Gadis Desa yang memiliki kakak dan adik, tetapi dia harus berjuang demi keluarganya. Ayahnya yang sudah usia di atas 50 tahun harus dia rawat dan dijaganya karena ibunya telah meninggal dunia. Adiknya harus bersekolah diluar kota sedangkan kakaknya sudah menikah dan memiliki keluarga yang sedang diuji perekonomiannya.
Ikuti terus karya Hani_Hany hanya di noveltoon ♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani_Hany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Belum sempat Hasna memberi kabar kepada ayahnya tapi ayah Ahmad datang tiba-tiba. "Kamu di rumah nak?" tanya ayah memarkirkan motornya.
"Iya ayah, tadi aku mau menelfon ternyata ayah sudah datang." ujar Hasna menunggu ayahnya masuk, dia di pintu melihat ayahnya yang mencari tempat untuk memarkirkan motornya.
"Ayah mau cek-cek kebun disini nak. Kasihan tidak pernah diurusi." jawab ayah Ahmad. Dia menghela nafas berat, seolah membuang beban berat dari rumah isterinya.
"Ayah sudah makan?" tanya Hasna penuh selidik, untungnya dia sudah memasak lauk pauk dan sayur meski sendiri. Dia bisa hemat dengan uang sisa kuliah dulu serta uang gajinya saat menjahit.
"Sudah tadi di rumah." jawabnya. "Sudah dibayar kah gajimu bulan kemarin?" tanyanya melangkah masuk ke dalam rumah. Ayah duduk di kursi kosong.
"Belum ayah. Ayah, boleh gak kalau aku keluar dari menjahit? Aku capek ayah, kerjanya juga seharian penuh dan gajinya tidak dibayarkan." ucap Hasna mengadu, dia lelah menahan sendirian kekesalannya pada mantan bosnya.
"Kalau berhenti dari menjahit mau kerja apa?" tanya ayah Ahmad santai.
"Kemarin dulu, pak Miftah sama Zam kesini. Dia menawarkan saya kerja di kantor desa sebagai bendahara. Tapi Hasna bingung mau terima atau tidak." ujar Hasna mempertimbangkan.
"Bagus itu." jawab ayah, dia menatap anaknya yang duduk di kursi seberang. "Tapi semua terserah padamu nak. Kamu yang jalani." ujar sang ayah.
"Aku mau keluar dari menjahit dan menerima tawaran pak Miftah saja deh." ucap Hasna yakin. "Dua hari ini sudah aku pikirkan dengan mantap ayah, aku akan belajar menjadi bendahara." imbuhnya semangat.
Ayah Ahmad tersenyum senang, dia tahu jika anaknya adalah anak-anak yang pintar dan cerdas. "Kerjakan apa yang membuatmu nyaman nak. Cintai pekerjaanmu supaya kamu tidak terbebani." nasehat ayah Ahmad.
"Iya ayah." jawab Hasna singkat. "Ayah menginap?" tanyanya.
"Ayah nanti pulang, kamu bersiaplah kita pulang kesana. Besok kamu pamit sama Mbak Win, sekalian sama Mami supaya dia tidak tersinggung." peringat ayah, Hasna hanya diam berpikir.
"Baiklah." jawab Hasna pada akhirnya. Ayah pergi ke kebun, Hasna di rumah bersiap mengemas pakaiannya untuk dibawa menginap meski satu malam.
Usai mengemas, dia menunggu ayahnya datang. Dia meraih ponselnya lalu menghubungi pak Miftah. "Ada gak ya nomornya?" tanyanya dalam hati. "Oh ini, semoga masih aktif." setelah mendapatkan nomor ponselnya lalu dia menelfon.
"Terhubung." gumam Hasna pelan. Dia menunggu panggilannya belum juga diangkat hingga panggilan ketiga.
"[Assalamu'alaikum. Siapa?]" jawabnya langsung bertanya dan suara perempuan.
"[Waalaikumsalam. Saya Hasna Mbak, pak Miftah ada?]" tanya Hasna ramah. Orang diseberang sana bernafas lega, sungguh sangat terdengar ditelinga Hasna.
"[Hasna, ada sebentar ya! Pak Mif lagi di kamar mandi]" ucapnya ramah.
"[Oh iya Mbak, pesan saja kalau begitu. Insya Allah besok saya mau ke kantor desa untuk menggantikannya. Tapi minta tolong diajari dulu karena saya belum tahu sama sekali]" ucap Hasna ramah.
"[Oh, iya nanti saya sampaikan de. Kamu di kampung ya?]" tanyanya ramah. Namanya Husnul ~ isteri pak Miftah.
"[Iya Mbak, saya menetap di kampung. Kuliah saya Alhamdulillah sudah selesai]" jawab Hasna. "[Kalau gitu saya tutup ya Mbak, maaf mengganggu]" pamit Hasna menutup teleponnya.
"[Iya gak apa-apa de]" jawabnya lalu penggilan berakhir.
"Alhamdulillah kelar, tinggal pamit di tempat menjahit." gumamnya lega. Tiba sang ayah dari kebun, Hasna sudah siap berangkat.
"Ayo berangkat sebelum hujan." ajak ayah Ahmad. Hasna naik di atas boncengan, dia merasa bahagia karena sudah memberikan informasi pada pak Miftah kalau dia bersedia menjadi bendahara.
Setibanya di rumah Mami, Hasna turun dari atas motor lalu masuk ke dalam rumah. Ternyata ada tamunya, dengan sengaja Mami berucap. "Enak Mbak kalau ada yang carikan uang, nah saya ini cari sendiri!" ujarnya dengan suara keras.
Deg . . . . .
"Maksud Mami apa ya? Apa Ayah gak pernah ngapa-ngapain? Apa mencari pakan kambing bukan bagian cari uang? Kalau kambing gak makan bisa mati dong." gerutu Hasna kesal.
"Baru juga tiba, sambutannya asyik sekali." imbuhnya menyimpan pakaiannya dalam lemari langsung dia keluarkan lagi. "Simpan saja di tas, supaya kalau pulang langsung cus." imbuhnya.
"Demi ayah aku disini." gumamnya pelan, dia harus ekstra sabar karena semua akan berbeda tidak seperti ibu kandung. Entahlah! Tapi tidak semua ibu Tiri seperti itu juga.
Paginya Hasna pergi ke rumah penjahit dengan jalan kaki supaya tidak merepotkan. Mami mengajak ayah pergi ke pasar untuk belanja.
"Permisi." ujar Hasna ramah. Ternyata hanya ada suami Mbak Winda. "Maaf pak, ibu Winda ada?" tanya Hasna ramah tanpa masuk ke dalam rumah.
"Oh pergi ke pasar." jawabnya singkat. Hasna hanya tersenyum masam sebelum berkata lagi.
"Oh ya sudah, kalau gitu saya permisi pak." ujar Hasna akhirnya lalu membalikkan badan. Belum sempat Hasna melangkah lalu datanglah Mbak Winda dengan motor butut kesayangannya membawa belanjaan.
"Eh, ada Hasna. Untung kamu datang. Ayo masuk." Ujarnya turun dari motor mengajak Hasna masuk. Belum sampai di depan pintu, Mbak Winda meletakkan barang-barangnya.
Ponselnya tertinggal di jok motor. "Maaf Bu, saya cuma mau datang kesini untuk mengundurkan diri. Terima kasih sudah menerima saya kerja disini. Saya banyak belajar menjahit dari ibu Winda." Ucapnya.
"Oh mau undur diri, saya kira mau masuk kerja! Padahal lagi banyak stok jahitan, kalau saya berdua sama suami kewalahan. Tapi ya sudah gak apa-apa kalau itu keputusan kamu."
"Oya, untuk sisa bayarannya belum ada. Kapan-kapan saja ya!" Imbuhnya. Hasna diam mencerna setiap ucapan mantan bosnya.
"Oh, ya sudah bu. Saya pamit, permisi." Ujar Hasna, semua sudah jelas jika dia sekarang sudah keluar. Hanya saja gajinya tidak dibayarkan satu bulan terakhir.
Hasna pulang dengan jalan kaki. "Banyak orderannya, tapi katanya gak ada uang buat bayar gaji karyawan. Pantas saja tidak ada yang mau kerja disana." Gumam Hasna pelan.
"Biarlah, nanti sebulan lagi aku datang lagi." Imbuhnya melanjutkan jalannya hingga ke rumah mami Titik. Setibanya di rumah ternyata Mami dan Ayah sudah pulang.
"Gimana nak, sudah ketemu Mbak Win?" Tanya ayah saat beliau sedang duduk di teras rumah.
"Iya ayah, tapi gajinya yang sebulan gak dibayar. Katanya gak punya uang." Jawab Hasna jujur. Ayah Ahmad hanya menghela nafas berat.
"Bisa saja itu hanya alasan, dan tidak dibayarkan. Astaghfirullah." Gumam ayah dalam hati. "Mami di dapur bersihkan ikan." Ucap sang ayah.
Hasna yang paham langsung menuju kamar untuk menyimpan tas dan ponselnya. Dia menuju dapur untuk membantu membersihkan ikan.
"Tinggal sedikit nak, gak usah dibantu. Nanti kamu yang goreng saja pakai tepung." Tolaknya lembut. Hasna menurut, dia menyiapkan tepung bumbu untuk menggoreng ikan basah.
semangat kak hani /Determined//Determined//Determined//Determined/