HEROES RETURN

HEROES RETURN

•HEROES RETURN• PROLOG

Di balik dinding benteng besar yang melindungi perbatasan negara Kavaria, suara rintikan hujan terdengar, menyusup melalui celah-celah kayu dan batu yang telah rapuh karena pertempuran tanpa henti. Di tengah derasnya hujan, nyala api dari api unggun yang masih menyala, meskipun redup, menambah kesan suram pada suasana yang memanas. Kavaria sebuah negara yang telah lama dilanda peperangan, tempat di mana manusia-manusia saling bertarung demi kekuasaan yang tidak pernah habis, kini hanya tinggal menyisakan kehancuran.

Suara pedang yang beradu bergema di udara. Setiap dentingnya menjadi lagu kemenangan atau kesedihan. Para prajurit berlari dengan semangat yang semakin terkikis, sementara darah dan debu membasahi tanah yang dulunya subur. Bumi Kavaria telah lama berubah menjadi medan perang yang tak berujung, pertempuran yang terjadi siang dan malam, tak mengenal ampun. Korban berjatuhan, dan setiap langkah menuju kemenangan hanya menambah kerusakan yang tak dapat diperbaiki.

Namun, di tengah gelombang kekacauan itu, ada satu sosok yang tidak pernah lelah, tidak pernah menyerah, dan tidak pernah ingin merasakan kemenangan dalam bentuk kekuasaan. Zen Vessalius. Pria berusia 25 tahun yang berasal dari keluarga Vessalius, marga yang terkenal sebagai pewaris ahli pedang dalam sejarah panjang Kavaria. Keluarganya telah melahirkan para pendekar legendaris yang mampu mengendalikan pedang dengan ketepatan yang hampir tidak bisa ditandingi oleh siapa pun. Namun, Zen adalah seorang pria yang memiliki tekad yang berbeda. Alih-alih mengejar ketenaran atau kekuasaan, dia hanya memiliki satu tujuan: menghentikan peperangan ini, apapun yang terjadi.

Hari itu, Zen berdiri tegap di tengah medan pertempuran, dengan pedang besi yang hampir hancur di tangannya. Pedangnya yang usang itu dipenuhi bekas benturan dan darah. Namun, di matanya, ada kilatan tekad yang tak tergoyahkan. Zen tidak memikirkan dirinya, tidak memikirkan bahwa pedangnya bisa patah atau tubuhnya bisa roboh. Baginya, satu-satunya yang penting adalah menghentikan peperangan ini—membawa kedamaian bagi negaranya, meskipun itu berarti ia harus melawan dunia.

Setiap kali prajurit musuh mendekat, dia bertarung tanpa ragu, menghalau serangan dengan ketepatan yang hanya dimiliki oleh seorang ahli pedang. Namun, meski pedangnya masih terhunus, hatinya berat. Zen tahu bahwa setiap orang yang ia kalahkan di medan perang adalah seseorang yang, pada dasarnya, hanya mengikuti perintah untuk bertahan hidup. Mereka adalah korban dari sistem yang rusak, dan ini yang membuatnya semakin yakin bahwa bukan hanya pedang yang bisa menghentikan peperangan ini, tetapi juga perubahan yang lebih mendalam—sebuah revolusi dalam cara pandang manusia terhadap kekuasaan.

Saat dia mengayunkan pedangnya untuk menebas lawan terakhir yang menghadangnya, hujan semakin deras, mengguyur seluruh medan pertempuran. Zen berhenti sejenak, matanya tertuju pada langit yang gelap. Keheningan sementara itu membuatnya teringat akan kenangan masa kecilnya. Ia tumbuh di bawah bimbingan sang ayah, seorang pendekar legendaris yang mengajarkannya bahwa pedang bukanlah alat untuk menghancurkan, melainkan untuk melindungi. Tapi di dunia yang hancur ini, pedang tidak cukup hanya untuk melindungi. Pedang harus bisa menjadi simbol perubahan, sebuah harapan yang harus ditanamkan di hati setiap prajurit.

Dengan pedang yang mulai retak, tubuh yang mulai lelah, dan hati yang penuh dengan kegelisahan, Zen bersumpah pada dirinya sendiri. Ia akan mencari cara untuk menghentikan peperangan ini, bahkan jika ia harus melawan seluruh dunia.

Sementara itu, di balik benteng besar yang menjadi saksi pertempuran tanpa akhir ini, para pemimpin yang memerintah tidak peduli dengan darah yang tumpah, mereka hanya peduli akan kekuasaan yang semakin terancam. Mereka tahu bahwa perang ini tidak akan berakhir tanpa pengorbanan besar, dan mereka bersiap untuk mengorbankan lebih banyak lagi.

Zen Vessalius tidak peduli dengan mereka. Sebagai prajurit, dia tahu bahwa peperangan hanya akan berakhir dengan satu pilihan—kedamaian yang dibangun dengan tekad, keberanian, dan pengorbanan yang lebih besar daripada kekuasaan itu sendiri.

Hujan yang deras terus mengguyur medan perang, membasahi tanah yang telah diwarnai darah. Namun, suasana yang tadinya penuh dengan teriakan, denting senjata, dan raungan kesakitan, tiba-tiba berubah menjadi keheningan mencekam.

Zen Vessalius berdiri terpaku, pedang yang biasanya menjadi perpanjangan tubuhnya kini terhenti di udara. Di depannya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan muncul— sebuah elemen misterius, berputar dan bersinar dengan warna yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. la tidak tahu dari mana asalnya atau apa itu sebenarnya, tetapi kehadiran elemen itu membuat udara di sekitarnya terasa berat, seperti menekan jiwa setiap orang yang berada di medan perang.

Zen tahu, sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Dengan tubuh yang penuh luka dan nafas yang mulai tersengal, Zen memaksa dirinya untuk berlari ke arah benteng. Tapi setiap langkah yang ia ambil terasa seperti perjuangan melawan gravitasi yang semakin kuat.

Rasa sakit dari sayatan pedang dan tombak musuh semakin terasa, namun ia tidak peduli.

Di sekitarnya, prajurit-prajurit dari kedua belah pihak berlarian, meninggalkan pertempuran. Tidak ada lagi pertarungan, tidak ada lagi rasa permusuhan. Semua orang hanya mencoba melarikan diri dari elemen yang terus menyebar, meluas tanpa pandang bulu.

Zen, yang kini pincang karena luka-lukanya, tersandung tubuh seorang prajurit yang tak bernyawa. Wajah pucat korban itu menatap kosong ke langit, seolah menyampaikan pesan bahwa semua ini adalah akhir.

Zen menatap tubuh itu dengan napas terengah-engah, dan dalam hatinya muncul permohonan sederhana.

"Tolong... hentikan semua ini."

Namun, jawabannya datang dalam bentuk yang tidak ia harapkan.

Elemen itu semakin membesar, dan tekanan di udara semakin kuat. Zen, dengan pandangan yang mulai kabur, menyaksikan sesuatu yang tidak bisa ia percayai. Salah satu rekannya yang berdiri tak jauh darinya tiba-tiba membeku, tubuhnya gemetar hebat. Kemudian, darah hitam mulai keluar dari

mulutnya.

"Ramius!" Zen mencoba memanggil,

tetapi suaranya hampir tak

terdengar.

Tidak butuh waktu lama sebelum yang lain mengalami hal serupa. Satu per satu, prajurit dari kedua belah pihak mulai memuntahkan darah, tubuh mereka bergetar, sebelum akhirnya perlahan-lahan menghilang menjadi abu yang beterbangan di udara.

Zen hanya bisa menyaksikan dalam keterkejutan. Tangannya gemetar, pedangnya jatuh ke tanah.

"Apa... yang sedang terjadi?" pikirnya, namun jawabannya tidak datang.

Sebuah rasa asing mulai menjalar di tubuhnya. Ada sesuatu yang dingin dan panas sekaligus mengalir di dalam dirinya, menguasai setiap bagian tubuhnya. Ia mencoba melawan, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan.

Napasnya semakin berat, dan akhirnya ia pun merasakan darah mengalir keluar dari mulutnya. Zen terjatuh ke tanah, tubuhnya tidak lagi sanggup menahan rasa sakit yang menguasainya. Di sekelilingnya, dunia seakan berubah menjadi abu dan kehampaan. Semua orang lenyap, hanya tersisa dirinya yang masih mencoba untuk tetap sadar.

Namun, kekuatan itu terlalu besar. Pandangannya menggelap, tubuhnya menjadi dingin, dan Zen akhirnya menyerah pada kegelapan yang menyelimuti dirinya.

Dalam keheningan itu, hanya ada satu hal yang ia tahu-dunia tidak akan pernah sama lagi.

Kegelapan menyelimuti segalanya. Zen Vessalius tidak bisa merasakan apa pun, bahkan tubuhnya sendiri. Tidak ada rasa sakit, tidak ada beban. Hanya kesunyian dan suara rintikan hujan yang samar terdengar, seakan berasal dari tempat yang jauh.

"Apakah aku sudah mati?" pikir Zen, mencoba memahami apa yang terjadi.

Bayangan-bayangan samar dari pertempuran yang baru saja ia alami melintas di benaknya. Elemen misterius, darah, dan tubuh-tubuh yang berubah menjadi abu. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung.

"Jadi... ini alam kematian," gumamnya dalam hati.

Namun, kematian tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak ada rasa damai, tidak ada akhir yang tenang. Hanya kehampaan yang menelan segalanya, meninggalkannya sendirian dalam gelap yang tak berujung. Tidak ada suara, tidak ada orang yang bisa melihat atau mendengar dirinya. Ia merasa seperti debu yang melayang tanpa tujuan.

Tetapi, di tengah kegelapan yang mutlak itu, sesuatu terjadi.

Dari kejauhan, muncul secercah cahaya kecil—lemah, tetapi cukup untuk menarik perhatian Zen. Cahaya itu bersinar lembut, berbeda dari elemen menghancurkan yang sebelumnya ia lihat di medan perang. Cahaya itu memberikan perasaan hangat, seperti harapan yang mencoba menembus kegelapan.

Tanpa berpikir panjang, Zen mengulurkan tangannya ke arah cahaya tersebut. Ia tidak tahu mengapa, tetapi nalurinya mengatakan bahwa cahaya itu adalah jawabannya. Tangan gemetarnya meraih, mencoba menggenggam apa yang mungkin menjadi kesempatan terakhirnya.

Dan kemudian, semuanya berubah.

Dalam sekejap, Zen terbangun.

Ia terengah-engah, tubuhnya terasa berat dan dingin. Matanya perlahan terbuka, mengerjap mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Hujan masih turun, tetapi kali ini, suara tetesannya terdengar nyata, bukan sekadar ilusi dalam kegelapan.

Zen mencoba bangkit, meskipun tubuhnya masih lemah. Ia merasakan tanah yang lembap di bawah tangannya, bau logam darah bercampur dengan aroma tanah basah memenuhi udara. Di sekelilingnya, semuanya hancur. Tidak ada lagi suara pertempuran, tidak ada lagi prajurit. Hanya kehancuran dan kesunyian.

Dia memeriksa tubuhnya. Luka-luka yang ia dapatkan masih ada, tetapi rasa sakit yang menusuk sebelumnya terasa berkurang. Yang lebih aneh adalah perasaan dalam dirinya. Sesuatu yang berbeda mengalir di nadinya, sesuatu yang ia tidak pernah rasakan sebelumnya.

Zen menatap ke depan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu satu hal pasti: apa pun yang ia alami tadi bukanlah kematian biasa. Dan cahaya itu... cahaya itu telah membawanya kembali.

Namun, untuk apa? Apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini?

Zen menggenggam pedangnya yang tergeletak di tanah, meskipun logamnya kini tampak lebih retak dari sebelumnya. Dengan langkah yang masih goyah, ia berdiri, menatap kehancuran di sekelilingnya.

“Jika aku masih hidup...” gumamnya dengan suara serak, “maka ada alasan untuk itu.”

Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi ke depannya, tetapi satu hal pasti: perjalanan ini baru saja dimulai.

Bersambung!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!