Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ruangan Fajar terasa seperti medan perang—sangat tegang, bahkan udara pun seakan mengencang. Di sudut ruangan, Rega dan Berta berdiri saling menatap tajam, siap melontarkan kata-kata tajam kapan saja. Tangan mereka bertolak di pinggang, seolah-olah sedang menunggu untuk saling menyerang. Agnes, yang berdiri di samping Fajar, melirik suaminya dengan cemas. “Pak, Bapak yakin mereka mau berdamai?” tanya Agnes pelan, mencoba mencari kepastian.
Beberapa menit sebelumnya, Fajar menemukan Rega dan Berta beradu mulut. Mengingat Rega bukan bagian dari kampus, Fajar membawa keduanya ke ruangannya untuk meredakan ketegangan. Agnes juga ada di sana karena Fajar memanggilnya untuk membantu menenangkan Berta. Namun, tampaknya usaha itu sia-sia.
Fajar menghela napas panjang, tatapannya tetap terfokus pada Rega dan Berta. “Mereka terlalu keras kepala,” gumamnya dengan nada datar. “Tapi mereka juga tahu batas.”
Agnes mengerutkan kening, bingung. “Batas apa?”
“Batas di mana aku akan campur tangan kalau mereka terlalu berlebihan,” jawab Fajar, suaranya tetap serius. Agnes hanya bisa diam, tidak berani melanjutkan pertanyaannya.
Rega, yang mendengar percakapan itu, melirik Fajar dengan senyum tipis. “Santai saja, Ar. Aku cuma pengen pastiin kalau ‘si cantik’ ini tahu siapa yang lebih pintar.”
Berta mendengus, tidak terima dengan ejekan itu. “Lebih pintar? Orang yang nggak bisa mengendalikan tangannya sendiri ngomong soal kepintaran? Lucu banget.”
Rega berdiri tegap, matanya menatap Berta tanpa sedikit pun rasa bersalah. Berta membalas dengan tatapan penuh amarah. Suara napas keduanya terdengar jelas di tengah keheningan ruangan Fajar yang makin menegang.
“Jadi, menurutmu aku salah?” Rega akhirnya membuka suara kembali, nada suaranya dingin, tapi penuh tantangan.
“Salah besar!” balas Berta, suara semakin meninggi. Tangan kanannya terangkat, menunjuk langsung ke arah Rega. “Kamu nggak tahu apa itu sopan santun, Om. Apa kamu pikir menyentuh tubuh orang seenaknya itu hal biasa?”
Rega mendengus, jelas tidak terima. “Hah, Om?” ucap Rega dengan nada tak percaya, padahal usianya baru 29 tahun, dan dia bisa menebak Berta mungkin cuma beberapa tahun lebih muda darinya.
“Dengerin baik-baik, aku nggak sengaja nyentuhmu! Itu kecelakaan. Lagian, kamu juga nggak ngindarin aku!”
Berta maju selangkah, matanya membara. “Jangan sok ngeles! Kamu nggak punya mulut untuk minta maaf? Kok malah sok bela diri kayak gini?”
“Aku nggak merasa salah buat sesuatu yang nggak aku lakukan dengan niat buruk,” tukas Rega, suaranya kini mulai naik. “Kamu yang berlebihan, Cil.”
Berta terdiam sesaat, bukan karena kehabisan kata-kata, tapi karena kemarahannya semakin memuncak. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri agar tidak bertindak lebih jauh. “Omonganmu itu kayak orang nggak punya hati. Apa kamu nggak sadar kalau perbuatanmu itu memalukan dan merendahkan?”
Rega memutar bola matanya. “Memalukan? Siapa yang lihat? Lagian, kamu yang bikin masalah ini jadi besar. Kalau kamu mau mikir logis, kita nggak perlu ada di sini debat soal hal sepele begini.”
“SEPELE?” Berta akhirnya berteriak, membuat Agnes yang berdiri di sudut ruangan tersentak. “Coba kalau ada orang nyentuh kamu tanpa izin, Om! Kamu bakal diem aja?”
Rega terdiam sejenak, mulutnya terbuka, tapi tak keluar suara. Sikapnya tetap keras kepala. “Beda situasinya,” jawabnya akhirnya, meskipun dengan suara lebih lemah.
“Bener-bener nggak tahu malu,” desis Berta sambil menggelengkan kepala, mendekat ke arah Rega. “Kamu pikir karena siapa kamu, semuanya bisa dianggap sepele? Aku bukan benda yang bisa kamu anggap enteng!”
Fajar yang dari tadi cuma mengamati, akhirnya bangkit dari kursinya. Suaranya rendah, tapi tegas. “Cukup.”
Rega dan Berta sama-sama menoleh ke arahnya, tapi tak ada yang berani bicara. Tatapan dingin Fajar seperti memberi peringatan yang tak bisa diabaikan.
“Aku nggak peduli siapa yang benar atau salah,” lanjut Fajar. “Tapi aku nggak akan biarin ruangan ini jadi tempat kalian bertengkar kayak anak kecil.”
Agnes menghela napas lega, meskipun suasana masih panas. Ia melirik Berta dengan tatapan lembut, berusaha menenangkan. “Berta, ini mungkin cuma salah paham…”
“Nes, kamu nggak percaya sama aku? Ini bukan salah paham. Kalau dia nggak ngeselin, aku juga nggak bakal kayak gini!” sahut Berta, jengkel.
Rega mendengus lagi, kali ini diam saja. Meski hatinya tidak ingin mengakuinya, sorot matanya menunjukkan sedikit rasa bersalah. Tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.
Fajar menatap Rega tajam. “Kalau itu kecelakaan, nggak ada salahnya minta maaf. Itu nggak bakal bikin kamu kehilangan apa-apa.”
Rega menghela napas panjang dan mengangguk kecil. “Tapi Ar, aku bisa aja minta maaf dari tadi, tapi dia udah ngomong macem-macem seolah paling benar sendiri.”
“Pak Fajar, Agnes, lihat deh, dia malah nyalahin orang lagi! Aku korban di sini!” sahut Berta.
“Dasar kamu—” Rega mulai mengacungkan telunjuknya, tapi melihat tatapan tajam Fajar, ia langsung melunak. “Baiklah.”
Namun, saat Rega hendak berkata, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Sherly muncul dan langsung menghampiri Rega. “Kak, kamu nggak apa-apa? Dengar-dengar kamu habis ditampar mahasiswi di sini. Berani banget dia!”
“Aku…” Rega baru ingin menjelaskan, tapi Sherly sudah berhadapan dengan Berta.
“Heh, kamu! Jangan sembarangan main tangan. Nggak diajarin cara menyelesaikan masalah tanpa bikin masalah baru?” ucap Sherly, tajam.
Berta menatap Sherly dengan napas terengah-engah. “Apa-apaan sih kamu? Datang-datang langsung nuduh. Aku nggak tampar dia!”
Sherly menyipitkan mata. “Oh iya? Kamu pikir kalau kakakku nyentuh kamu, itu hal yang memalukan? Harusnya kamu bersyukur!”
“BERSYUKUR?!” Berta kehilangan kendali, melangkah maju ke arah Sherly. “Kamu pikir aku nggak punya harga diri?”
“Harga diri?” ucap Sherly dengan nada mengejek.
Agnes, yang sejak tadi berusaha menahan diri, akhirnya tak bisa tahan lagi. “SHERLY, CUKUP!” bentaknya, membuat semua orang terdiam. Tatapan Agnes penuh kemarahan yang jarang terlihat, bahkan Fajar sedikit terkejut. “Kamu pikir kamu siapa ngomong gitu ke sahabatku?”
Sherly memutar bola matanya. “Aku cuma ngomong fakta, Agnes. Berta terlalu membesar-besarkan hal kecil. Kakakku nggak sengaja, tapi dia malah sok benar.”
"Fakta, hah?" sahut Agnes tidak terima, ia pun menghampiri Sherly sembari menggulung baju di lengannya siap untuk memberi pelajaran secara fisik pada Sherly.
Namun, saat ketegangan sudah mencapai puncaknya, tiba-tiba terhenti ketika Fajar memotong percakapan. "Cukup, Agnes," ucapnya dengan suara rendah namun penuh wibawa. Semua orang terdiam, seakan dunia mereka berhenti sejenak.
Agnes, yang sudah terlalu kesal, langsung menatap Fajar dengan tajam. "Pak, kalau Bapak bela Sherly, nanti malam Bapak tidur di luar!" serunya, dengan suara yang menggema di ruangan.
Fajar tersentak, tak menyangka kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut sang istri. Semua mata tertuju padanya, dan meskipun ia terlihat tenang, ada kilatan perasaan yang sulit disembunyikan di balik tatapannya. Berta terdiam, sedikit terkejut dengan reaksi Agnes yang begitu berani. Sherly pun menahan napas, menunggu respons dari Fajar.
Fajar menghela napas panjang, menatap Agnes dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kamu serius?"
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,