NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:979
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦭꦶꦩ ꦧꦺꦭꦱ꧀

Panguwasa ing tangan sing salah bakal ngancurake.

Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, Kesultanan Mataram mengalami perubahan besar, baik dari segi kepemimpinan, stabilitas politik, maupun hubungan dengan kekuatan luar seperti VOC.

Sultan Agung digantikan oleh putranya, Amangkurat I, yang naik takhta pada usia muda. Namun, kepemimpinan Amangkurat I sangat berbeda dengan ayahnya. Ia dikenal sebagai raja yang otoriter dan sering kali menindas bangsawan serta rakyatnya untuk mempertahankan kekuasaannya.

Apalagi ambisi Amangkurat sendiri yang perlahan menghancurkan Mataram, hingga membiarkan Voc seenaknya berkuasa.

Angin malam berhembus pelan di sekitar keraton. Di dalam ruang tahta, Amangkurat I duduk di singgasana dengan wajah yang tegang. Para penasihat, yang biasanya berbisik dengan hati-hati, kini terlihat ragu-ragu. Kamar kerajaan yang besar itu terasa penuh dengan ketegangan yang menebal.

“Yang Mulia, kami menerima kabar dari Surabaya,” suara Pangeran Wijaya, salah seorang penasihat utama, terdengar cemas. “Sepertinya pergerakan pasukan VOC semakin gencar. Mereka ingin memperluas kekuasaan mereka di pesisir utara. Apakah kita harus bertindak?”

Amangkurat I menatap jauh ke depan, matanya terfokus pada lilin yang berkelip-kelip di meja, seolah menunggu sebuah keputusan besar. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan suara berat.

“VOC... Mereka datang dengan janji manis,” kata Amangkurat I. “Namun, aku tahu betul mereka adalah ular berbisa yang menunggu saat untuk menyuntikkan racunnya. Tapi, aku juga tahu bahwa kekuatan Mataram tidak seperti dahulu. Pasukan kita lelah, para bangsawan semakin tidak setia. Jika kita menolak mereka, kita bisa kehilangan semua.”

Para penasihat itu diam, namun kegelisahan di wajah mereka tak dapat disembunyikan. Pangeran Wijaya melangkah lebih dekat, menghadap Amangkurat I dengan hormat, namun ada keberanian yang terpendam dalam dirinya.

“Yang Mulia, apakah kita akan benar-benar tunduk pada VOC? Ayahanda Sultan Agung, beliau tidak pernah ingin ada campur tangan asing di tanah Jawa. Apakah kita akan mengkhianati perjuangan beliau?”

Amangkurat I menatap tajam ke arah Pangeran Wijaya. “Ayahanda telah meninggal, dan aku yang kini memimpin. Setiap keputusan yang kuterima adalah tanggung jawabku. Jika kita berperang lagi, apa yang akan kita dapatkan? Kemenangan yang tertunda? Kematian yang sia-sia? Tidak, aku tidak ingin melihat tanah ini hancur lebih jauh.”

Suasana semakin mencekam. Para penasihat yang lain mulai saling bertukar pandang. Mereka tahu betul bahwa Amangkurat I bukanlah pemimpin yang sekuat ayahnya. Sultan Agung selalu penuh semangat dalam mempertahankan kebanggaan kerajaan, sementara Amangkurat I cenderung lebih pragmatis, mencari jalan damai meskipun banyak yang merasa itu adalah pengkhianatan.

“Yang Mulia, namun apakah kita akan terus diam? Jika VOC semakin kuat, mereka akan menguasai lebih banyak wilayah kita,” kata Panglima Wirapatih, yang tampaknya semakin kesal. “Apakah Yang Mulia hendak menyerahkan segalanya kepada mereka?”

Amangkurat I menghela napas, merasakan beratnya beban sebagai raja. “Aku tidak akan menyerah begitu saja. Namun, aku juga tak bisa mengabaikan kenyataan. Jika aku tidak membuka jalan untuk perdamaian dengan VOC, maka kerajaan ini akan lebih cepat hancur. Terlalu banyak pemberontakan, terlalu banyak yang ingin merebut kekuasaanku.”

Pangeran Wijaya memandang dengan penuh kekecewaan, namun ia tidak berani melawan. “Jika itu keputusan Yang Mulia…”

Amangkurat I memotong dengan nada yang dingin. “Perjanjian dengan VOC akan segera diteken. Kita akan mendapatkan perlindungan dagang, dan mereka tidak akan menggangu wilayah dalam. Mataram akan tetap tegak, meski harus menerima kenyataan pahit ini.”

Sementara itu, di luar istana, kekhawatiran mulai menyebar. Para bangsawan, yang telah lama menunggu tanda-tanda perubahan, mulai merasa cemas dengan keputusan sang raja. Mereka khawatir bahwa Amangkurat I akan mengorbankan kebanggaan Mataram demi kedamaian yang rapuh.

Di tengah kerumunan, Raden Purbaya, seorang bangsawan muda, berdiri dengan penuh tekad. Ia mendekati beberapa pemimpin lainnya, suara mereka hampir tak terdengar di tengah riuhnya kota.

“Aku mendengar bahwa raja akan membuat perjanjian dengan VOC,” kata Raden Purbaya, wajahnya penuh ketegasan. “Jika benar, kita harus bergerak cepat. Tidak mungkin kita diam saja melihat tanah ini dijual kepada penjajah.”

Seorang bangsawan tua, Raden Suryatma, memandang Raden Purbaya dengan tajam. “Apa yang kau usulkan, Purbaya? Perang? Kita sudah lelah berperang, kita sudah kehilangan begitu banyak.”

“Jika kita diam, maka Mataram akan hilang dari sejarah,” jawab Raden Purbaya dengan suara keras. “Kita harus melawan, meskipun harus berkorban. Jika VOC menguasai pesisir utara, maka seluruh Jawa akan berada di bawah kekuasaan mereka.”

Raden Suryatma menghela napas, menyadari kebenaran dalam kata-kata Raden Purbaya, namun ia juga tahu bahwa situasinya semakin sulit. “Aku takut kita akan kalah, dan jika itu terjadi, Mataram akan runtuh lebih cepat.”

Amangkurat I, yang telah menerima nasihat dari para penasihatnya, akhirnya memutuskan untuk menandatangani perjanjian dengan VOC. Namun, keputusannya membuat banyak bangsawan yang tidak setuju dengan langkah tersebut merasa kecewa. Mereka merasa bahwa Amangkurat I telah mengkhianati warisan Sultan Agung yang begitu keras menentang kehadiran VOC di tanah Jawa.

Pangeran Wijaya, yang terlibat dalam pembicaraan ini, berbicara dengan tegas, “Yang Mulia, jika kita menandatangani perjanjian ini, kita tidak akan pernah mendapatkan kembali kebesaran Mataram. VOC akan menjadi raja, dan kita hanya akan menjadi bayang-bayang di tanah ini.”

Namun, Amangkurat I tetap teguh pada keputusannya. “Kita tak bisa berperang lagi. Mataram tak akan bertahan. Ini adalah pilihan terbaik yang tersisa.”

Tetapi, pilihan itu membawa konsekuensi besar. Tak lama setelah perjanjian itu ditandatangani, para bangsawan yang merasa kecewa mulai bersekutu, dan perlawanan terhadap Amangkurat I semakin menguat. Kerajaan Mataram yang dulu gagah dan berdiri kokoh mulai terlihat rapuh. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi, dan tak lama kemudian, Trunajaya dari Madura, yang merasa terabaikan, memimpin pemberontakan besar melawan Mataram.

Amangkurat I, yang awalnya hanya menginginkan kedamaian, kini harus berhadapan dengan kekacauan yang lebih besar. Kekuasaan yang tak terkontrol dan kebijakan yang tidak disetujui oleh banyak pihak akhirnya mengarah pada keruntuhan Mataram, yang semakin terpecah oleh ambisi dan keputusan-keputusan yang salah.

Apalagi pada pemerintahan Amangkurat I ditandai oleh banyak pemberontakan dari daerah-daerah yang sebelumnya setia kepada Mataram.

Salah satu pemberontakan terbesar terjadi pada masa pemerintahan putra Amangkurat I, yaitu Trunajaya dari Madura, yang berhasil menduduki ibu kota Mataram pada 1677.

Kebijakan Amangkurat I yang sering menindas rakyat dan bangsawan menyebabkan ketidakpuasan yang meluas, melemahkan otoritas Mataram di wilayah-wilayah taklukannya.

***

Di ruang kerja Jenderal Jhock yang luas, hanya suara dentingan jam dinding yang terdengar. William de Graf, dengan pakaian militer yang menunjukkan kekuasaannya di Amsterdam, berdiri di depan meja besar. Dia memandang dengan serius peta yang terbuka di hadapannya, mempelajari posisi-posisi vital di Nusantara. Dengan wajah yang tegas dan penuh keyakinan, William berkata, “Paman, aku akan berangkat ke Nusantara dalam seminggu lagi.”

Jenderal Jhock, yang sudah lebih tua dan berpengalaman dalam peperangan, mengangkat alisnya. “Apa tidak berbahaya? Kau tahu bagaimana sulitnya menaklukkan tanah itu, bahkan ketika Sultan Agung masih hidup. Dan sekarang, bagaimana dengan anak buahmu? Mereka sudah berhasil?” Jenderal Jhock berbicara sambil mengingatkan William akan tantangan besar yang mereka hadapi sebelumnya.

William tersenyum tipis, suasana kegembiraan terlihat jelas di wajahnya. “Justru itu, paman. Karena Sultan Agung sudah meninggal, kawan-kawan di Mataram kini terpecah. Kekuasaan mereka sangat rapuh. Amangkurat I, meskipun menjadi raja, tidak sekuat ayahnya. Dia terlalu muda dan tidak berani mengambil langkah keras untuk mempertahankan kerajaan. Itu membuat mereka sangat lemah. Aku rasa ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk bergerak.”

Jenderal Jhock menatap ke luar jendela, seolah merenung. “Aku mengerti, William. Tetapi ingat, meskipun Amangkurat I tidak sekuat ayahnya, dia tetap raja dari sebuah kerajaan yang besar. Mataram masih memiliki pasukan yang loyal, dan kita tahu bahwa mereka akan melakukan perlawanan. Mereka mungkin terlihat terpecah, tetapi kita harus hati-hati.”

William mengangguk dengan penuh keyakinan. “Aku tahu paman. Tapi kita punya kesempatan emas ini. Setelah Sultan Agung meninggal, banyak bangsawan yang merasa kecewa dengan kepemimpinan Amangkurat. Beberapa telah mulai berpihak pada kita, dan ada ketegangan di dalam kerajaan. Itu yang membuat kita lebih mudah masuk. Lagipula, VOC kini semakin kuat. Aku akan bertemu dengan mereka untuk memastikan kita memiliki kekuatan penuh begitu aku sampai di sana.”

Jenderal Jhock menghembuskan napas panjang. “Kau memang anak muda yang penuh ambisi, William. Tetapi jangan terlalu ceroboh. Kesempatan ini memang menggoda, tetapi kita harus bergerak dengan hati-hati. Jangan sampai kita hanya menyaksikan kerajaan Mataram jatuh tanpa memanfaatkan peluang ini dengan bijak.”

William mendekat dan berdiri tegak di hadapan Jenderal Jhock. “Aku tahu apa yang aku lakukan, paman. Kita sudah terlalu lama menunggu. Sekarang adalah saat yang tepat. Setelah Sultan Agung, Mataram akan terpecah dan mereka akan membutuhkan waktu lama untuk pulih. Kita akan memanfaatkan kelemahan ini, dan dalam beberapa tahun ke depan, Mataram akan berada di bawah kendali kita. Kita akan memperkuat kedudukan VOC di sana.”

Jenderal Jhock menatap William dengan mata yang tajam, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah, William. Aku mengerti. Aku akan mendukung keputusanmu. Tetapi ingatlah, kita tidak berperang hanya untuk kemenangan sesaat. Kita berperang untuk menjaga kejayaan Belanda di tanah Nusantara.”

“Tenang saja, paman,” jawab William dengan senyum penuh keyakinan. “Dengan adanya VOC dan kekuatan militer kita yang semakin kuat, kita akan menguasai Mataram tanpa kesulitan berarti.”

Jenderal Jhock berdiri dan menepuk bahu William dengan tangan besar miliknya. “Semoga kau benar, William. Semoga ini adalah awal dari kejayaan kita yang baru.”

William mengangkat dagunya, matanya berkilat penuh tekad. “Ini adalah kesempatan terbaik kita, paman. Kita akan membuat sejarah.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!