Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Malam semakin larut, namun tidur tidak kunjung datang untuk Jian An. Ia terbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikirannya kembali melayang kepada Saka, yang tadi sore dengan santai memamerkan otot perutnya saat berganti pakaian. Melihatnya, Jian An merasa ada perasaan aneh yang bergejolak dalam dirinya perasaan yang tidak bisa ia definisikan, namun kuat dan menyelubungi hati. Itu membuatnya teringat pada suaminya, Banyu.
Banyu, dengan senyumnya yang hangat dan tatapan lembutnya, adalah pria yang dulu selalu ada untuknya. Jian An mengingat malam pertama mereka—saat itu sangat berbeda. Banyu bukan hanya suami yang sah, tapi juga sahabat yang sangat ia percayai. Mereka berdua membangun ikatan yang sangat dalam, yang membuat Jian An merasa aman dan bahagia di sampingnya. Namun, sekarang semuanya terasa jauh, seolah-olah sebuah kenangan yang sudah terlalu lama berlalu.
Bayangan Banyu yang sedang tersenyum padanya datang begitu jelas dalam pikirannya. Jian An mengingat bagaimana Banyu memperlakukannya dengan penuh kasih, bagaimana dia memimpin rumah tangga mereka dengan penuh perhatian dan cinta. Namun, kenyataan yang ada sekarang adalah dia berada jauh dari masa lalunya, di dunia yang tidak ia kenal. Dia tinggal bersama Saka, yang meski tidak dapat dia pahami sepenuhnya, tetapi cukup memberikan perhatian yang berbeda.
Perasaan itu datang lagi rindu akan Banyu, kebingungannya terhadap Saka, dan pertanyaan tentang mengapa takdir membawanya ke sini. Jian An merasa terperangkap di antara dua dunia yang berbeda. Satu dunia yang pernah ia miliki bersama Banyu, dan satu dunia yang sekarang bersama Saka, yang tampak tidak begitu peduli tetapi terkadang memberinya perhatian yang membingungkan.
Akhirnya, Jian An menutup matanya, berusaha mengusir segala pikiran yang memenuhi kepalanya. Namun, bayangan Banyu dan Saka terus berputar dalam pikirannya, seperti dua kutub yang saling menarik tanpa bisa ia hindari.
Tapi tidak bisa, akhirnya dia berjalan menuju dapur.
Jian An berdiri lama di dapur, matanya menyusuri ruang kosong yang terasa begitu hampa. Kulkas yang sepi, hanya berisi beberapa botol minuman yang tidak menarik perhatian. Namun, matanya kemudian tertuju pada lemari hias yang terletak di sudut ruangan. Di dalamnya, rak-rak berisi berbagai jenis minuman keras, terutama wiski yang berkilau dengan kemasan mewah. Ada banyak merek, seolah menunggu untuk dibuka dan dinikmati.
Rasa sesak yang ia rasakan semakin mengganggu, dan pikirannya yang tak berhenti berputar membuatnya merasa hampir gila. Ia sudah mencoba menenangkan diri, mencoba melupakan kenangan dengan Banyu, dan berusaha menyesuaikan diri dengan hidupnya yang baru. Tapi, semakin ia berusaha, semakin kuat perasaan kesendirian yang menghantui. Jian An merasa terperangkap dalam labirin emosinya, dan untuk sejenak, ia merasa seperti tidak memiliki kontrol atas dirinya sendiri.
Tanpa berpikir panjang, Jian An membuka lemari dan mengambil sebuah botol wiski yang sudah berdebu di sudut rak. Ia meletakkannya di meja, memandangi botol itu sejenak, seolah mencoba mencari pelarian dari semua kekalutan yang ada di pikirannya. “Mungkin ini bisa membuatku melupakan sejenak…” gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.
Dia tahu ini bukan solusi yang bijak, namun untuk saat itu, Jian An merasa tak ada lagi pilihan lain. Perlahan, ia menuangkan wiski ke dalam gelas kecil dan menatap cairan berwarna kecokelatan itu. Setiap tegukan terasa membakar tenggorokannya, memberikan sensasi hangat yang sejenak bisa menghilangkan rasa sesak di dadanya. Namun, semakin ia minum, semakin ia merasa kosong, dan bayangan Banyu serta Saka kembali memenuhi kepalanya.
Jian An akhirnya duduk di meja makan, menatap gelas wiski yang setengah kosong, merasa kebingungannya semakin dalam. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, tanpa tahu kemana arah yang seharusnya ia pilih.
Jian An menatap gelas wiski yang ada di tangannya, merasa bingung dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba memutuskan untuk membuka botol itu dan meminumnya. Rasa pahit yang menyeruak di mulutnya seakan mengingatkan dirinya akan banyak hal yang tidak ia mengerti, tentang hidupnya, tentang masa lalunya, dan tentang semua perasaan yang kini bergejolak dalam dirinya.
Minuman itu terasa sangat kuat, hampir seolah mengikis setiap lapisan emosinya. Setiap tegukan yang ia ambil seakan menambah beban di dadanya, membawa rasa yang tidak pernah ia kenal sebelumnya—tidak hanya pahit, namun juga seperti ada kepahitan yang tertinggal di hati, menandakan betapa ia merasa tersesat. Sesaat, ia berharap bisa melupakan semua yang terjadi dalam hidupnya, tetapi kenyataannya, minuman ini malah menambah kesadaran akan kekosongan yang ia rasakan.
Ia merasakan sensasi hangat yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya, namun tidak bisa mengusir rasa cemas yang mengganggu pikirannya. Jian An tidak tahu seberapa banyak dia harus minum untuk merasa lebih baik, atau apakah ia akan merasa lebih baik sama sekali. Setiap kali pikirannya kembali ke Saka, perasaan canggung dan bingung semakin menghantuinya, membuatnya merasa seolah terperangkap dalam hubungan yang tak pernah ia inginkan.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Jian An meletakkan gelas itu di meja dan menunduk, berusaha menenangkan pikirannya. "Apa yang sebenarnya aku inginkan?" tanyanya pada dirinya sendiri, suara hatinya terdengar lebih keras dari apa yang ia harapkan. Tapi jawabannya masih sama—ia tidak tahu. Ia hanya merasa bingung, cemas, dan entah bagaimana, kesepian.
Sambil menghela napas panjang, Jian An memejamkan mata, berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di tengah kekacauan perasaannya. Namun, gelapnya malam itu terasa semakin menyesakkan, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari bayang-bayang kebingungannya.
Saka terkejut melihat Jian An di dapur, tampak kesulitan mengendalikan dirinya saat memegang botol wiski yang sudah hampir kosong. Mata Jian An tampak sedikit sayu, dan tubuhnya tampak sedikit terhuyung-huyung seiring dengan gelas yang hampir kosong itu. Wajah Saka berubah cemas saat menyaksikan pemandangan yang tak terduga itu.
"Jian An!" serunya pelan, mencoba untuk menghampiri. "Apa yang kamu lakukan? Itu tidak baik untukmu!" Saka merasa hati kecilnya cemas melihat wanita itu dalam keadaan seperti itu. Dalam pandangannya, Jian An adalah sosok yang lembut, penuh kebingungan, dan terjebak dalam berbagai ketidakpastian. Melihatnya mencoba mengatasi rasa sakitnya dengan cara yang merusak diri sendiri membuat Saka merasa tak berdaya.
Jian An yang mendengar suaranya, mendongak dengan mata yang sedikit kabur, matanya bersinar-sinar akibat alkohol yang baru saja ia minum. Namun, ekspresi wajahnya terlihat bingung, seolah tidak sepenuhnya sadar akan apa yang baru saja ia lakukan. "Aku... aku hanya... ingin merasa sedikit lebih baik," ujarnya dengan suara serak, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Saka mendekatkan dirinya, merasa bingung harus berbuat apa. "Jian An, kamu harus berhenti. Ini tidak akan membantu," ujarnya lembut, tapi dengan nada yang penuh kekhawatiran. Dengan hati-hati, ia mengambil botol wiski yang ada di tangan Jian An, meletakkannya jauh di atas meja untuk mencegahnya mengambilnya lagi.
Jian An hanya memandang Saka dengan tatapan kosong, matanya tak sepenuhnya fokus. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Saka. Aku merasa seperti terjebak dalam hidup ini." Suaranya hampir terdengar patah, dan untuk sesaat, Saka bisa merasakan betapa rapuhnya wanita ini di hadapannya. Meskipun merasa cemas dan bingung, Saka tahu satu hal: ia tidak bisa membiarkan Jian An melanjutkan kebiasaan ini. "Mari kita berbicara, aku di sini untukmu," jawab Saka, berusaha memberikan kenyamanan meski hatinya juga terombang-ambing.
Saat tubuh Jian An jatuh ke atas Saka, waktu seakan melambat. Saka terkejut, merasakan kehangatan tubuh Jian An yang lemah dan rapuh. Bibir Jian An yang lembut mendarat di bibirnya dengan cara yang tak terduga. Dalam sekejap, jantung Saka berdebar kencang, tubuhnya membeku, dan perasaan yang tak bisa dijelaskan mulai muncul.
Jian An sendiri tampak tidak sadar sepenuhnya atas apa yang terjadi, hanya bisa merasakan tubuhnya yang terjatuh dalam keadaan bingung, dan dalam sekejap dia tersadar dari kondisi setengah mabuknya. Wajahnya langsung memerah, dan dia mencoba untuk segera menarik diri, namun lemas dan kebingungannya menghalangi gerakannya.
Saka, di sisi lain, merasa canggung dan bingung. Perasaan campur aduk menyelubungi dirinya, antara ingin menjauhkan diri atau memastikan Jian An baik-baik saja. Dalam keadaan yang begitu dekat, Saka bisa merasakan betapa rapuhnya Jian An, seolah dia sedang terjebak dalam lautan emosi dan ketidakpastian yang tak mampu dia kendalikan.
"A... aku minta maaf," ujar Jian An terbata-bata, wajahnya semakin memerah. Matanya menghindar dari tatapan Saka, merasa sangat canggung dan malu atas insiden yang terjadi.
Saka menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Tidak ada yang perlu dimaafkan," jawabnya dengan nada lembut, berusaha menenangkan suasana. Meskipun kejadian itu begitu mendalam dan membingungkan, Saka tahu bahwa sekarang lebih dari sebelumnya, Jian An membutuhkan seseorang yang bisa membantunya melewati ketidakpastian dan kesakitannya.