Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24: Rasa yang Enggan Diakui
Sepulang sekolah, Difa bersama anggota geng Black Secret berkumpul di ruang kepala sekolah. Bapak kepala sekolah duduk di kursinya dengan wajah tegas. Sementara itu, Bu Tya, Mita, dan seorang guru BK duduk di sisi lainnya dengan tatapan penuh perhatian. Semua orang dalam ruangan tampak fokus pada apa yang akan dibahas selanjutnya.
Ruangan itu terasa sangat sunyi, hanya terdengar suara pelan jam dinding yang berdetak di tengah ruangan. Bapak kepala sekolah menatap semua yang hadir dengan pandangan serius. “Baik, mari kita mulai,” ujarnya dengan suara tegas.
Bapak kepala sekolah menatap Difa terlebih dahulu, matanya tajam dan penuh empati. “Difa, saya dengar dari Alfariel dan teman-temanmu bahwa kamu punya informasi penting yang selama ini ditutupi. Silakan ceritakan semuanya secara jelas dari awal. Saya ingin mendengar dari sudut pandangmu.”
Difa menelan salivanya dengan berat, wajahnya masih tampak sedikit khawatir. Dia mulai berbicara dengan pelan. “Selama beberapa bulan terakhir, saya merasa terus diintimidasi oleh Mita dan teman-temannya di ekskul tari. Mereka bilang saya nggak pantas ada di sana, bilang saya cuma numpang menang. Awalnya saya nggak terlalu peduli, tapi lama-lama jadi terus-terusan sampai saya merasa tertekan.”
Difa berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. “Saya sudah coba jelasin ke Mita, tapi dia malah makin agresif. Bully-an mereka terus terjadi, sampai teman-teman lainnya juga mulai ikut-ikutan. Saya nggak tahu lagi harus gimana.”
Bapak kepala sekolah mengangguk, mendengarkan dengan seksama sebelum menoleh ke anggota Black Secret lainnya yang berdiri di belakang Difa. “Kalian semua yang ada di sini, tolong ceritakan apa yang kalian saksikan selama ini.”
Alfariel mengambil langkah maju, suaranya penuh keyakinan. “Pak, kami semua melihat sendiri bagaimana Mita dan beberapa anggota ekskul tari lainnya mem-bully Difa. Mereka ngomong kasar, mengucilkan Difa dari kelompok, bahkan sampai berusaha menjatuhkan semangatnya saat latihan.”
Fariz mengangguk setuju. “Betul, Pak. Bahkan sampai ada ancaman langsung ke Difa. Kami tidak bisa lagi biarin ini terus-terusan terjadi tanpa tindakan.”
Gibran juga ikut menjelaskan, “Pak, kami punya bukti rekaman yang bisa memperkuat apa yang kami katakan. Semua percakapan yang terjadi di ekskul tari, salah satunya komentar jahat yang keluar dari mulut Mita.”
Bapak kepala sekolah menatap ponsel yang dipegang Gibran dengan seksama lalu beralih ke Difa. “Difa, apa yang sudah kamu alami selama ini benar-benar mengkhawatirkan. Kami tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. Mita, bisa kamu jelaskan apa maksud dari semua ini?”
Mita yang sejak tadi hanya diam menampakkan wajah yang terlihat takut. “Pak, saya memang marah karena merasa Difa mengganggu ekskul tari kami. Saya pikir dengan cara itu, dia akan sadar dan pergi sendiri. Saya nggak nyangka sampai jadi kayak gini.”
Bapak kepala sekolah mendesak dengan suara tegas. “Maksud kamu mengganggu itu apa, Mita? Bullying bukan solusi. Apa yang kamu lakukan jelas-jelas melanggar aturan sekolah. Kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu.”
Mita menunduk, wajahnya memerah. “Saya ... saya hanya kesal, Pak. Saya merasa Difa bukan anggota yang pantas. Saya cuma ingin dia sadar bahwa dia tidak bisa terus mengungguli kami di lomba tari.”
Bapak kepala sekolah mengerutkan kening. “Jadi, kamu sengaja memperlakukan Difa seperti ini hanya karena cemburu atas kemenangan yang dia dapatkan? Ini tidak hanya merusak nama baik ekskul, tapi juga nama baik sekolah. Saya tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.”
Bu Tya yang duduk di samping kepala sekolah akhirnya angkat suara. “Pak, saya sebagai pembimbing ekskul tari sudah beberapa kali mencoba menegur Mita, tapi ternyata tidak ada perubahan.”
Guru BK juga ikut menambahkan, “Pak, ini bukan hanya tentang Difa. Kita perlu melihat keseluruhan situasi. Jika tindakan seperti ini tidak dihentikan, maka akan berdampak buruk pada seluruh siswa di sekolah.”
Bapak kepala sekolah menghela napas panjang lalu mengambil keputusan. “Baiklah, berdasarkan semua bukti yang ada dan keterangan dari Difa serta kalian semua, saya memutuskan untuk memberikan teguran keras kepada Mita. Dia akan dikenai skors selama satu minggu untuk memberikan efek jera. Ini adalah pelajaran untuk semua siswa bahwa bullying tidak akan pernah ditoleransi di sekolah ini.”
Mita terlihat terkejut dan mulai berdebat. “Tapi, Pak! Om saya kan wakil kepala sekolah, ini nggak adil—”
“Sudah cukup!” Bapak kepala sekolah memotong dengan suara yang lebih keras, membuat Mita langsung diam. “Hubungan keluarga atau siapa pun tidak bisa melindungi kalian dari kesalahan. Semua harus diperlakukan sama di sini, tanpa ada pengecualian.”
Bapak kepala sekolah menatap semua yang hadir sekali lagi, matanya penuh ketegasan. “Saya ingin semua siswa di sini belajar dari kejadian ini. Kami di sekolah tidak akan pernah mentoleransi bullying dalam bentuk apa pun. Semua siswa harus saling menghargai dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang sehat.”
Bapak kepala sekolah akhirnya menutup pertemuan tersebut. Semua siswa, termasuk anggota Black Secret, Difa, dan Mita, mulai meninggalkan ruang kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Geng Black Secret, Difa, dan Bu Tya senang karena keadilan terwujud. Sementara itu Mita masih dibayangi oleh konsekuensi yang harus dia hadapi.
***
Di area parkiran siswa.
“Oi, lo mau ikut nggak?” tanya Alfariel sambil menyalakan mesin motornya.
“Ke mana, Al?” Abyan balas bertanya dengan rasa penasaran.
“Gue mau makan bakso Pak Agus. Laper banget nih,” jawab Alfariel sambil menggosok perutnya yang keroncongan.
“Gue ikut,” ucap Abyan tanpa ragu.
“Yaudah deh, ayo mending kita bareng aja.” Alfariel tersenyum kecil. Tidak lama setelah itu, keduanya berangkat menuju warung bakso favorit yang terletak tidak jauh dari sekolah.
Sesampainya di sana, mereka menemukan Aletta dan Agisha yang sudah duduk santai di salah satu meja. Alfariel sempat sedikit terkejut melihat mereka, sedangkan Abyan langsung menyunggingkan senyum lebar begitu matanya menangkap sosok Aletta.
“Eh, Aletta! Wah, ketemu lagi kita,” sapa Abyan dengan antusias.
Aletta membalas dengan senyum ramah sambil melambaikan tangan. “Iya, nih. Lagi cari bakso juga, ya, By?”
Tanpa ragu, Abyan melangkah mendekati meja mereka dengan semangat yang tidak bisa ditutupi. “Iya, pas banget bisa ketemu kalian di sini!”
Alfariel memperhatikan interaksi mereka dari jauh. Mata Alfariel mengerjap, sedikit bingung dengan situasi yang sedang terjadi.
Dengan ekspresi jahil, Abyan mengangkat alisnya sambil mendekati Aletta. “Eh, Let, lo sadar nggak kalau bakso itu mirip gue?”
Aletta memirinngkan kepala dengan sedikit bingung, senyuman tetap menghiasi wajahnya. “Hah? Miripnya di mana, tuh?”
“Sama-sama bikin nagih. Bedanya, kalau bakso bikin kenyang, gue bikin lo seneng terus,” jawab Abyan dengan gaya sok percaya diri.
Aletta terkikik kecil. “Aduh, gombalan lo keterlaluan, By. Tapi hati-hati, jangan sampai yang nagih malah lo sendiri.”
Abyan langsung memasang ekspresi pura-pura serius. “Udah terlambat, Let. Gue udah ketagihan sama senyuman lo dari tadi. Jadi, sekarang siapa yang tanggung jawab, nih?”
Aletta geleng-geleng sambil menahan tawa. “Aduh, lo tuh ya. Gombal banget. Tapi gue nggak mau tanggung jawab kalau lo makin jadi begini.”
Abyan mendekat sedikit ke arah Aletta. “Kalau lo nggak mau tanggung jawab, gimana kalau kita saling melengkapi aja? Lo bikin hari-hari gue ceria, gue pastiin lo nggak pernah bosen.”
Aletta tertawa lepas sampai harus memalingkan wajah. “Ya ampun, lo lucu banget! Tapi jangan kebanyakan gombal, nanti gue beneran percaya.”
Abyan menunjuk dirinya sendiri dengan gaya percaya diri. “Nah, itu tujuan gue, Let. Biar lo percaya kalau cuma gue yang cocok jadi partner makan bakso lo setiap hari.”
Dari kejauhan, Alfariel yang mengamati mereka tidak bisa menahan senyumnya. Di balik senyuman itu, ternyata ada perasaan lain yang perlahan muncul. Perasaan yang membuatnya menyadari bahwa ketika melihat Aletta tertawa bahagia bersama Abyan justru menghadirkan rasa kosong di dalam hatinya, seolah-olah dia yang seharusnya ada di posisi itu. Alfariel mencoba menghiraukan perasaan tersebut. Dia memilih untuk bergegas mendekati Pak Agus dan memesan. “Pak, bakso dua sama es teh dua, ya.”
“Siap, Bos. Ditunggu, ya,” jawab Pak Agus dengan semangat sambil tersenyum lebar.
Alfariel berjalan perlahan menuju meja tempat Abyan, Aletta, dan Agisha duduk. Tanpa banyak bicara, dia menarik kursi dan duduk di samping Abyan, wajahnya tetap datar.
Agisha yang memperhatikan gerak-gerik kakaknya tidak mau melewatkan momen itu. Dia langsung melontarkan komentar, “Wah, Abyan sama Aletta tuh kayaknya cocok banget, ya. Serasi, deh. Gimana, Kak Ren? Lo setuju, nggak?"
Alfariel hanya mengangkat bahu ringan, mencoba terlihat santai. “Entahlah.”
Belum puas, Agisha terus menggodanya. “Ciye … Kalau gue sih udah dari tadi cemburu, tuh. Tapi lo kayaknya nggak peduli, ya?”
Alfariel tetap tenang, menyunggingkan senyum tipis. “Cemburu buat apa? Mereka kan cuma teman.”
Saat percakapan mereka berlangsung, Pak Agus muncul dengan membawa dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh. “Ini pesanan kalian. Silakan dinikmati!” ujarnya ramah sambil meletakkan makanan di meja.
Di tengah mereka menikmati bakso, Agisha tiba-tiba mengeluarkan ponselnya. “Eh, kalian lihat deh! Ini postingan temen gue. Buset, ini rame banget di grup,” katanya antusias sambil menunjukkan layar ponselnya.
Alfariel menoleh ke arah ponsel itu. Agisha memperlihatkan sebuah Instagram story yang memuat foto Mita lengkap dengan keterangan bahwa ia diskors selama seminggu karena kasus bullying terhadap Difa. Di bawahnya, terlihat banyak komentar dari siswa-siswi SMA Global yang ikut membahas kejadian tersebut.
“Akhirnya terkuak juga siapa biang kerok di ekskul tari,” jelas Agisha sambil terus menunjukkan layar ponselnya ke arah mereka bertiga
Aletta mengerutkan kening setelah melihat story tersebut. “Sebentar, ini maksudnya apa, sih? Kok Mita sampai diskors? Emangnya dia ngapain?”
Abyan segera menjawab dengan nada santai tapi serius, “Oh, itu soal kejadian di ekskul tari, Let. Jadi ceritanya, Difa itu sempat kena bully sama Mita. Akhirnya kepala sekolah langsung turun tangan deh. Mita kena skors seminggu.”
Alfariel mengangguk, menambahkan penjelasan. “Iya, kasusnya sempat heboh. Tapi bagus sih, jadi semua pada tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Aletta mengangguk pelan, tampak memikirkan sesuatu. “Kasihan juga sih Difa. Tapi, kenapa Mita sampai berani begitu?”
Agisha menghela napas sambil menyendok bakso terakhirnya. “Katanya sih karena Difa lebih berbakat dan Mita ngerasa tersaingi. Jadi ya, gitu deh.”
Percakapan itu terhenti sejenak saat mereka menyelesaikan makanannya. Setelah membayar, mereka berempat berjalan keluar warung bakso, udara malam yang sejuk menyambut mereka.
Alfariel tiba-tiba menoleh ke arah Aletta. “Aletta, lo bawa motor, nggak? Kalau nggak, gue bisa anterin lo pulang.”
Aletta sempat ragu, tetapi sebelum sempat menjawab, Abyan menyela dengan gaya bercanda. “Eh, tunggu dulu. Kalau Aletta pulang sama lo, terus Agisha gimana?”
Agisha mengangkat alis sambil menahan tawa. “Gue bisa sendiri kali. Nggak usah lebay, By.”
Abyan tidak menyerah. Dengan senyum lebar, dia berkata, “Nggak bisa gitu, dong. Gue kan gentlemen. Kalau gitu, biar gue aja yang anterin Aletta. Lo bareng sama adik lo aja, Al.”
Alfariel mengernyit, perasaan tidak nyaman mulai menghampirinya kembali. “Kalau gitu, ya terserah Aletta aja. Mau pilih bareng siapa.”
Aletta mengalihkan pandangannya ke Abyan dan Alfariel, merasa sedikit canggung. “Hmm, nggak usah ribut. Aku juga bisa pulang sendiri, kok. Lagian rumah aku dekat.”
Abyan langsung memotong. “Nggak bisa, Let. Udah malem, bahaya. Pokoknya harus ada yang nemenin.” Dia menatap Aletta sambil menunjuk dirinya sendiri dengan percaya diri.
Alfariel hanya diam, menatap Abyan dengan tatapan penuh arti yang sulit ditebak. Suasana jadi sedikit tegang, meskipun Agisha berusaha menahan tawa di belakang mereka.
Aletta menghela napas sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa aneh. “Oke, oke. Kalau gitu, aku pulang bareng Abyan aja.”
Abyan langsung memasang wajah sumringah, seperti anak kecil yang baru saja memenangkan hadiah. “Nah, gitu dong, Let!”
Alfariel tetap diam. Ada sedikit perubahan di wajahnya. Tatapannya menjadi lebih dingin. “Ya udah, kalau gitu hati-hati di jalan, ya.”
Agisha melirik kakaknya dengan senyum nakal lalu menyikut pelan lengannya. “Ciye … Jangan bete, dong, Kak Ren.”
Alfariel hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Dia berjalan menuju motornya sambil menghindari tatapan orang lain.
Sementara itu, Abyan sudah siap dengan helm di tangan. “Yuk, Let. Gue janji perjalanan kita bakal aman dan seru. Lagian, siapa tahu nanti gue bisa bikin lo ketawa sepanjang jalan.”
Aletta terkekeh lalu mengenakan helm yang diberikan Abyan. “Ayo deh, jangan banyak gaya, nanti malah kelamaan di sini.”
Mereka berdua pun melaju meninggalkan warung bakso, meninggalkan Alfariel yang masih berdiri di dekat motornya bersama Agisha.
Saat Abyan dan Aletta mulai menjauh, Agisha mengintip reaksi kakaknya. “Kak Ren, lo seriusan nggak apa-apa? Kok dari tadi muka lo kayak orang kalah lomba?”
Alfariel menghela napas panjang, lalu menghidupkan mesin motornya. “Nggak ada apa-apa” Tapi nada bicaranya yang lebih datar dari biasanya membuat Agisha makin yakin kalau kakaknya menyimpan rasa yang tidak ia akui.
Sepanjang perjalanan pulang, suasana di antara mereka terasa hening, seolah ada banyak hal yang ingin diungkapkan, tapi dibiarkan tetap menjadi rahasia.
***
Bersambung ….