“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 : Usaha Arimbi Dan Niat Jahat Aisyah
“Dikasih lagi?” komentar ibu Arum menatap tak percaya lima belas kelapa hijau yang dibawa.
“Sebanyak ini ...?” Azzura tak kalah terkejut. “Dek, kita dikasih rezeki kelapa hijau asli. Susah ini dari kemarin Mamah cari juga dapatnya kelapa biasa.” Kali ini, ia mengelus-elus perutnya.
Nenek Kalsum yang juga ada di sana, dan memang tak kalah terkejut, malah berceloteh agar mereka segera menikahkan Arimbi dengan mas Aidan.
“Loh, apa salah kami? Kami enggak melanggar norma, kok!” yakin mas Aidan yang sampai menggeleng tak habis pikir pada ketiga wanita di sana dan memang selalu heboh.
“Ada apa, ada apa ...?” Azzam yang baru datang dan memang baru pulang dengan Kalandra, langsung kepo.
“Nah, ini fans garis kerasnya Mbak Arimbi!” celoteh nenek Kalsum.
“Mbah Uti, tahu saja!” Azzam yang tengah melepas kancing pergelangan kemeja lengan panjang warna putihnya langsung tersipu. “Coba bocorin kabar terbarunya,” lanjutnya.
“Mas Azzam beneran naksir Mbak Arimbi?” balas pak Kalandra masih melangkah santai menenteng tas kerjanya.
Azzam terbahak. Tawa yang sangat mirip dengan tawa sang nenek.
“Duh ... duh, langsung jadi gosip kalau gini caranya. Yang naksir Dek Azzam, Masnya yang digosipin,” ucap mas Aidan yang kemudian kembali memanggul satu karung kelapa hijaunya.
“Iya, ... kenapa bukan aku saja sih, yang digosipin?” ucap Azzam yang lagi-lagi tertawa.
“Mbak Azzura, mau Mas siapin air kelapanya?” tawar Mas Aidan sambil terus memboyong masuk satu karung kelapa hijaunya.
“Boleh banget, Mas. Sekalian kelapa mudanya jangan dibuang. Makasih banyak, ya!” balas Azzura tersenyum riang dan membiarkan tubuhnya dipeluk erat olah sang papah yang akan selalu gemas kepadanya.
Ibu Arum sampai mencubit perut pak Kalandra, mengingatkan bahwa kini, Azzura putri mereka sedang hamil muda. Bukannya, langsung anteng, pak Kalandra malah ganti haluan menjadi memeluk erat sang istri.
“Memang kami secocok itu, ya? Kok mereka jadi mendadak heboh? Apa, mereka sengaja mengalihkan perhatian karena mereka khawatir aku enggak bisa move on dari Didi? Tapi jujur sih, niatnya aku memang bakalan nunggu dek Didi nikah dulu. Baru aku mikirin jodoh buat diri sendiri. Andai Dek Azzam mau nikah dulu, apa Dek Aira mau juga, ya silakan,” pikir mas Aidan. Ia berangsur mengambil golok untuk menyiapkan air kelapa hijaunya.
Di tempat berbeda, Arimbi tengah bersemangat merebus setiap sayur untuk bakal pecel. Termasuk itu mengenai gorengan yang sedang wanita itu goreng dengan cekatan. Namun tiba saja, Arimbi kepikiran untuk menggoreng gorengannya secara dadakan agar hasilnya lebih enak.
“Berarti aku harus punya gerobak. Apa mau semacam sewa ruko saja, ya? Tapi di tempat biasa juga sudah rame sih. Andai aku bawa gerobak dari jauh pun ribet. Apa, aku beli gerobak yang pakai motor saja biar nampung banyak barang? Beli yang bekas kayaknya juga enggak mahal-mahal amat, ya!” Arimbi langsung bersemangat menyusun rencana terbarunya untuk kelanjutan dagangannya.
Sementara itu, kenyataan Arimbi yang sudah sampai berangkat jualan lagi, Arimbi bahkan sudah ganti pakaian sekaligus wangi, membuat ibu Siti yang tengah membalik jemuran pakaian geram.
“Ham, lihat! Si Arimbi saja sudah jualan dua ronde setinggi gunung itu tumpukan bahan pecel sama gorengannya. Masa iya istrimu di kamar terus? Lagi ngapain, sih? Jaga lilin apa takut debuan? Heran, pilih istri kok penjaga kasur!” kelas ibu Siti.
Ilham yang duduk di teras dan sebenarnya sedang menunggu Arimbi lewat, hanya mendengkus sebal. Lain dengan Aisyah yang memang sedang meringkuk tiduran di kasur sambil menonton drakor melalui ponselnya.
“Si Arimbi lama-lama ngeselin, ih! Cari perhatian banget pura-pura rajin gitu. Kayak enggak ada laki-laki lain saja, masih ngarep ke mas Ilham. Jadi sebenarnya, alasan dia minta talak karena agar mas Ilham ngejar-ngejar dia, termasuk mas Ilham juga?” pikir Aisyah. “Sudah bukan madu saja, senyebelin ini. Apalagi kalau sampai masih jadi madu?” batinnya lagi yang tiba-tiba saja juga sampai ingin memberi Arimbi pelajaran. “Awas saja kalau si Arimbi masih bertingkah, aku undangin teman-teman punk aku, biar sekalian tuh Arimbi digilir. Biar dia hamil di luar nikah dan jadi enggak ada yang mau sama dia! Karena hanya dengan begitu, orang-orang jadi enggak mau bahkan jijiiik ke dia!”
“Bismillah, semoga niat baik selalu berhasil baik,” doa Arimbi sepanjang jalannya. Sesekali, ia berhenti lantaran memang ada yang beli dan beberapa dari mereka sampai ada yang rela menunggu.
“Minta nomor WA-nya dong, Mbak Rimbi. Biar kalau mau beli, tinggal antar.”
Beberapa dari mereka kompak meminta nomor WA dengan dalih untuk memudahkan proses pesan sebelum bertemu. Kenyataan yang juga membuat Arimbi memiliki ide, menerima pesan online.
“Bisa dicoba semuanya, sih. Terima pesanan secara onlie juga bagus syukur-syukur rame. Jadi andai aku enggak bisa urus sendiri, aku bisa bayar orang buat bantu-bantu!” pikir Arimbi makin bersemangat.
Arimbi kembali membuka dagangannya di perempatan jalan sebelah pasar. Di sana, beberapa penjual makanan lain juga sudah berjejer. Layaknya pagi hari, suasana di sana menjadi mirip wisata kuliner. Bahkan walau tak jauh dari mereka merupakan toko-toko besar yang menjual aneka pakaian, tas, dan juga keperluan fashion lainnya, pedagang makanan layaknya mereka malah jauh lebih diburu.
Karena hujan mendadak mengguyur, mereka pun kompak bahu-membahu menepikan setiap dagangan. Termasuk tukang ojek dan tukang parkir juga turut membantu karena semua yang di sana memang sudah seperti keluarga. Di sela istirahat sambil menunggu pembeli, Arimbi mengutarakan keinginannya untuk membeli motor gerobak agar dirinya bisa mengangkut banyak dagangan termasuk penggorengan agar gorengannya bisa digoreng dadakan. Namun, semuanya lebih setuju kalau Arimbi memaknai gerobak susun yang ditaruh di boncengan motor.
“Soalnya kalau semacam gerobak motor, repot, Mbak. Harus naik turun kalau pas di jalan ada yang beli. Kalau semacam diam begini jadi dasaran sih enggak apa-apa. Nah kalau ada pembeli di jalan, otomatis, Mbak harus bolak-balik ke gerobaknya. Kecuali ada yang nyetirin motor, ada yang jaga di gerobak buat dagangin juga!” komentar tukang parkir di sana dan langsung didukung oleh yang lain.
“Bener juga, sih,” batin Arimbi yang juga langsung berpikir untuk memesan gerobak khusus untuk ia berdagang.
Sore sudah makin petang dan dagangan juga makin laris. Namun, Arimbi belum akan pulang sebelum dagangan habis. Masih ada sekitar lima belas bungkus lagi, selain rekan pedagangnya yang juga masih banyak yang jualan juga di sana.
Sambil sesekali mengobrol dengan pedagang di sebelahnya, Arimbi yang masih mengungsi di teras kios pasar yang sudah tutup, sesekali memastikan ponselnya. Dari tadi, ada beberapa yang ingin membeli pecel, dan Arimbi sengaja meminta mereka langsung ke rumah karena sang ibu juga jualan. Namun kini, Arimbi mendapat pesan dari kontak mas Aidan. Pesan yang belum apa-apa sudah langsung membuat Arimbi tegang.
“Aku nggak salah, kan, ya? Harusnya orang level Mas Aidan bakalan baru akan WA kalau memang buat urusan super penting?” pikir Arimbi.