibu-ibu di sekitar mengawasi penuh perhatian.
Sabrina menggerutu dalam hati, kesal dengan omongan Bu Mita yang mengungkit pernikahannya dengan Aiman—sang suami. "Enak banget mulutnya tuh emak-emak rempong! Dikira laki gue mau terima janda anaknya itu! Mending gue dong masih gadis ting-ting belum di-ewong," keluh Sabrina dalam hati, geram.
"Nah kali modelan laki gue demen janda anaknya itu udah kurus krempeng hidup pula," gumamnya pelan sambil menghampiri keluarganya yang sedang berdiri berjejer dekat Pak Kades, Pak Dimas, serta Ustadz Haidar dan Aiman yang terlihat sedang berbincang santai.
Entah apa maksud orang tuanya duduk-duduk di sana. Tapi Sabrina tetap berjalan mendekati mereka. Wajahnya masih tampak tegang, tertekan dengan segala perhatian yang kini terpusat padanya.
Sabrina mendekati orang tuanya yang sedang berbincang dengan Pak Kabay dan Pak Dimas. Di tengah perbincangan itu, Aiman dan Ustadz Haidar turut bergabung dalam obrolan santai para kepala keluarga. Namun, tiba-tiba terdengar panggilan dari Miran, adik Sabrina, yang menyadarkan keempat orang dewasa tersebut, termasuk Aiman dan Ustadz Haidar, yang langsung menoleh ke arah Sabrina.
Semua mata tertuju pada Sabrina, dan spontan Ustadz Haidar mengalihkan pandangannya ke belakang, seakan tidak ingin menatap terlalu lama. Sedangkan orang tua Sabrina hanya menggelengkan kepala dengan kecewa, menghela nafas dalam-dalam melihat putri mereka yang terkesan tidak memperhatikan norma-norma di sekitar.
Aiman yang melihat pakaian istrinya segera bergerak dengan cekatan. Tanpa banyak bicara, ia buru-buru melepas sorbannya yang terikat di kepalanya dan memakaikannya di pundak Sabrina.
Sabrina benar-benar speechless dengan kejadian ini. Lagi-lagi sorban Aiman yang sudah beberapa kali terpasang di pundaknya. Sudah lima kali ia diberi sorban itu, bahkan lebih. Ada empat sorban yang sudah tersimpan di rumahnya dari pria dihadapannya dan kini ini menjadi yang kelima.
"Mengapa kamu pakai baju ini, Bina?" tanya Mamaknya dengan nada berat, matanya menyipit kesal melihat pakaian putrinya yang tidak sesuai.
Sabrina mengangkat bahunya acuh. "Lalu aku harus pakai baju apa, Mak? Semua bajuku begini semua."
"Tapi ada baju yang Mamak siapkan untuk acara ini, kenapa tidak pakai itu?" Gina menambahkan dengan nada menegur.
Sabrina merajuk, "Hak suka aku, Mak. Lagian kalau baju kayak gini juga bikin gerah. Aku enggak mau!"
Namun, sebelum ia sempat melepas sorban yang dipakaikan Aiman di pundaknya, tangan Aiman sudah menahannya.
"Jangan dilepas, pakai terus sampai acara selesai," kata Aiman dengan tegas.
"Ehhh!! Gue enggak suka! Gerah tahu nggak!" sergah Sabrina dengan kesal, mendorong sorban itu sedikit.
"Tapi saya lebih enggak suka kalau kamu pakai baju seperti ini. Lebih baik kamu jangan ikut," ucap Aiman, matanya tajam menatap Sabrina yang terus menunjukkan ketidaksukaannya.
"Yaudah, gue pulang aja, ya?" ucap Sabrina dengan semangat.
"Tidak, karena kamu sudah diinisiasi seperti ini, kamu harus ikut tanpa melepas sorbannya," jawab Aiman tanpa ragu.
Sabrina mengernyit, kesal mendengar perintah itu. "Nanti diliat gimana? Orang-orang pasti curigalah Om Ustadz."
Aiman tetap tenang, mengangkat bahunya dengan santai. "Biarkan saja, toh kita memang sudah halal."
"Mereka kan enggak tahu," gerutu Sabrina makin sewot.
Aiman menyipitkan mata dengan penuh kesabaran. "Kamu kan pandai buat alasan, apa susahnya?"
Tanpa menjawab, Sabrina akhirnya membiarkan sorban itu tetap terpasang di pundaknya dan pergi dengan penuh amarah, meninggalkan kelompok itu untuk bergabung dengan acara yang sudah dimulai di lapangan.
Sementara itu, Aiman menghampiri Pak Kabay yang sudah memanggilnya untuk memulai acara amal bakti. Aiman meletakkan tangannya di bahu Pak Kabay, bersiap untuk memimpin sesi pagi itu. Dengan tenang, ia mulai berbicara, memperkenalkan dirinya kepada warga desa dan menjelaskan tujuan dari amal bakti ini. Semua warga berkumpul dengan penuh antusiasme, meski beberapa masih mencuri pandang pada sorban yang kini menutupi pundak Sabrina.