"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
"Rizal ...." Aira terkejut melihat Rizal berada di perusahaan itu. Dia tidak mengira Rizal ikut mewakili perusahaan dari Jepang yang akan bekerjasama dengan perusahaan Antares.
Rizal mendekat dan mengulurkan tangannya. "Kamu apa kabar? Tidak menyangka kamu bekerja di sini."
Aira ragu membalas uluran tangan itu. Hingga akhirnya Antares membalasnya. "Saya Antares, CEO di perusahaan ini dan Aira sekretaris saya."
"Saya Rizal. Senang bertemu dengan Anda, Pak Antares." Ujung mata Rizal melirik Aira yang berdiri di samping Antares.
"Mari, kita mulai meeting hari ini." Antares mempersilakan Rizal dan timnya masuk ke dalam ruang meeting.
Antares duduk di ujung meja rapat, wajahnya tampak serius, mencerminkan sosok seorang pemimpin yang berpengaruh di industri teknologi. Di hadapannya, Rizal dan rekan kerjanya dari Jepang, menyusun dokumen dan materi presentasi tentang proyek baru mereka. Kerjasama ini bertujuan menggabungkan produk laptop produksi perusahaan Antares dengan software unggulan yang dikembangkan oleh tim Jepang.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk rapat ini, Pak Rizal," ujar Antares dengan nada formal.
Rizal mengangguk. "Kami senang dapat melanjutkan kemitraan ini, tapi apakah boleh jika Aira yang presentasi?"
Antares tersenyum kecil, dia melirik Aira yang nampak canggung. "Iya. Aira, silakan kamu presentasi, bantu Tomi menjelaskannya."
Aira menatap Rizal sesaat, lalu dia berdiri untuk presentasi. Dia memulai penjelasannya dengan memaparkan spesifikasi laptop terbaru yang diproduksi oleh perusahaan Antares. Laptop itu dirancang untuk efisiensi dan mobilitas tinggi, dengan daya tahan baterai yang luar biasa serta performa grafis yang kuat.
"Kami percaya bahwa perangkat keras kami membutuhkan software yang bisa mendukung performa maksimal," ujar Aira, sambil menunjuk grafik di layar presentasi. "Itu sebabnya, kami memilih untuk bekerjasama dengan tim Anda."
Rizal mengangguk setuju. "Software kami, yang berfokus pada pengolahan data besar dan keamanan tinggi, dirancang untuk berjalan optimal pada perangkat Anda. Namun, kami perlu memastikan kompatibilitas pada tahap pengujian berikutnya."
Aira melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana tim teknisi dari kedua perusahaan akan bekerja sama dalam tahap uji coba, menyebutkan bahwa ada jadwal pengujian yang ketat untuk memastikan peluncuran produk sesuai target.
"Apakah software ini sudah diuji untuk integrasi dengan sistem operasi terbaru? Kami ingin memastikan pengalaman pengguna yang seamless," tanya Antares.
Rizal berdiri dan menggantikan Aira presentasi. Dia menjawab dengan rinci tentang sistem operasi terbaru yang ditanyakan Antares.
Setelah rapat usai, Rizal dan timnya pamit. Sebelum meninggalkan ruangan, Rizal menghampiri Aira. "Senang bisa bertemu dengan kamu lagi."
Ingin Antares menarik Aira pergi dari tempat itu tapi dia tidak mungkin bertindak tidak profesional seperti itu. "Aira, silakan jika masih mau mengobrol. Saya ke ruangan saya dulu Pak Rizal, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Iya, Pak Antares. Senang bekerjasama dengan Anda."
Antares tersenyum kecil meski dalam hatinya sedang memanas. Dia keluar dari ruang rapat itu bersama Riko.
"Sejak kapan kamu bekerja di perusahaan ini?" tanya Rizal. Mereka masih berdiri di dekat pintu ruang rapat.
"Hampir sebulan," jawab Aira.
"Kamu ada waktu? Kita makan malam," ajak Rizal.
Aira menggelengkan kepalanya. "Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa."
"Tapi kita masih bisa berteman." Rizal mengambil ponselnya dan meminta nomor whatsapp Aira. "Berapa nomor kamu?"
Aira mengambil ponselnya lalu menunjukkan kode QR agar dipindai Rizal.
Rizal tersenyum setelah mendapat nomor Aira. "Nanti aku hubungi lagi ya. Sekarang aku masih ada jadwal."
Aira menganggukkan kepalanya dan membiarkan Rizal pergi menuju ruang teknisi. Kemudian Aira berjalan menuju lift, tidak disangka Antares masih menunggunya di dekat pintu lift.
"Sudah selesai berbagi nomor WA?"
Aira tak menyahutinya. Dia menekan tombol lift, setelah pintu lift terbuka mereka berdua masuk dan menuju lantai sepuluh.
"Rizal mantan kamu?" tanya Antares tanpa basa-basi.
"Iya, kenapa?"
"Aku masih ingat waktu kamu menyebut nama Rizal di hari pertama kita bertemu. Ternyata sampai sekarang kamu masih belum move on."
Aira tertawa mendengar perkataan Antares. "Tahu apa Pak Ares tentang perasaanku?"
Tiba-tiba Antares mendorong Aira hingga terhimpit di pojok lift. "Iya, aku memang tidak tahu perasaan kamu."
"Aku juga tidak tahu perasaan Pak Ares."
Antares semakin membeku. Dia menatap kedua mata yang juga menatapnya. Tiba-tiba pintu lift terbuka.
"Maaf, Pak Ares lanjut saja," kata Riko yang urung masuk ke dalam lift karena melihat Antares yang sedang menghimpit tubuh Aira di pojok lift.
Aira mendorong Antares dan buru-buru keluar dari lift itu lalu berjalan cepat menuju ruang kerjanya.
Antares juga keluar dari lift dan memanggil Riko agar mengikutinya.
"Pak Ares jangan terlalu agresif nanti Aira takut," bisik Riko yang membuat langkah kaki Antares berhenti.
"Aku tidak agresif, hanya kesal saja dia membagikan nomo WA-nya sama mantan."
Riko semakin tertawa. "Jadi Rizal mantan Aira? Wah, saingan berat. Tapi sepertinya lebih friendly Rizal daripada Pak Ares. Pak Ares terlalu posesif dan kaku. Kalau Pak Ares tidak bersikap lembut, saya yakin Aira langsung ditikung Rizal."
Antares tersenyum miring. "Tidak ada yang bisa melebihi perhatianku pada Aira." Kemudian Antares berjalan menuju ruangannya.
Riko menggelengkan kepalanya sambil melipat kedua tangannya. "Terlalu percaya diri. Lihat saja, nanti malam apa Pak Ares akan berhasil atau justru akan patah hati?"
...***...
Setelah selesai membeli apa yang dibutuhkannya, Aira kini duduk di taman sambil berpikir. Datang atau tidak ke undangan makan malam dengan Antares?
"Kak Aira, kita sekalian makan malam yuk!" ajak Eva.
Aira menggelengkan kepalanya. "Aku ada janji."
"Janji sama siapa?" tanya Eva penasaran.
Aira terdiam beberapa saat. "Pak Ares, aku punya firasat kalau ...."
"Pak Ares mau mengungkapkan perasaannya? Aku sudah menduga, Pak Ares pasti punya perasaan lebih sama Kak Aira. Tidak apa-apa terima saja, kita semua pasti mendukung karena kasihan juga dengan kisah cinta Pak Ares yang sebelumnya. Apa Kak Aira tidak menyukai Pak Ares?"
"Aku ... merasa tidak pantas dengan Pak Ares. Eva, aku dari keluarga yang berantakan seperti ini sedangkan Pak Ares dari keluarga yang sempurna. Punya kedua orang tua yang harmonis, kaya, dan dari kelas atas, sedangkan aku ..."
"Semua itu tidak penting, yang paling penting Pak Ares bisa menerima Kak Aira apa adanya. Ikuti apa kata hati Kak Aira. Kesempatan tidak datang dua kali untuk bisa mendapatkan Pak Ares."
"Ya sudah, aku akan kirim pesan untuk Pak Ares."
"Sepertinya butuh sedikit sentuhan untuk mengubah penampilan. Ayo, ikut aku." Eva menarik tangan Aira dan mengajaknya ke salon langganannya.
"Tolong ubah temanku menjadi wanita high class," kata Eva.
"Baik, wajahnya sudah cantik, tinggal dipoles sedikit saja."
Aira duduk dan menatap pantulan dirinya di cermin yang berada di depannya. Benarkah Antares akan menjadi masa depannya?
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....