Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 Solusi Sementara
Pagi hari di kediaman Mahendra, kali ini suasana terasa berbeda. Biasanya pagi-pagi rumah sudah dipenuhi suara berisik putri semata wayangnya, Arabela, yang entah sibuk bermain dengan kucingnya, mengganggu para pembantu atau berolahraga di halaman. Namun, pagi ini semuanya terasa sunyi.
“Mana Arabela? Eni?” tanya Mahendra Pada pembantu yang mengantarkan dia secangkir minuman hangatnya. Dia selalu memanggil putrinya dengan nama lengkap, merasa nama itu terdengar manis dan mencerminkan putri kecilnya yang baik hati. Namun, kali ini, tidak ada jawaban.
Pembantunya tampak bingung karena dari semalam dia tidak mendengar suara Abel atau melihat Abel di rumah, tapi sebelum dia sempat menjawab, Ode muncul di pintu, membawa pakaian kerja Mahendra yang masih terbungkus rapi dalam plastik. “Abel ke Surabaya kemarin, Pak,” jawab Ode dengan tenang sambil meletakkan pakaian itu ke kursi. “Katanya, masih tentang nggak terima sama kelulusan di kampus yang kita pilih itu.”
Mahendra mengernyit. “Ke Surabaya? Tempat Claudia?”
“Betul, Pak. Menurut saya, izinkan saja dia di sana. Biar puas-puasin main dulu sebelum dia berangkat ke Aussie. Lagian masih dalam pengawasan kok,” jawab Ode, suaranya terdengar yakin, seperti sudah menyiapkan semua jawaban dengan baik.
Mahendra mendengus pelan, lalu mengangguk. “Ambilkan ponsel saya. Saya mau dengar suaranya.”
Ode, yang sudah memperkirakan semuanya ini, dengan cepat menyerahkan ponsel Mahendra. “Barusan saya telepon, Pak,” katanya sambil menahan senyum kecil. “Katanya Abel dia baru mau sarapan. Tapi ya, Abel bilang nggak mau bicara sama Papa, lagi nggak mood, katanya. Ya, taulah Abel kalau merajuk gimana.”
Mahendra terdiam sejenak, menatap Ode dengan pandangan penuh arti. Dia tahu putrinya punya sifat keras kepala, tapi tetap saja, hati kecilnya sedikit sedih mendengar jawaban itu. “Hmmm, oke, Papa terima,” katanya akhirnya, mencoba terlihat tenang meski di dalam hatinya ada rasa sedih yang tidak dia ungkap.
Dia perlahan mengambil cangkir tehnya, menyesap dengan anggun. Pikiran-pikirannya melayang pada Arabela, putri kecil yang telah menemaninya sejak lahir. Dari bayi hingga sekarang, dia selalu membawa Abel ke mana pun, bahkan saat tugas kerja membawanya berpindah-pindah. Namun kini, semuanya berubah. Arabela telah dewasa, dan Mahendra tahu saatnya sudah tiba untuk membiarkan putrinya melangkah sendiri, membiarkan dia melangkah dengan kakinya sendiri.
“Pastikan Arabela baik-baik saja, selalu awasi dia,” ujar Mahendra pelan, menyerahkan kembali ponselnya pada Ode. Tapi saat akan melanjutkan tehnya, pikirannya terhenti oleh sesuatu yang telah lama terlintas di benaknya.
“Sebentar, Ode,” kata Mahendra, menatap pria feminin namun tetap berpakaian seperti pria tulen yang sudah berusia 38 tahun itu dengan sorot mata serius. “Ada yang ingin saya tanyakan.”
Ode, yang sudah bekerja dengan Mahendra sejak dia berusia 21 tahun saat Abel bahkan baru berusia satu tahun hanya mengangguk pelan, menunggu pertanyaan bosnya.
“Menurutmu,” Mahendra memulai dengan hati-hati, “Apakah Arabela... sudah mulai dekat dengan pria?”
Ode menahan napas sejenak, mencoba membaca maksud dari pertanyaan itu. Mahendra melanjutkan, “Kencan maksudnya?”
Anak anda pak, bukan di dekatin bukan kencan, noh! Dia lagi ngejar lakik. Duh pusing tau!
“Ya.”Jawab Mahendra lagi.
Ode tersenyum menatap Mahendra untuk memberikan jawab, “Seperti yang kita tau dia bukan tipe yang suka bergaul. Dia hanya dekat dengan segelintir orang. Tapi... Ya kita nggak tahu segalanya. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan, sepengetahuan saya sih Abel hanya dekat-dekat biasa sama teman-teman cowoknya. Kalau kencan sih belum ada.”
“Hemmmm selalu awasi dia... “ Mahendra merasa seakan tidak siap saat putri kecilnya beranjak ke arah sana lalu meninggalkan dia, Ya itu memang akan terjadi tapi dia berharap tidak dengan orang yang salah.
“Pak Mahen tenang aja, saya akan selalu awasi dia. Kalau ada sesuatu, saya pastikan Pak Mahen jadi orang pertama yang tahu.”
Mahendra mengangguk pelan, mencoba mempercayai kata-kata Ode. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan gelisah yang sulit dia abaikan. Sebagai seorang ayah, Mahendra merasa dia mengenal putrinya. Tapi semakin dewasa Arabela, semakin banyak hal yang tampaknya mulai menjauh dari kendalinya.
***
Pagi menjelang siang, suasana di rumah sakit mulai terasa lebih hidup. Suara langkah kaki terdengar di sepanjang lorong, bercampur dengan dering telepon dari meja resepsionis dan obrolan pelan para pengunjung yang mulai berdatangan. Pintu-pintu kamar pasien sesekali terbuka dan tertutup, menampilkan kesibukan para perawat yang berlalu-lalang membawa peralatan medis atau petugas rumah sakit yang mengantar makanan.
Kondisi Abel akhirnya dinyatakan baik-baik saja. Darah yang semalam berserakan di lantai ternyata hanya akibat jarum infus yang sengaja dia lepas. Itu semua adalah bagian dari manipulasi Abel, cara liciknya untuk memperkeruh keadaan dan memastikan Auriga tidak meninggalkannya begitu saja. “Kalau nggak seperti ini, mana mungkin dia tetap di sini?” pikir Abel, puas dengan rencananya.
Siang hari, keadaan Abel sudah membaik. Dokter bahkan memberikan izin untuk memulangkannya, meskipun tetap menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Hal itu justru membuat Auriga semakin frustrasi.
“Ya pulang saja, apa urusan saya.”
“Dia sudah bisa pulang,” ujar dokter dengan tenang. “Tapi... kondisinya masih perlu dipantau. Sampai sekarang, dia masih belum mengenali apa pun, dan itu cukup membingungkan mengingat tidak ada cedera serius di kepala akibat jatuhnya botol itu. Benturannya kuat, tapi tidak menimbulkan kerusakan yang signifikan. Bisa jadi, kondisinya ini bukan akibat insiden kemarin, melainkan memang sudah ada sebelumnya.”
Auriga mendengarkan penjelasan itu dengan alis bertaut, otaknya berusaha mencerna informasi tersebut. “Jadi dia memang... begini?” pikirnya sambil memijat pelipis. “Atau dia mengalami kerusakan saraf?”
“Nah itu, itu yang di takutkan. Untuk pemeriksaan itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, sebaiknya cari keluarganya, ini di sinyalir dia bukan sakit baru, seperti mungkin ada kelainan dari sebuah tekanan mental membuat kemampuan mengingatnya melemah atau hilang.”
Auriga semakin frustrasi memikirkan mencari keluarganya di mana, tapi sebelum dia sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, ponselnya bergetar di saku. Dia meraih ponsel itu dan melihat nama yang terpampang di layar Oma.
Auriga menghela napas pelan sebelum menjawab panggilan itu. Suara berisik neneknya langsung terdengar di ujung telepon.
"Oma?"
“Kamu di mana, Ga? Katanya mau pulang ke Oma semalam. Kok sampai sekarang nggak muncul juga?” suara sang Oma penuh kekhawatiran, tapi tetap hangat seperti biasanya.
Auriga terdiam sejenak, mencoba mencari alasan. Dia menegakkan tubuhnya, berusaha membuat nadanya terdengar tenang. “Ya, Oma, ini lagi di jalan. Ada pekerjaan mendadak semalam, jadi nggak sempat pulang.”
“Pekerjaan apa lagi sampai tengah malam? Kamu masih di Jakarta, kan? Oma nungguin kamu sampai ketiduran!”
Auriga tersenyum tipis, “Oma tenang saja. Sebentar lagi saya pulang. Oma lagi di mana sekarang?” Dia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan nada santai.
“Tenang-tenang, Oma lagi mau pergi ke tempat pencarian pembantu,” jawab sang nenek. “Mbak yang biasa kerja di rumah kan pulang kampung buat nikah. Jadi Oma mau cari yang bisa bantu, biar si Narsih sama Wiwid nggak terlalu repot. Sekalian yang bisa temani Oma ke mana-mana.”
“Mbak baru?” Auriga mengulang, matanya tiba-tiba berbinar sejenak, seperti teringat sesuatu. “Oma butuh yang muda? Kayak yang kemarin?”
“Iya, biar bisa temani Oma. Oma kan nggak bisa sendiri terus,” jawab neneknya sambil tertawa kecil. “Kamu tahu kan, Oma maunya ada yang enerjik. Kalau Narsih dan Wiwid aja, kasihan. Mereka kan udah tua.”
Auriga terdiam sejenak, pikirannya mulai bergerak liar. Wanita di ruangan perawatan itu muncul di benaknya. Wajahnya yang polos, kondisi fisiknya yang normal hanya saja, linglung. Dia bisa menjawab semua pertanyaan dokter dengan baik, tapi tidak tahu siapa dirinya, di mana dia tinggal, atau apa yang terjadi sebelumnya. Satu-satunya hal yang terus dia ulang adalah panggilan “Mas,” sesuatu yang membuat Auriga merinding sekaligus bingung. “Mas? Apa maksudnya? Siapa yang dia cari?”
Sambil menahan napas, Auriga mulai mempertimbangkan sebuah ide. “Kalau dia nggak tahu siapa dirinya, nggak punya tempat untuk pulang, mungkin... dia bisa tinggal sama Oma. Dia kan butuh tempat pulang dan Oma butuh seseorang.” Pikiran itu terus berputar di kepalanya, meski dia sendiri belum yakin apakah ini ide yang brilian atau justru bencana.
“Oma,” katanya perlahan, mencoba mengukur respons neneknya. “Kalau ada yang... ‘mungkin' nggak punya pengalaman tapi kelihatannya baik, bisa kerja untuk Oma, gimana?”
Neneknya terdengar sedikit bingung di ujung telepon. “Maksud kamu apa, Auriga? Kamu kenal seseorang?”
“Hmm, mungkin. Tapi aku belum yakin,” jawab Auriga, berusaha terdengar santai. “Nanti aku lihat dulu. Kalau memang cocok, bisa kenalkan ke Oma.”
“Oke, tapi cepat ya. Oma butuh sekarang, Oma kan mau pergi ke acara besok.” ujar sang nenek.
“Iya Oma, segera.”
Setelah menutup telepon, Auriga berdiri diam di lorong rumah sakit, menatap pintu ruangan wanita itu. Ide yang tadi sempat terlintas mulai terasa lebih masuk akal, meski dia tahu ada risiko di baliknya.
Membawa wanita tanpa identitas untuk tinggal bersama neneknya bukanlah keputusan masuk akal. Tapi di satu sisi, dia dia bingung akan di apakah wanita ini, dia di buat bertanggung jawab atas kondisi wanita itu, sial, Lempar ke dinas sosial gimana?
Auriga yang bimbang pun menyampaikan rencananya kepada dokter yang menangani wanita itu dan tahu semuanya. Dengan hati-hati, dia menjelaskan bahwa dia berencana membawa wanita tersebut ke rumah neneknya untuk sementara waktu, sambil memastikan kondisinya tetap diawasi. Dokter mendengarkan dengan serius, kemudian memberikan saran yang cukup masuk akal.
“Jika Anda memang bersedia membawanya, itu sebenarnya langkah yang baik,” kata dokter dengan nada yakin. “Kasihan jika dia langsung dibawa ke panti sosial. Di sana terlalu banyak orang, dan mungkin pengobatannya tidak akan terawasi dengan baik. Namun, jika nanti Anda merasa kewalahan atau dia menunjukkan perilaku yang membahayakan, seperti memukul atau bertindak kasar, maka kita bisa mempertimbangkan alternatif lain, seperti rumah sakit jiwa atau panti sosial yang memang menangani kasus seperti ini, itu tidak akan jadi masalah jika memang benar anda tidak kenal dia.” Dokter masih saja tidak yakin Auriga tidak kenal wanita itu sebab wanita itu tampak terus memanggil dia dengan mas dan mas.
Sial, aku benar tidak kenal dia! Kenapa semua orang tidak percaya!
Auriga mengangguk, “Jadi, menurut Anda, membawa dia untuk sementara waktu adalah langkah yang tepat?”
Dokter mengangguk. “Paling tidak, cobalah beberapa hari atau minggu ke depan. Jika dia menunjukkan tanda-tanda pemulihan atau tidak merepotkan, itu akan jauh lebih baik untuknya dibanding langsung dimasukkan ke institusi. Tapi ingat jika kondisinya memburuk atau Anda merasa tidak sanggup lagi, jangan ragu untuk meminta bantuan kami atau bantuan pihak khusus untuk kasus seperti itu.”
Auriga menghela napas panjang. Saran dokter itu masuk akal, tapi tetap saja ini adalah keputusan besar. Membawa seseorang tanpa identitas dan dengan kondisi mental yang tidak stabil bukanlah sesuatu yang biasa. Tapi di satu sisi, dia merasa tidak bisa meninggalkan wanita itu begitu saja.
“Baiklah,” kata Auriga akhirnya. “Saya akan coba beberapa waktu ke depan."
Dokter tersenyum kecil, mengangguk. “Langkah yang Bagus, Pak Riga. Semoga ini menjadi keputusan yang baik untuk semuanya.”
greget banget kak 😆😆🤭
timakasi tris rahma 😘
terniat nih om ganteng mau ambil rambut bella
timakasi tris rahma 😘
ehhh..ngga taunya Riga malah 1 pesawat /Facepalm/
waaah baru ngeh aku ternyata auriga anak nya julian dan dilvina🧐😂
awas malah makin dekat kalian ga...
ana.....siap2 kau
hayyoo lohhhh bel