Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Penyelamat Situasi
Arlan yang berdiri di sisi Alika memerhatikan Mulya dan Tari dengan sorot mata dalam. Ia tahu mereka merasa minder berada di tengah orang-orang kalangan atas.
"Tidak ada yang merepotkan," kata Arlan akhirnya, suaranya tenang. "Kakek dan Nenek adalah keluarga Alika, berarti keluarga saya juga. Jika kalian ingin pulang karena memang ingin, saya tidak bisa menahan. Tapi jika kalian merasa tidak pantas berada di sini, maka saya yang akan mengantar kalian masuk ke dalam dan memastikan kalian menikmati pernikahan cucu kalian."
Mulya dan Tari saling berpandangan. Ada getaran haru dalam hati mereka. Namun, pada akhirnya, mereka tetap memilih untuk pergi.
"Jaga Alika baik-baik," pesan Mulya.
Arlan mengangguk. "Selalu."
Mereka pun pergi, meninggalkan Alika yang menatap kepergian mereka dengan perasaan campur aduk. Namun, genggaman tangan Arlan di jemarinya memberi ketenangan.
"Jangan khawatir," bisik Arlan. "Aku akan memastikan mereka tetap bisa melihatmu bahagia."
Alika menatap suaminya, tersenyum tipis. Hari ini, ia resmi menjadi istri Arlan, dan meski ada kepingan kecil yang terasa hilang, ia tahu dirinya berada di tempat yang benar.
Namun sesaat kemudian, Alika melihat Adriel yang tengah tertawa kecil sambil berlarian bersama seorang bocah lain seusianya. Adriel dan putra rekan bisnis Arlan itu terlihat sama cerianya, seolah mereka sudah lama berteman.
Biasanya, Adriel selalu menempel padanya, terutama di tempat asing dengan banyak orang. Namun, kali ini berbeda. Bocah itu tampak menikmati suasana, berlarian di sekitar taman kecil yang dihiasi lampu-lampu indah.
Seorang pelayan yang sebelumnya ditugaskan Alika untuk menjaga Adriel berdiri tak jauh dari mereka, memastikan keduanya tetap dalam pengawasan.
Alika menghela napas lega, tersenyum kecil. Setidaknya, hari ini Adriel tidak rewel. Malah, ia terlihat sangat senang.
“Dia benar-benar menikmatinya, ya,” gumamnya pelan.
Ia bersyukur, meskipun ini adalah hari yang besar dan penuh perubahan baginya, setidaknya Adriel juga bisa merasakan kebahagiaan di tengah momen ini.
Mulya dan Tari mendekati Arya dengan raut wajah sedikit canggung.
“Terima kasih sudah datang,” ujar Arya dengan nada tulus, menyalami Mulya dengan hangat. “Doakan Alika agar selalu bahagia dalam pernikahannya.”
Mulya mengangguk. “Tentu, Arya. Kami hanya ingin melihat Alika mengikat janji suci. Dia sudah banyak melewati hal sulit… Semoga dia benar-benar bahagia bersama Arlan.”
Arya tersenyum tipis. “Aamiin…”
Setelahnya, Mulya dan Tari berjalan menuju Bagas dan Widi untuk berpamitan. Bagas, seperti sebelumnya, tetap bersikap ramah. “Terima kasih sudah datang. Saya harap kalian sehat selalu.”
Namun, sebelum Mulya dan Tari mendekati Widi, wanita itu sudah lebih dulu melangkah menjauh. Ia pura-pura berbincang dengan tamu lain, jelas sekali menghindari interaksi dengan mereka.
Mulya dan Tari hanya bisa saling pandang, sebelum akhirnya mengangguk sopan pada Bagas dan melangkah pergi.
Dari kejauhan, Widi sekilas melirik kepergian mereka tanpa ekspresi, lalu kembali mengalihkan perhatian.
Begitu Mulya dan Tari benar-benar pergi, Bagas mendekati Widi dengan tatapan penuh teguran. “Kenapa kau bersikap seperti itu? Setidaknya bisa bersikap sedikit lebih sopan.”
Widi tidak menoleh, hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. “Aku tidak ingin berbasa-basi.”
Bagas menghela napas berat, mencoba menahan kesal. Ia lalu berusaha mengajaknya kembali ke pelaminan untuk mengucapkan selamat pada Arlan dan Alika. “Ayo, kita ucapkan selamat pada mereka.”
Namun, Widi tiba-tiba berpura-pura ingin ke toilet. “Kau saja. Aku ke toilet dulu.” Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Bagas yang hanya bisa menatap punggungnya dengan ekspresi kecewa.
Bagas menghela napas pelan, menyadari bahwa percuma memaksa Widi. Ia mengurungkan niatnya untuk menunggu dan akhirnya melangkah sendiri menuju pelaminan, tempat Arlan dan Alika masih menerima ucapan selamat dari beberapa tamu.
Saat sampai di hadapan mereka, Bagas memasang senyum ramah. “Selamat untuk kalian berdua,” ucapnya, menyalami Arlan lebih dulu sebelum beralih ke Alika. “Semoga pernikahan kalian selalu diberkahi kebahagiaan dan ketenangan.”
“Terima kasih, Pa,” jawab Arlan dengan anggukan hormat.
Alika juga tersenyum. “Terima kasih banyak, Pa," ucapnya masih terdengar canggung dengan panggilan baru itu.
Bagas menatap mereka dengan penuh arti, terutama Alika. “Kau wanita yang kuat, Alika. Papa harap kau menemukan kebahagiaan sejati dalam pernikahan ini.”
Alika terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aamiin… Saya juga berharap begitu.”
Bagas menepuk bahu Arlan dengan ringan. “Jaga istrimu baik-baik.”
Arlan, dengan tatapan serius, mengangguk. “Tentu.”
Setelah beberapa kata tambahan, Bagas akhirnya meninggalkan mereka, berniat menyapa para tamu yang datang. Ia melangkah pergi dengan perasaan lega, meski masih menyayangkan sikap Widi.
Saat Alika berbicara dengan wanita yang pernah mengajarkan les privat padanya, Arlan mendekati Mulya dan Tari yang sedang bersiap untuk pulang. Dengan sikap tenang namun penuh penghormatan, ia berkata, "Kakek, Nenek, terima kasih sudah datang ke acara kami. Saya akan mengatur perjalanan pulang untuk kalian. Deni akan memastikan semuanya berjalan lancar."
Tepat saat itu, Deni, sekretaris Arlan, yang kebetulan berada di dekat mereka, segera menimpali, "Jangan khawatir, Pak Mulya, Bu Tari. Saya akan mengurus semua keperluan perjalanan. Saya pastikan Bapak dan Ibu merasa nyaman dan sampai di rumah dengan selamat."
Mulya dan Tari saling berpandangan, kemudian tersenyum lega. "Terima kasih, Arlan. Dan kamu juga, Deni," ucap Mulya tulus.
"Iya, terima kasih banyak. Kalian benar-benar perhatian," tambah Tari dengan nada lembut.
Arlan mengangguk kecil, menatap mereka dengan hormat. "Itu sudah menjadi kewajiban saya, Kakek, Nenek. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi saya."
Deni kemudian membimbing Mulya dan Tari ke arah pintu, memastikan semuanya siap untuk perjalanan mereka.
***
Setelah acara pernikahan selesai, suasana di rumah mulai mereda. Para tamu telah pulang, hanya menyisakan anggota keluarga dan beberapa pelayan yang tengah membereskan sisa-sisa pesta.
Di ruang tengah, Alika berdiri sendirian, tubuhnya kaku dan jemarinya saling meremas. Pandangannya sesekali mengarah ke tangga yang menuju kamar di lantai atas. Itu adalah kamar yang kini akan menjadi miliknya bersama Arlan. Namun, langkahnya terasa berat, seolah ada beban yang menahan setiap gerakan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri, tapi rasa canggung tak juga hilang. Suasana begitu sunyi, hanya suara samar pelayan yang sedang berbincang di kejauhan. Tatapannya kembali menunduk, kedua tangannya kini meremas sisi gaunnya. “Bagaimana nanti? Apa aku harus mengetuk pintu dulu? Tapi itu juga kamarku sekarang…” pikirnya gelisah.
Sebuah suara langkah terdengar dari arah tangga. Alika menoleh cepat, mendapati Arlan yang tengah berjalan menuruni anak tangga, mengenakan pakaian santai setelah berganti baju di kamarnya lebih dulu. Tatapannya langsung membuat Alika semakin salah tingkah.
“Kenapa belum ke atas?” tanya Arlan dengan nada tenang, matanya menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu.
Alika tersentak, buru-buru menggeleng. “A-aku… hanya sedang berpikir.”
Arlan mendekat, menatap Alika yang tampak canggung dan gelisah. Bibirnya melengkungkan senyum tipis. “Tidak perlu merasa tegang. Kamarnya tidak akan berubah menjadi tempat yang menakutkan, kok.”
Ucapan itu membuat Alika mendongak, menatap Arlan dengan ragu. “Aku… hanya tidak ingin membuatmu tidak nyaman,” gumamnya lirih.
Arlan menghela napas, lalu mengulurkan tangannya ke arahnya. “Ayo, aku antar. Sekarang, ini adalah rumahmu sepenuhnya. Tidak perlu terlalu memikirkan hal-hal yang membuatmu tidak nyaman.”
Alika menatap tangan itu dengan sedikit ragu sebelum akhirnya menyambutnya. Arlan menggenggam tangannya lembut, membimbingnya menaiki tangga menuju kamar mereka. Meskipun suasana hatinya masih canggung, sentuhan tangan Arlan memberikan sedikit ketenangan dalam hatinya yang gelisah.
Namun, sebelum Alika menapakkan kakinya di anak tangga, Adriel tiba-tiba menarik tangannya.
"Mama, temani Adriel tidur, ya," pinta bocah itu dengan mata berbinar.
Alika sedikit terkejut, tetapi ia tersenyum lembut. "Baiklah, sebentar saja, ya."
Arlan yang memerhatikan hanya mengangkat alis, tidak berkomentar apa pun. Ia tahu Alika pasti masih merasa canggung, dan kehadiran Adriel seolah menjadi penyelamatnya dari situasi yang tidak nyaman.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
sungguh aku sangat-sangat terkesan.....
TOP MARKOTOP BUAT AUTHOR
semoga rejeki nya berlimpah.......
tetap semangat kak ...meski gak dapat reward yakinlah ada rezeki yang lain yang menggantikan .
sehat slalu dan rejeki lancar berkah barokah . aamiin 🤲
ditunggu karya selanjutnya kak Nana .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
di tunggu karya terbaru nya 🥰❤️❤️❤️❤️
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍