Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan
Keputusan yang sederhana bagi sebagian orang, menjadi sesuatu yang begitu sulit bagi Naima. Banyak yang mungkin akan bertanya-tanya, 'Kenapa dia ragu? Kenapa tidak segera memutuskan?' Tetapi mereka tidak tahu, atau mungkin tidak bisa memahami, bahwa Naima sebenarnya sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak terlihat—gangguan kecemasan sosial.
Naima enggan mengakui itu, bahkan pada dirinya sendiri. Tapi semua tanda-tandanya ada di sana, begitu nyata. Setiap kali ia harus menghadapi orang asing atau berada di situasi sosial yang tidak familiar, tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya. Tangan yang dingin dan gemetar, keringat yang mengalir di telapak tangan, jantung yang berdetak terlalu cepat. Emosinya seperti badai yang tidak terkendali, menciptakan dinding tebal antara dirinya dan dunia luar.
Pemicunya bisa sekecil apa pun: tatapan orang lain yang terasa menghakimi, keharusan untuk berbicara di depan banyak orang, atau bahkan hanya interaksi sederhana seperti bertemu seseorang yang baru. Semua itu cukup untuk membuatnya ingin lari dan bersembunyi.
Karena itu, hubungan dengan orang lain selalu menjadi tantangan besar bagi Naima. Meskipun ia terlihat tenang di luar, di dalam dirinya ada pertarungan yang melelahkan. Setiap langkah yang diambil untuk mendekati seseorang atau menerima sebuah keputusan, seperti lamaran Malik, terasa seperti mendaki gunung yang terjal.
Bukan berarti Naima tidak ingin mencoba. Ada keinginan dalam dirinya untuk hidup seperti orang lain, untuk merasa nyaman berada di tengah keramaian, untuk tersenyum tanpa takut dinilai. Tapi keinginan itu selalu terhalang oleh rasa takut dan cemas yang begitu kuat, yang mengakar dalam dirinya sejak lama.
"Tante, apa tante percaya kalau setiap manusia punya sisi hitam dan putih?" Naima membuka pembicaraan dengan nada tenang, meski matanya memandang jauh, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Hanum menatapnya dengan lembut, memberi perhatian penuh. Naima melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan, namun sarat dengan makna.
"Kadang manusia berbuat baik, kadang mereka berbuat jahat. Tapi, Tante, sebanyak apapun kebaikan yang mereka lakukan, sekali saja ada noda hitam di hidup mereka, orang-orang lebih sering mempermasalahkan kesalahan itu daripada mengingat kebaikan-kebaikannya."
Naima menunduk sejenak, menatap jemarinya yang saling bertaut, seolah mencari kekuatan dari kata-kata yang baru saja ia ucapkan. Ada kepedihan yang tak disembunyikan di balik suaranya, sebuah perasaan yang tidak sepenuhnya ia pahami, tapi begitu nyata.
"Saya tidak tahu siapa ayah saya, Tante," ucap Naima pelan, suaranya bergetar namun berusaha tetap tenang. "Sedangkan ibu saya... seorang PSK."
Hanum terdiam, menatap Naima dengan sorot mata lembut, penuh perhatian. Tidak ada sedikit pun tanda penghakiman di wajahnya, hanya keprihatinan yang tulus. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya telah dihadapi gadis ini? Masa lalu yang kelam tentu telah meninggalkan jejak dalam diri Naima, membentuk kerendahan diri yang begitu dalam.
Hanum bisa merasakan bahwa beban itu bukan sekadar bayang-bayang masa lalu, tapi juga luka yang terus ia bawa ke masa kini. Mungkin luka itu adalah alasan mengapa Naima terlihat selalu menjaga jarak, membangun dinding tinggi di antara dirinya dan orang lain.
"Seberapa berat hidup yang telah ia jalani sampai dia merasa begitu kecil di dunia ini?" pikir Hanum. Ia hanya bisa menduga, tapi ia tahu pasti bahwa gadis ini sedang membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul seorang diri.
Naima melanjutkan, kali ini suaranya terdengar lebih tegas meski ada kepedihan yang tak bisa disembunyikan. "Tante tahu maksud saya, bukan? Saya... anak yang lahir tanpa hubungan pernikahan."
Kata-kata itu terasa seperti beban yang akhirnya dilepaskan, tapi tetap menyisakan luka di hati Naima. Ia menunduk, menghindari tatapan Hanum.
Hanum menarik napas panjang, lalu meletakkan tangan lembut di bahu Naima. "Naima, tidak ada seorang pun yang bisa memilih bagaimana mereka lahir. Yang penting adalah siapa kamu sekarang, bagaimana kamu menjalani hidupmu."
"Apa Malik mau menerima itu tante?" ujar Naima pelan, matanya menatap kosong ke depan, seolah mencari pembenaran dari kata-katanya sendiri. "Karena itu, saya biarkan. Saya pikir, jika rasa penasarannya hilang, semuanya akan selesai."
Hanum menatap Naima dengan sorot mata yang hangat, seolah ingin menyampaikan pengertian tanpa perlu banyak bicara. Tapi bagi Naima, itu hanyalah tatapan yang mengingatkannya pada aib yang ia bawa seumur hidup. Aib yang tak termaafkan, begitu menurut pandangan orang-orang di sekitarnya. Dan meski Hanum tampak berbeda, Naima yakin jika wanita itu tahu segalanya, ia pasti akan berpikir ulang tentang lamaran Malik.
"Habis ini kamu mau ke mana, Naima?" tanya Hanum, suaranya tetap ramah seperti biasa, seakan percakapan mereka sebelumnya tidak menimbulkan ketegangan apa pun.
Naima tersenyum kecil, mencoba terlihat biasa meski ada kecanggungan yang mengintai. "Mungkin pulang, Tante."
Hanum mengangguk pelan, tapi tatapannya menunjukkan ia belum selesai. "Bagaimana kalau ke rumah Tante dulu? Supaya kamu lebih kenal keluarga kami."
Naima membelalakkan mata, sedikit terkejut. "Wah, nggak perlu, Tante. Terima kasih banyak."
"Loh, nggak apa-apa kok," desak Hanum lembut. "Tante malah senang kalau kamu main ke rumah. Nanti Tante telepon Abi sama Umi, ya? Biar izin dulu."
Naima terkekeh kecil, gugup. Ia merasa seperti terpojok ke sudut yang tak bisa ia hindari. "Eh, duh... nggak usah repot-repot, Tante."
Sebelum Hanum bisa melanjutkan, suara Zahra memecah suasana. "Kakak!" Zahra berlari kecil ke arah mereka, membawa dua kantong plastik putih berisi jajanan yang baru dibelinya.
Naima memutar tubuh, melirik ke arah adiknya yang menghampiri. "Ah... Zahra."
Zahra tersenyum lebar, menyapa Hanum dengan ceria. "Pagi, Tante!"
Hanum membalas senyumnya dengan hangat. "Pagi juga, Zahra."
Tapi perhatian Naima langsung teralihkan saat Hanum berkata, "Ah, teleponnya sudah diangkat. Bentar ya, Tante telepon dulu," sambil melangkah menjauh, mencari tempat lebih tenang untuk berbicara.
Zahra mengernyit ke arah Naima, matanya penuh rasa ingin tahu. "Apa yang terjadi?" sorot matanya seolah bertanya tanpa perlu kata-kata.
Naima hanya menghela napas panjang, mengaduh kecil sambil menunduk. "Aku nggak tahu," gumamnya pelan. Dalam hatinya, ia berharap Umi atau Abi menemukan alasan, apa pun itu, agar ia tak perlu pergi ke rumah Malik.
Namun, takdir tak berpihak padanya kali ini. Hanum kembali dengan senyum penuh arti di wajahnya. "Sudah, Abi dan Umi kamu setuju kok. Yuk, kita pergi sekarang."
Naima menelan ludah. Ia memaksakan senyum, namun dalam hati kepalanya dipenuhi keluhan yang tak terucap. "Kenapa mereka begitu mudah menyetujuinya?" pikirnya dengan berat. Gagal sudah rencananya mencari ide tulisan. Bahkan dia belum sempat mengeluarkan mengetik satupun kata di laptopnya
Ah, rencananya untuk membuat Hanum bersekutu dengannya gagal total. Naima mengira wanita itu akan mengerti isyarat penolakannya dan membiarkan masalah ini berlalu begitu saja. Tapi nyatanya, Hanum justru bersikap sebaliknya—seolah memperkuat tali yang coba ia longgarkan.
Dengan langkah ragu, Naima berdiri. Zahra menatapnya bingung, tapi ia hanya menggeleng pelan, menandakan agar adiknya tidak terlalu banyak bertanya.
Hatinya memberontak, namun tubuhnya seakan tak punya pilihan selain mengikuti arus. Hari ini, ia akan memasuki rumah keluarga Malik, meski ia tahu dirinya belum siap.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak